CABUT REGULASI ANTI MASYARAKAT PESISIR

Lautan Indonesia tak lepas dari sejumlah persoalan serius yang mengancamnya, diantaranya pembangunan ekstraktif sekaligus neo-ekstraktif yang terus didorong oleh Pemerintah Indonesia atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi. Proyek reklamasi, pertambangan pasir, dan industri pariwisata adalah tiga di antara pola pembangunan yang didorong secara massif oleh Pemerintah. Dalam praktiknya, Pemerintah bekerjasama dengan sektor swasta dalam mengekstraksi sumber daya laut.

Penguasaan sekaligus pengelolaan sumber daya laut harus diserahkan kepada masyarakat supaya aspek keberlanjutannya tetap terjaga dengan baik. Puluhan juta masyarakat pesisir yang terlibat dalam perikanan skala kecil telah membentuk kelompok pengelola sumberdaya laut. Mereka merupakan memegang hak utama terutama mengenai sumberdaya laut. Namun, di banyak tempat, mereka telah terpinggirkan oleh kepentingan perusahaan besar dan dikeluarkan dari wacana kebijakan. Karena ketidakseimbangan kekuatan ini, mereka menanggung biaya dan sering disalahkan atas kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri skala besar. 

Terlalu sering, mereka tidak diberi akses ke daerah penangkapan ikan mereka atas nama pembangunan pesisir, konservasi, atau pengelolaan perikanan. Terlalu sering, mereka tidak berdaya untuk mencegah tanah dan perairannya dirampas untuk kepentingan industri. Padahal masyarakat pesisir telah terbukti menjadi pengelola lahan dan wilayah perairan yang lebih baik daripada pemerintah dan industri.

WALHI mendesak kepada Pemerintah untuk mencabut regulasi yang mempersulit kehidupan masyarakat pesisir dalam mengelola sumberdaya laut. Adapun ke-8 regulasi yang wajib dievaluasi adalah:

Regulasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No. 8 Tahun 2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dengan luas di bawah 100km² dengan catatan:

  1. Liberalisasi terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pulau-pulau kecil.
  2. Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing diprioritaskan tanpa mendahulukukan pemanfaatan oleh rights holders atau masyarakat lokal dengan menggunakan praktik-praktik tradisional.
  3. Izin Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing berlaku paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang (Pasal 19 Ayat 1).
  4. Izin “masa berlaku selama 30 tahun dan dapat diperpanjang’ ini serupa dengan sejumlah hak dalam regulasi mengenai pertanahan, seperti Hak Guna Usaha taua Hak Guna Bangunan. PERMEN ini sesungguhnya menjiplak aturan yang mengurus kawasan darat, lalu di copy-paste untuk pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil.

PERMEN KP No. 24 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi Perairan dan Izin Pengelolaan Perairan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan catatan:

  1. Membuka karpet merah swastanisasi dan privatisasi sumberdaya kelautan dan perikanan di pesisir dan pulau-pulau kecil.
  2. Kegiatan yang diizinkan untuk perorangan adalah pengusahaan pariwisiata di kawasan konservasi, reklamasi paling luas 25 Ha, budidaya laut seluas 5Ha, wisata bahari paling luas 5Ha, dan juga pertambangan (Pasal 15).
  3. Ruang lingkup dalam PERMEN ini meliputi izin lokasi perairan (termasuk didalamnya izin reklamasi) dan izin pengelolaan perairan.
  4. Izin Pengelolaan Perairan berlaku selama: 10 tahun untuk produksi garam, 20 tahun untuk wisata bahari, 10 tahun untuk pemanfaatan air laut, dan 20 tahun pengusahaan pariwisata alam di kawasan konservasi.

PERMEN KP No. 25 Tahun 2019 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan catatan:

  1. Membuka karpet merah swastanisasi dan privatisasi sumberdaya kelautan dan perikanan di pesisir dan pulau-pulau kecil.
  2. Ruang lingkup dalam PERMEN ini meliputi izin lokasi perairan dan izin pelaksanaan reklamasi.
  3. Pasal 6 Ayat 1 Menteri berwenang menerbitkan Izin Pelaksanaan Reklamasi pada: Kawasan Strategis Nasional tertentu, perairan pesisir di dalam Kawasan Strategis Nasional, kegiatan Reklamasi di Pelabuhan Perikanan yang dikelola oleh Kementerian, kegiatan Reklamasi untuk Obyek Vital Nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kegiatan Reklamasi untuk Obyek Vital Nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kegiatan Reklamasi untuk proyek strategis nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan Kawasan Konservasi perairan nasional.
  4. Pasal 6 Ayat 2 menyebutkan Menteri berwenang menerbitkan Izin Pelaksanaan Reklamasi serta Gubernur berwenang menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi pada perairan laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut bebas dan/ atau ke arah perairan kepulauan.
  5. PAsal 18 Ayat (1) Pemegang Izin Pelaksanaan Reklamasi wajib melakukan relokasi pemukiman bagi masyarakat yang terkena dampak kegiatan Reklamasi.
  6. PERMEN ini memberikan legitimasi: 1) melakukan reklamasi, 2) menggusur atau merelokasi masyarakat pesisir yang terdampak proyek reklamasi.

Undang-Undang No.3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara dengan catatan:

  1. UU ini menjadikan semua ruang hidup, terutama wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil sebagai wilayah hukum pertambangan.
  2. Masyarakat pesisir yang merintangi atau mengganggu dikenakan sanksi pidana kurungan dan administrasi berdasarkan Pasal 162 UU Minerba.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan catatan:

  1. Mengganti “Izin Lingkungan” menjadi “Persetujuan Lingkungan” pada Pasal 26
  2. Kewajiban penerapan rencana tata ruang dan/ atau zonasi dikecualikan jika terdapat kebijakan nasional bersifat strategis yang tertuang pada Pasal 18 angka (2) dan (14).
  3. Pada Pasal 173 ayat (1) dikatakan bahwa sistem pengawasan dan penjauthan sanksi tidak optimal untuk menjamin kepatuhan pelaku usaha, mencegah pelanggaran, dan menimbulkan efek jera.
  4. Menghapus konsep pengawasan pada UU PPLH yang memberikan kewenangan kepada Menteri untuk melakukan pengawasan lapis kedua pada Pasal 22.
  5. Mengubah ketentuan pengenaan sanksi dengan mengutamakan sanksi administratif daripada pidana dengan alasan sanksi pidana merupakan ultimum remedium. Hal ini tertuang pada beberapa Pasal yaitu Pasal 18, 19, dan 27.
  6. Mengizinkan proyek reklamasi pertambangan pasir laut, penghancuran hutan mangrove, dan Kawasan Konservasi untuk kepentingan PSN.
  7. Mengizinkan penguasaan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya untuk investasi asing.
  8. Mengizinkan pembuangan limbah industri ke dalam laut.

Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah dengan catatan: 

  1. Karpet merah untuk perampasan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil oleh swasta dan asing.
  2. Melegitimasi dan memudahkan perizinan reklamasi yang tertuang pada Pasal 17.

Peraturan Pemerintah No. 07 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan dimana dalam Pasal 2 hingga Pasal 7 di PP ini, melegitimasi tindakan perubahan zona inti di kawasan konservasi atas nama Kawasan Strategi Nasional.

******

Sumber Utama: WALHI