Kalau mendengar kata “nelayan”, apa yang muncul di benakmu? Nelayan di Indonesia sudah ada dari jaman dahulu kala. Tepatnya, masyarakat pesisir dan nelayan di Indonesia sendiri sudah dikenal sejak abad ke-7 pada masa Kerajaan Sriwijaya, lalu pada abad ke-13 di masa kerajaan Majapahit, dan abad ke-15 Kerajaan Malaka. Masyarakat pesisir dan nelayan sudah menjadi pejuang pesisir bahkan jauh sebelum negeri ini merdeka, namun tragisnya, kesejahteraan mereka masih perlu diperjuangkan negara. Salah satunya adalah tingkat pendapatan dan ancaman keberlanjutan kerja yang masih tinggi. Menurut Kusnadi (2002), tingkat pendapatan nelayan yang masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan pekerjaan lainnya disebabkan oleh ketidakpastian nelayan dalam memperoleh hasil tangkapan, biaya operasional melaut yang tergolong besar, jaringan perdagangan hasil melaut yang tidak sehat, dan persepsi nelayan yang salah terhadap program bantuan pemerintah. Hal ini pun juga termasuk pada ancaman keberlanjutan kerja, dimana pekerjaan nelayan masih memiliki resiko besar bukan hanya dari segi keamanan, tapi juga keberlanjutan pekerjaannya yang bergantung pada sumber daya alam.
Nelayan vs Everybody: Tuan Rumah yang Diusir Oleh Pencuri hingga Dianaktirikan Negeri Sendiri
IUUF atau illegal, unregulated, unreported fishing adalah momok lama bagi nelayan. Kapal ikan asing yang notabene berukuran lebih besar sangat senang memasuki wilayah perairan Indonesia dan mencuri ikan atar sumberdaya Perikanan lainnya. Mereka begitu berani menakut-nakuti bahkan mengusir nelayan dari “halaman rumahnya” sediri. Salah satunya adalah yang harus dihadapi para nelayan di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau di tahun 2020. Nelayan di WPP NRI yang subur akan hasil perikanan tangkapnya itu ketakutan; mereka khawatir kapal nelayan asing (KIA) akan menabrak kapal mereka. Hal ini bukan lain adalah buntut perkara dari tahun 2019, dimana kapal yang dinahkodai Muhammad Budiman dan tujuh awak kapal lainnya dikejar oleh dua pasang kapal nelayan asing di Laut Natuna Utara. Hal ini lantaran Budi memergoki aktivitas ilegal mereka di dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang terlarang untuk nelayan asing dan KIA ini menggunakan pukat terlarang. Selain diusir dan ditakut-takuti, nelayan Indonesia juga sudah pernah mendapatkan bentuk ancaman lainnya seperti alat tangkapnya ditabrak, dilempar dengan botol berisi kotoran, dan disemprot air busuk oleh kapal nelayan asing (BBC, 2019). Pencurian ikan ini bukan hanya merugikan negara, terlebih juga merugikan nelayan. Bagaimana kemudian tuan rumah malah diusir oleh pencuri, bahkan tidak sedikit yang mengancam jiwa.
Selain itu, nelayan juga masih dianaktirikan oleh negeri sendiri. Bukti nyatanya adalah pada kebijakan baru penangkapan ikan terukur berbasis zonasi dan sistem kontrak. Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh. Abdi Suhufan, mengatakan program penangkapan ikan terukur melalui sistem kontrak ini cenderung mengistimewakan pengusaha dan perusahaan industri perikanan skala besar. Melalui sistem kuota kontrak, Abdi Suhufan menyebut kalau perusahaan akan mendapatkan keistimewaan luar biasa karena sebanyak 66,6% kuota sudah dikuasai mereka. Persentase tersebut bisa bertambah hingga 95%, karena faktanya koperasi perikanan tidak akan mampu bersaing dengan syarat kontrak yang ditetapkan KKP untuk kebijakan penangkapan ikan terukur.
Eksploitasi dan Degradasi Laut Lewat Proyek Nasional
Pekerjaan nelayan tangkap dan kehidupan masyarakat pesisir sangat lengket dengan laut. Laut sebagai sumber daya alam dengan seluruh ekosistem didalamnya masih perlu diperhatikan oleh negara Indonesia. Bagaimana tidak, jika kemudian banyak wilayah pengelolaan perikanan (WPP NRI) yang berstatus exploited atau bahkan over-exploited misalnya seperti di WPP NRI 712, 716, dan 718.
Salah satu sumber eksploitasi dan ancaman terbesar selain pencurian atau IUUF adalah pada proyek-proyek nasional bersifat destruktif dan eksploitatif yang tercermin dari rencana pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Permen-KP tentang penerapan sistem kontrak di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI). Permen ini merupakan salah satu bentuk operasionalisasi dari PP 85/2021 dan PP 27/2021 yang merupakan turunan UU Cipta Kerja No 11/2020. Tujuannya, mendongkrak penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan target mencapai Rp 12 triliun di tahun 2024 (KORAL, 2022).
Sistem kontrak dan privatisasi zona ini rawan eksploitasi dikarenakan kuota kontrak akan diberikan kepala korporasi atau investor asing yang mau bermitra dengan perusahaan nasional. Nantinya zona-zona yang dibuka bagi para investor asing ini akan memberikan izin bagi kapal-kapal ikan asing ataupun eks-asing untuk masuk dan mengeruk kekayaan laut Indonesia. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menegaskan kepentingan industri dan perdagangan inilah yang mendorong penangkapan ikan berlebih sehingga statusnya over exploited. Hal ini tentunya berbanding terbalik akan kebiasaan kerja para nelayan tradisional yang menitikberatkan pada efisiensi hasil tangkap dan bahkan beberapanya masih berkiblat pada adat dan tradisi penggunaan alat tangkap ikan yang selektif dan kepercayaan mengembalikan kembali ke alam.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, menambahkan bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur ini adalah bentuk eksploitasi, swastanisasi, dan liberalisasi sumber daya ikan yang disponsori KKP. Hal ini dibuktikan dengan lelang terbuka kepada investor per WPP NRI yang ditunjuk dengan ikatan kontrak selama 20 tahun. Dugaan besar ancaman eksploitasi besar-besaran ini juga kemudian diperkuat dengan ditunjuknya 11 WPP NRI yang saat ini sebagian besar sudah dalam tingkat pemanfaatan full exploited, terutama di WPPNRI 711, 713, dan 718. Kemudian, dalam membagi zona menjadi tiga di 11 WPPNRI, itu juga menegaskan bahwa fokus utama adalah untuk kepentingan ekspor atau industrialisasi apalagi dengan hanya 1 zona pemulihan di WPP NRI 714. Padahal semua WPP NRI memiliki zona konservasi atau pemulihannya masing-masing.
KORAL Berdiri Bersama Nelayan
Peran nelayan yang begitu penting dalam tatanan perekonomian negara dan garda terdepan penjaga laut, ternyata masih jauh dari penghargaan. Perjuangan para nelayan sebagai komunitas terbesar ke-4 di Indonesia selali para petani dan buruh masih belum menghasilkan keadilan dan kesejahteraan bagi mereka. Justru nelayan makin tersingkir dan hanya menjadi subjek dari narasi besar negara yang mengatasnamakan keberlanjutan. Tata kelola sumberdaya alam di Indonesia termasuk kelautan dan perikanan telah diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, dimana sumberdaya kelautan dan perikanan dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi nasional, seharusnya rakyat Indonesia berdaulat atas sumber daya tersebut. Termasuk dan terutama bagi nelayan dan masyarakat pesisir.
Maka dari itu, Koalisi NGO untuk Kelautan dan Perikanan yang Adil dan Berkelanjutan (KORAL) dengan ini menyatakan posisi dan menyampaikan desakan/rekomendasi kepada KKP sebagai berikut:
- Menolak dan menghentikan upaya liberalisasi dan privatisasi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia.
- Menolak dan menghentikan upaya penerapan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur yang mengakomodasi sistem kontrak yang menjadi jalan dan kepentingan pemilik modal asing dalam penguasaan sumber daya ikan di seluruh WPP-NRI.
- Menolak dan mencegah perizinan kapal ikan eksasing ataupun kapal ikan asing baru untuk melakukan penangkapan ikan di seluruh WPP-NRI.
- Menolak dan menghentikan alih muat-ikan di tengah laut (transhipment at sea). Semua hasil tangkapan ikan perlu didaratkan pada pelabuhan perikanan atau sentra nelayan yang dikelola oleh pemerintah/publik. Proses transhipment, alih muatan dapat dilakukan di pelabuhan yang dikelola pemerintah maupun masyarakat nelayan.
- Menolak pendaratan hasil tangkapan ikan secara langsung ke pelabuhan yang dimiliki oleh pihak swasta. Pelabuhan milik swasta hanya dapat menerima dan membongkar muatan ikan dari kapal pengangkut ikan ataupun kontainer (jika melalui darat) yang muatannya berasal dari pelabuhan milik pemerintah maupun masyarakat nelayan.
- Segera menyiapkan dan menjalankan sistem perizinan kapal ikan berbasis tingkat kepatuhan (compliance-based licensing) terhadap armada kapal ikan berbendera Indonesia yang sudah ada (existing Indonesian fleets), terutama dan dimulai dari kapal ikan > 30GT.
- Segera melakukan integrasi data pusat-daerah dalam pendataan dan perizinan armada kapal perikanan Indonesia.
- Segera melakukan persiapan aktivasi dan penguatan kelembagaan WPP dan berikut Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP)-nya untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan dan kerjasama pengelolaan dan pengawasan kegiatan perikanan antardaerah pada WPP terkait.
- Segera perkuat kapasitas dan sinergi dalam pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di tingkat pusat dan daerah, terutama untuk pemberantasan IUU Fishing.
- Pemerintah melalui KKP segera melakukan perhitungan ulang stok sumberdaya ikan lestari dan jumlah yang diperbolehkan ditangkap berbasiskan spesies khususnya spesies ikan ekonomis penting di seluruh WPP-NRI dengan metode valid dan akurat sebagai basis data ilmiah yang dijadikan dasar pengambilan kebijakan tata kelola dan pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan.
- Setelah adanya hasil analisis potensi SDI terkini, kepatuhan per kapal ikan > 30GT, integrasi data kapal ikan izin pusat-daerah, dan penguatan sejumlah kelembagaan WPP diperkuat, maka dapat diuji coba secara bertahap penerapan sistem kuota (tanpa kontrak) yang diterapkan dan diberikan kepada per kapal ikan >30 GT (dengan mempertimbangkan tingkat kepatuhan dan produktivitasnya), khusus pada level WPP yang kelembagaan WPP sudah siap.
- Mendesak KKP untuk segera menyusun aturan turunan dari UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang memandatkan KKP untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan, khususnya kepada nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional.
******