PERLUASAN AREA KONSERVASI APAKAH CUKUP?

Kawasan hutan mangrove Sofifi yang menawan dilihat dari udara. (Gambar: Opan Jacky)

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)  di bulan Januari yang lalu menetapkan dua kawasan konservasi dengan total luasan mencapai 44.932,29 hektare (Liputan 6, 16/01/2022). Kawasan baru yang ditetapkan adalah kawasan konservasi di wilayah Pasaman Barat Provinsi Sumatera barat melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikan (KEPMEN KP) Nomor 2 Tahun 2022 dan wilayah perairan Pangandaran Provinsi Jawa Barat melalui KEPMEN KP Nomor 1 Tahun 2022. Penambahan dua wilayah ini menambah jumlah total kawasan konservasi hingga tahun 2021 mencapai total 81 kawasan konservasi dengan total luasan 13,93 juta hektar. 

Di tahun 2022 sendiri, KKP menargetkan penetapan kawasan konservasi seluas 2 juta hektare. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Pamuji Lestari, mengatakan bahwa di tahun ini, target yang ingin dicapai akan dilaksanakan di beberapa provinsi yaitu Provinsi Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Barat

Lalu apakah upaya pelestarian dan penyelamatan lingkungan pesisir dan laut berhenti sampai di penambahan area? Tentunya tidak. Pekerjaan rumah Pemerintah masih begitu banyak yang belum diselesaikan. Kawasan konservasi kian lama kian terancam karena beberapa hal dan inti masalahnya berada pada peningkatan aktivitas manusia baik di darat maupun di laut. Ancaman pada biodiversitas laut skala luas pada masa sekarang seperti yang ditemukan dalam penelitian sejumlah praktisi Kelautan dan lingkungan di tahun 2008 hingga 2014, dan dikategorikan sebagai berikut:

  1. Perubahan iklim yang menginduksi global warming
    1. Perubahan fisik – berubahnya temperatur permukaan laut yang berakibat pada pemutihan terumbu karang dan abrasi pantai
    2. Perubahan kimia – berubahnya tingkat salinitas laut
  2. Kerusakan habitat
    1. Eksploitasi komersial dan aktivitas pengerukan seperti penebangan mangrove dan alih fungsi lahan menjadi area pertambakan
    2. Pengrusakan habitat terumbu karang
    3. Kerusakan akibat dari operasi penangkapan ikan menggunakan alat penangkapan ikan yang merusak seperti bottom trawling dan dredges
  3. Masalah overfishing dan bycatch
    1. IUUF dan bycatch – memiliki banyak modus operandi dalam illegal, unregulated, unreported fishing seperti penggunaan alat tangkap ikan berbahaya yang berakibat pada bycatch
  4. Polusi yang dihasilkan dari berbagai jenis limbah termasuk di dalamnya yang mengandung kimia berbahaya dan mematikan
    1. Polutan berbahaya – termasuk kimia beracun dan radioactive
    2. Limbah sampah – termasuk didalamnya plastik, sampah anorganik, kaleng, limbah medis sekali pakai (masker,  APD,  alat swab).

Untuk poin nomor 4 misalnya, Indonesia sendiri masih harus memerangi permasalahan ini dalam rangka berupaya menyelamatkan laut Indonesia, lebih dari perluasan area wilayah konservasi. Baru-baru ini, ribuan sampah rapid test antigen kits ditemukan mengapung, terbuang di laut. Ribuan limbah tersebut ditemukan berserakan di sepanjang pantai Selat Bali (Detik.com, 2/2/2022). padahal instrumen hukum mengenai limbah dan polusi sampah sudah diatur pada Peraturan Presiden (PERPRES) No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. 

Limbah bekas alat swab yang ditemukan di sepanjang pesisir Kapuran, Banyuwangi. (Gambar: TvOne)

Sementara untuk poin 3, sudah terlalu banyak kasus yang terus bergulir dan instrumen hukum yang menaungi seperti misalnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang berusaha menghalangi dan menghilangkan tindak illegal, unregulated, unreported fishing di laut kita namun hasilnya belum memuaskan. Yang terbaru misalnya penggunaan alat penangkapan ikan jaring hela udang yang bersifat identik dengan trawl mini untuk kapal-kapal besar membuka sejumlah celah bagi resiko kerusakan laut, penangkapan tidak selektif, dan resiko konflik horizontal dengan nelayan kecil.

Poin ke 2 pun juga masih belum bisa dipecahkan dengan baik. Bagaimana kemudian kawasan pesisir yang seharusnya dijadikan kawasan subur mangrove dan lahan gambut, justru malah beralih fungsi menjadi ekspansi perkebunan kelapa sawit

Perluasan area konservasi tidaklah cukup memperlambat atau bahkan menghentikan maut di laut bagi segala bentuk biodiversitas di dalamnya. Luasan area konservasi pun wajib diamankan dari ke-4 jenis ancaman di atas, karena percuma jika area konservasi luas berjuta-juta hektare jika kemudian tujuan adanya area tersebut tidak tercapai. Tata kelola, koordinasi antar badan berwenang terkait, dan pengawasan yang lemah, serta kepentingan bisnis yang dijadikan prioritas utama masih mengeruhkan langkah pemerintah dalam mengupayakan proteksi laut Indonesia dan area konservasi ini. 

Permasalahan lainnya adalah rendahnya komitmen pemerintah daerah untuk mengelola kawasan konservasi. Hal ini dapat dilihat dari penganggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang diperuntukkan bagi program dan kegiatan konservasi perairan yang masih tidak signifikan. Padahal pemerintah daerah provinsi diberikan kewenangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah hingga regulasi yang mengatur tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (RZWP2K) yang kemudian ditetapkan dalam bentuk Perda, ada untuk mengelola sumber daya alam laut di wilayahnya dengan bijaksana dan tidak memprioritaskan faktor ekonomi semata. Peran pemerintah daerah dalam mengaktifkan dan berkolaborasi dengan sejumlah pihak yang mendayagunakan laut seperti pengusaha swasta, masyarakat adat, nelayan dalam upaya pelestarian dan keamanan wilayah konservasi.

Konsep pengelolaan wilayah konservasi di perairan juga masih belum jelas karena tumpang tindih dengan program-program lain seperti pembangunan, perikanan budidaya, dan pemanfaatan laut lainnya. Pemerintah harus lebih tegas menggambar garis pemisah yang jelas antara satu program dengan program lainnya. Adanya kawasan konservasi ini juga harus dibarengi dengan peta jalan yang terstruktur dan dapat diukur keberhasilan programnya. Masih minimnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM), sarana dan prasarana, serta lembaga yang mengelola kawasan konservasi perairan dan pesisir. Jika merujuk pada dokumen Perencanaan Ruang Laut Indonesia yang dikeluarkan Deputi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, terdapat lebih dari lima wilayah kawasan konservasi tersebar di beberapa provinsi, yang masih dimungkinkan menjadi kawasan pemanfaatan umum KSNT, dan/ atau alur laut. Ketegasan pemerintah untuk tidak mengalihfungsikan area konservasi menjadi hal krusial lainnya yang harus bisa diprioritaskan dan dipastikan. 

Peta Rencana Pola Ruang Laut dalam Dokumen RTRL (Gambar:  dokumen Perencanaan Ruang Laut Indonesia yang dikeluarkan Deputi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia)

Perluasan wilayah konservasi menjadi langkah paling awal yang telah dilakukan pemerintah. Selanjutnya, pemaksimalan, perlindungan, dan pengawasan lah yang menjadi tolak ukur apakah luasnya wilayah konservasi ini beriringan dengan komitmen proteksi, pelestarian, dan perlindungan. Komitmen pemerintah juga bisa terlihat dari ketegasan melawan oknum-oknum yang ingin menguasai daerah konservasi sebagai ladang uang misalnya untuk keperluan pariwisata, penambangan, penangkapan ikan, lahan sawit, dan pengalihfungsian wilayah tersebut menjadi apapun diluar wilayah konservasi. KORAL pun ingin kembali mengingatkan substansi esensial yang termaktub dalam Undang-Undang Kelautan berkenaan dengan pengelolaan ruang laut dimana melalui Pasal 42 Ayat 1 dikemukakan bahwa poin utama yang dituliskan di sana adalah pengelolaan ruang laut dilakukan untuk melindungi sumber daya dan lingkungan dengan berdasar pada daya dukung lingkungan dan kearifan lokal. Maka aspek perlindungan lingkungan dan sumberdaya yang harus dipastikan terlebih dahulu dan menjadi prioritas utama.

******