MASYARAKAT ADAT DI PESISIR INDONESIA: BICARA TRADISI, REGULASI, DAN MASA DEPAN

‘Hutan Perempuan Enggros dan Toubati’ di teluk Youtefa Papua menjadi saksi bisu tradisi suku setempat dan menjadi salah satu cara menjaga kelestarian Hutan Mangrove dari sampah. (Gambar: EcoNusa)

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang terpisahkan oleh wilayah laut dan perairan dengan kondisi geografis memiliki luas total 7.827.087 km². Bukan hanya itu, Indonesia begitu kaya akan suku dan adat istiadatnya. Tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki sekitar 1.340 suku bangsa yang tersebar dan menghuni Indonesia di berbagai kota dan pelosoknya, termasuk wilayah pesisir. Namun masih ada dari generasi suku tersebut yang masih menghuni wilayah adat turun temurun. Merekalah yang disebut dengan Masyarakat Adat; sebuah kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul, memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, hukum adat menjadi pembimbing jalan hidup sosial-budaya mereka, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan komunitas ini.

Keberadaan Masyarakat Adat bukan tanpa pengakuan. Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), keberadaan mereka sudah dikumandangkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pada UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dikatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Disini sangat jelas bahwa bahkan sejak semula berdirinya Indonesia, Masyarakat Adat memiliki empat kunci syarat eksistensi yaitu: sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, prinsip NKRI, dan diatur dalam Undang-Undang. Hal ini menjadi amanat dari UUD 1945 sebagai dasar negara. 

Selain itu, dasar pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Hukum Adat juga disampaikan dengan dalam UUD 1945 Pasal 281 ayat (3) dalam bab mengenai hak asasi manusia (HAM), pada Pasal 32 ayat (1) yang mengatakan Negara memajukan kebudayaan Nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin keberadaan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai budayanya, dan pada pasal 32 ayat (2); Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Masyarakat Hukum Adat Pesisir dan Regulasi Negara

Wilayah lautan dan pesisir menjadi yang menjadi pigura kepulauan Indonesia, tentunya tidak lepas dari keberadaan masyarakat hukum adat yang menghuni wilayah pesisir. Wilayah pesisir ini tentunya pun, tidak lepas dari kehadiran Negara melalui regulasi yang mengikat. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490) selanjutnya disingkat UU PWP3K. UU ini adalah salah satu Undang-Undang yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yaitu kekayaan SDA yang berada di PWP3K untuk dikuasai dan dikelola Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, Indonesia juga memiliki UU No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 6 yang menyatakan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan Hukum Adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat, dan juga keberadaan Hak Ulayat atau hak Masyarakat Adat yang bersifat komunal untuk menguasai, memanfaatkan, dan melestarikan wilayah adatnya beserta SDA di atasnya sesuai dengan tata nilai dan hukum adat yang berlaku.

Sementara 2 tahun yang lalu, Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) muncul dengan sejumlah gebrakan regulasi satu payung sebagai upaya menyederhanakan peraturan yang ada. Keberadaan UU CK juga sedikit banyak berpengaruh pada Masyarakat Hukum Adat yang berada di wilayah pesisir. Setidaknya ada beberapa poin dampak negatif UU CK untuk sektor kelautan dan perikanan menurut KORAL salah satunya adalah minimnya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan pemanfaatan pesisir dan ruang laut. Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratraman, UU CK yang memudahkan investasi bagi investor dan pelaku usaha besar membuat masifnya laju kerusakan lingkungan akibat eksploitasi SDA, menyingkirkan hak-hak Masyarakat Hukum Adat, dan korporatisme negara yang melayani pemodal atau investor.

Posisi Masyarakat Adat dalam Naungan Regulasi

Secara regulasi, keberadaan Masyarakat Adat sudah dimaklumatkan dan dimandatkan perlindungannya berdasarkan UUD 1945. Walaupun Pemerintah selanjutnya mengeluarkan beberapa regulasi yang mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ruang laut, dimana Negara berwenang untuk mengatur dan memanfaatkan serta mendistribusikan hasil alam, setidaknya Negara harus ingat mandat lainnya yang mengikat: kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bagi rakyat termasuk Masyarakat Adat. Negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan bagi Masyarakat Adat. 

Regulasi general yang ada memberikan petunjuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Layaknya peraturan dan hukum pada umumnya, tentunya keberadaan regulasi menjadi tolak ukur kehidupan masyarakat sehari-hari dalam melakukan kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan sehingga keadilan dapat terwujud. Namun nyatanya, Masyarakat Adat belum memiliki perlindungan konstitusional. 

Hingga saat ini Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat belum kunjung disahkan. Alasan yang diungkapkan Ketua Panitia Kerja RUU Masyarakat Hukum Adat Willy Aditya adalah karena tidak adanya kemauan politik, baik dari Presiden maupun DPR. Padahal tujuh fraksi sudah sepakat melanjutkan RUU ini sebagai hak inisiatif DPR hasil pleno Badan Legislatif, sementara dua fraksi menolak (VOA Indonesia, 2021). Diindikasikan, bahwa mereka yang menolak agaknya takut bahwa RUU ini nantinya akan bertabrakan dengan regulasi UU CK yang sepertinya menguntungkan banyak pihak dari sisi usaha atau ekonomi, tapi minim keadilan bagi Masyarakat Adat dan lingkungan.

Dr Aartje Tehupeiory, seorang pakar Hukum Agraria dan Hukum Adat, mengatakan bahwa RUU Masyarakat Adat ini menjadi pilar penting dalam menjaga kelestarian budaya, adat istiadat, dan tanah adat. Ditambahkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang mengatakan RUU Masyarakat Hukum Adat dibutuhkan untuk melindungi keberagaman masyarakat Indonesia karena pernah punya pengalaman kelam tentang politik penyeragaman. Secara internasional, Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 169 atau Konvensi Masyarakat Adat 1989 menjadi instrumen internasional pertama yang mengakui Masyarakat Adat. Konvensi tentang Masyarakat Adat yang ditetapkan oleh negara-negara anggota Organisasi Perburuhan Internasional pada 1989 itu, bertujuan untuk merevisi Konvensi ILO No. 107 (Konvensi Masyarakat Adat 1957). Prinsip utama konvensi tersebut adalah perlindungan terhadap Masyarakat Adat atas kebudayaan, gaya hidup, tradisi, dan kebiasaan mereka yang berbeda. Bahwa Masyarakat Adat memiliki hak untuk terus hidup dengan identitas mereka sendiri dan hak untuk menentukan cara dan langkah untuk berkembang.

Indonesia bukan apa-apa tanpa akar adat budaya yang kuat. Sebelum adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanah dan laut ini dimiliki, dirawat, dan dilestarikan oleh Masyarakat Adat atau indigenous peoples. Merekalah yang membuat aturan turun temurun sosial budaya yang menghasilkan cara hidup yang berdampingan dan melestarikan alam untuk generasi mendatang. Sudah saatnya Negara melindungi mereka yang lebih dulu melindungi kita. Apakah Negara memang sengaja menunda hingga Masyarakat Adat hilang baknya legenda?

******