Beberapa waktu terakhir, laman sosial media diramaikan dengan berita seorang ibu dan anaknya yang diusir dari sebuah pantai di daerah Sanur, Bali dengan dalih pantai tersebut adalah milik sebuah hotel swasta. Meskipun pada akhirnya pihak hotel memberikan klarifikasi, bahwa masalah tersebut adalah sebuah kesalahpahaman belaka.
Pada hakikatnya pantai adalah milik publik baik untuk kegiatan wisata, mata pencaharian ataupun upacara adat, nyatanya kasus ini menyulut diskusi publik mengenai status pantai sebagai barang privat atau publik yang seharusnya bisa diakses oleh setiap orang.
Kasus ini mengangkat kembali berbagai persoalan serupa di Bali, seperti kasus warga negara asing di Buleleng yang mengusir orang Bali yang melintas di depan villanya atau berbagai laporan mengenai hambatan melakukan upacara adat di pantai yang bersinggungan dengan properti hotel.
Masalah mengenai dominasi sektor privat yang memonopoli tata ruang pantai di Bali sudah merupakan masalah yang terus menjadi dilema besar atas konsekuensi pariwisata terhadap masyarakat lokal .
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 51 tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai sebagai penjabaran dari UU No. 27 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur bahwa sempadan pantai minimal adalah seratus meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Sempada ini dalam pengertiannya dilihat sebagai daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pantai sendiri merupakan barang publik yang pada penerapannya tidak dapat dikuasai baik oleh perorangan maupun kelompok.
Sayangnya, aturan ini masih terbuka atas potensi penyelewengan. Beberapa unit usaha berbasis pariwisata khususnya hotel, resort dan restoran di Bali masih menguasai garis pantai dengan melakukan pembangunan yang menutup akses umum menuju pantai maupun mengambil lahan sangat dekat dengan garis pantai.
Alih-alih dapat diregulasi oleh pihak berwajib, masalah semacam ini menjadi semu dan timpang dengan dasar pariwisata adalah motor bagi peningkatan ekonomi masyarakat, padahal ada banyak masalah lain yang hadir dari praktik-praktik pariwisata.
Pantai dan laut tidak hanya sekedar tempat hiburan, tetapi juga menjadi sumber penghidupan dan pengharapan bagi masyarakat disekitarnya. Tidak melulu soal pariwisata, nyatanya bagi masyarakat lokal pantai dan laut juga merupakan mata pencaharian dan sumber kebudayaan masyarakat pesisir.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa sejak tahun 2017-2019 terjadi penurunan angka produksi perikanan di Bali yang erat kaitannya dengan penurunan angka nelayan. Alih fungsi pantai menjadi pusat sektor pariwisata seolah mendesak pergi masyarakat sekitar.
Tidak hanya itu, ada pula nilai luhur yang tidak tergantikan oleh materi seperti, prosesi serta ritual adat yang berlangsung pada garis pantai, dimana muncul ikatan batiniah antara masyarakat dengan pantai dan laut sebagai suatu kesatuan ekosistem Pulau Bali. Restriksi yang dialami masyarakat Bali dengan laut menjadi sebuah ironi dari pariwisata yang abai terhadap masyarakat lokal.
Tentu masih ada masalah-masalah lain yang timbul dari penguasaan pariwisata pada garis pantai, seperti resiko pencemaran lingkungan, pembuangan limbah berbahaya, dan masalah lain yang mungkin hadir.
Sudah saatnya, pariwisata di Indonesia berubah guna menciptakan kesinambungan antara pendatang dan kehidupan lokal. Perlu pula dilakukan perubahan paradigma akan makna yang melekat pada pesisir dan laut baik sebagai bentuk menghargai lokalitas, tetapi juga sebagai sebuah upaya melakukan konservasi lingkungan dan budaya yang melekat.
Disadur dari lautsehat.id
Penulis: Shara Tobing
Editor: Annisa Dian Ndari