DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR PERIKANAN

Pemutihan terumbu karang menjadi salah satu dampak dari perubahan iklim yang kian parah. Terumbu karang pelan-pelan mati karena perubahan suhu laut.

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR PERIKANAN

Perubahan iklim, momok menakutkan yang mengancam kebinasaan manusia agaknya masih menjadi topik yang justru dihindari karena saking menakutkannya. Membawa dampak besar bagi tatanan kehidupan di bumi, perubahan iklim juga berdampak pada sektor kelautan dan perikanan yang banyak bergantung dari alam dan iklim itu sendiri. 

Menurut Dr. Yonvitner, S.Pi., M.Si, akademisi dan sekaligus Director of Centre for Coastal and Marine Resource Studies dari Institut Pertanian Bogor, pada webinar EcoNusa pada Hari Nelayan yang lalu, bertemakan “Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Perikanan, setidaknya ada 4 variabel iklim penting yang berhubungan dengan aktivitas perikanan, diantaranya adalah: temperatur, curah hujan, kelembapan dan angin. Keempat variable ini kemudian berpengaruh pada dinamika perubahan iklim, dimana menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS, 2018) dan dokumen TNC (2017) diantaranya:

  1. Adanya peningkatan suhu permukaan 1-1,2°C pada 2050 serta suhu permukaan air laut pada daerah sekitar laut Jawa, laut Banda, dan laut Sulawesi mengalami peningkatan rata-rata 0,2-0,3°C. 
  2. Tinggi permukaan laut mengalami peningkatan 20-85 centimeter pada tahun 2050, dimana rata-rata peningkatan 0,6 -0,8 centimeter per tahun.
  3. Salinitas air laut mengalami penurunan 33,2 psu pada 2000 dan menjadi 32,1 psu pada tahun 2040.
  4. Tinggi gelombang signifikan mengalami peningkatan lebih tinggi dari 2 meter pada periode 1990-2015, serta proyeksi 1 % gelombang ekstrim berpotensi meningkatkan gelombang hingga 5 meter pada kondisi riil. 

Lalu sebenarnya apa penyebab degradasi iklim? Dilansir dari website Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan perubahan iklim sebagai gejala yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia. Walaupun banyak penyebab perubahan iklim karena aktivitas di darat, manusia juga memperparah perubahan iklim dengan sejumlah aktivitas di laut. Setidaknya ada beberapa aktivitas yang memperparah atau menyebabkan perubahan iklim di laut, yaitu mulai dari pertambangan mineral dan pasir, penangkapan yang merusak atau illegal, unregulated, unreported fishing, pencemaran sampah dan limbah. ini menyebabkan terjadinya coral blelaching, habitat lamun dan mangrove rusak, sumber daya ikan menurun dan mengganggu rantai makanan ekosistem laut, dan semua hal ini akan bermuara pada terancamnya kesejahteraan masyarakat pesisir, adanya bencana peisisir berupa abrasi, serta adanya penurunan biodiversitas.

Nelayan, pembudidaya, dan masyarakat pesisir sebagai bagian dari stakeholder akan sangat terdampak dari perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan. Amin Abdullah, Ketua Lembaga Pengembangan Sumberdaya Nelayan mengatakan bahwa jumlah nelayan Lombok terus mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat pada  tahun 2014 ketika jumlah nelayan mencapai 16.415 orang sedangkan di tahun 2018 menurun ke angka 16.371. Salah satu penyebabnya adalah berkurangnya hasil tangkapan yang tentunya berpengaruh pada pendapatan nelayan yang makin hari makin kecil.

Bukan hanya pada nelayan penangkap ikan di laut saja, dampak perubahan iklim juga dirasakan oleh para pembudidaya. Beberapa diantaranya adalah:

  1. Pemutihan karang yang berkorelasi secara langsung dengan populasi ikan.
  2. Perubahan gelombang, angina dan arus air laut dimana secara tidak langsung dapat mempengaruhi migrasi jenis ikan tertentu ke tempat yang lebih jauh. Koheren dengan hal tersebut mengakibatkan nelayan semakin kesulitan dalam menangkap ikan. 
  3. Perubahan suhu air laut yang menyebabkan kematian masal hasil budidaya. 
  4. Rusaknya habitat padang lamun dan hutan mangrove.

 Yonvitner mengemukakan bahwa salah satu cara menganalisa perubahan iklim adalah dampaknya pada spesies, populasi, habitat, dan aktivitas perikanan. Collateral damage ini misalnya pada sektor perikanan sebelum adanya degradasi iklim, memiliki musim ikan yang jelas dan teratur. Sedangkan sekarang, musim ikan cenderung tidak menentu dan tidak jelas. Salah satu contoh kasusnya adalah pada spesies terjadi presentase ikan matang gonad yang menurun diakibatkan oleh meningkatnya suhu dan cenderung menuju baik pada suhu optimal. Selain itu juga terdapat beberapa kasus mengenai hilangnya ikan Sardinella dari Selat Bali serta bergesernya penangkapan ikan Terbang dari Sulawesi ke Papua Barat.

Dalam penelitian dari Universitas Swedia, perubahan iklim berpengaruh akan kadar oksigen yang larut dalam air. Ketika kadar oksigen terlarut menurun hingga sekitar 2 miligram per liter-dibandingkan dengan kisaran normalnya yaitu sekitar 5 hingga 10 mg/L-banyak organisme air menjadi sangat stres. Ilmuwan menyebut kadar oksigen rendah ini dengan istilah “hipoksia.” yang terlihat pada “rekam jejak” otonomi ikan yaitu Otolith. Dampak dari hipoksia pada ikan adalah ikan yang paling banyak terpapar hipoksia berukuran 39% lebih kecil pada usia 3 tahun, beratnya 64% lebih ringan, dan mengalami gangguan metabolisme.

Sementara untuk petambak garam, dampak dari perubahan iklim pun juga tentunya ada. Sebagai industri perikanan yang bergantung pada cuaca dan laut, petambak garam akan terkena imbas cukup besar. Ada tiga perspektif dampak kerugian perubahan iklim ini: pertama, tidak menentunya musim yang akhirnya berdampak pada penurunan produksi petambak garam, kedua musim hujan dan kemarau yang tidak menentu akan berpengaruh pada kualitas  hasil  garam dari petambak garam tradisional, dan yang ketiga sering terjadi kerusakan pada pematang tambak yang diakibatan oleh adanya kenaikan permukaan air laut. 

Solusinya Apa?

Solusi bagi perubahan iklim ini tentunya ada. Untuk menghadapi perubahan iklim maka perlu memperkuat kapasitas adaptasi masyarakat pesisir dengan berbagai modal yang dimiliki, diantaranya adalah:

  • Model Ekosistem: rehabilitasi dan peragaman mangrove, lamun, terumbu karang, hutan, taman nasional, dan wilayah konservasi.
  • Modal SDA diantaranya : Mineral, Migas, Pertanian dan Perikanan 
  • Modal Sosial Ekonomi : kearifan lokal, kelompok masyarakat, kesehatan dan pendidikan
  • Kebijakan Pemerintah : Pendataan kusukan, akses BBM bersubsidi, dsb.

Pada pertemuan Konferensi Perubahan Iklim ke-26 atau COP 26 di Glasgow, Skotlandia, aktivis muda pemerhati Lingkungan – Greta Thunberg, dalam pidatonya mengatakan bahwa konferensi perubahan iklim KTT COP26 sebagai sebuah “kegagalan.” Ia mengatakan, para penguasa dunia terkesan seperti hidup di “dalam fantasi mereka” mengenai planet Bumi yang dapat tumbuh secara tak terbatas. Thunberg juga menilai banyak pemimpin global yang seolah-olah mengharapkan adanya solusi teknologi yang dapat secara ajaib menyelesaikan krisis saat ini. Dr. Alan Frendy Koropitan S.Pi., M.Si  selaku Tenaga Ahli Utama Kedeputian I Kantor Staf Presiden mengatakan bahwa Pemerintah sudah melakukan beberapa langkah nyata diantaranya adalah komiten Indonesia untuk merehabilitasi hutan mangrove sebesar 600 ribu hektar hingga 2024 dan dikatakan bahwa ini menjadi rehabilitasi hutan mangrove terbesar di Indonesia. Tentunya hal ini tidak bisa dianggap sebelah mata dan wajib kita apresiasi. Ia juga menambahkan bahwa pembuatan kebijakan seperti Undang-Undang dirasa kurang mampu memberikan langkah nyata untuk memperlambat perubahan iklim. Menurutnya langkah praktis justru lebih riil dengan memasukkan agenda program atau kebijakan prioritas ini ke dalam Rencana Jangka Panjang Nasional (RPJN).

Ibarat tokoh villain dalam seri Marvel, Thanos, perubahan iklim merupakan musuh bersama yang harus ditumpaskan oleh para Avengers yang memiliki misi dan latar belakang, dan asal yang berbeda-beda namun bersatu untuk memusnahkan Thanos. Begitupun juga dengan kita semua. KORAL mengharapkan Indonesia bisa lebih berperan aktif dalam menuntaskan perubahan iklim, baik yang bersumber di darat maupun di laut. Melalui regulasi dan RPJN yang mengikat masyarakat, sektor BUMN maupun swasta, Pemerintah diharapkan mampu melakukan langkah nyata diluar rehabilitasi mangrove, dengan mencegah penambangan tanpa memperhatikan sektor keberlanjutan, penangkapan ikan beresiko bycatch, overfishing, dan destruktif, serta menambah ruang konservasi alam di seluruh perairan Indonesia. 

******