Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal nyatanya bukan hanya dilakukan oleh nelayan asing di perairan Indonesia. Nelayan Indonesia pun beberapa kali tertangkap tangan oleh otoritas negara lain karena melakukan kegiatan penangkapan ikan ilegal di perairan mereka. Baru-baru ini, dua nelayan asal Kepulauan Riau diamankan otoritas Malaysia karena mencuri ikan di wilayah perairan Malaysia, tepatnya sekitar 68 mil laut Barat Tanjung Jerijeh, Malaysia. Penangkapan dua nelayan Natuna atas nama Kasnadi dan Johan itu dilakukan oleh kapal Penjaga Pantai Malaysia pada Rabu, 07 September 2022 lalu. Dilansir dawi laman Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia/ APMM, kedua nelayan ini diduga melakukan pelanggaran berdasarkan Undang-Undang Perikanan 1985, yaitu menangkap ikan di perairan Malaysia tanpa adanya izin dari Dirjen Perikanan dan Undang-Undang Keimigrasian 1959/1963 karena tidak ditemukan tanda pengenal yang sah.
Tindakan pencurian ikan yang dilakukan nelayan Indonesia bukan tanpa sebab. Laut Natuna Utara merupakan salah satu wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia yang mayoritas berstatus over-exploited. Hal ini dikuatkan dengan menurunnya hasil tangkapan nelayan di perairan Natuna. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah pencurian ikan oleh kapal ikan asing dan keberadaan kapal cantrang.
Tersingkirkan karena Adanya Kapal Ikan Asing
Kapal ikan asing jadi cerita lama yang tidak ada tuntasnya bagi nelayan tradisional di perairan Natuna dan Natuna Utara. Kasus terakhir tepat di tanggal 19 September 2022, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), kembali meringkus dua Kapal Ikan Asing (KIA) yang melakukan aktivitas illegal fishing di perairan Indonesia (iNews, September 2022). Direktur Jenderal PSDKP Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin menuturkan, bahwa kedua KIA berbendera Vietnam tersebut ditangkap pada posisi 03°09.820’N – 104°53.760’E atas nama kapal KG 9269 TS dan kapal KG 9464 TS pada posisi 03°13.640’N – 104°46.900’E oleh Kapal Pengawas (KP) Hiu 11 di Perairan Natuna Utara.
Masih banyaknya pelaku illegal, unregulated, unreported fishing (IUUF) di perairan Natuna masih menjadi polemik yang membuat nelayan tradisional perlahan-lahan tersingkir. Bukan hanya harus “memperebutkan” sumberdaya ikan dengan KIA, nelayan tradisional juga merasa terintimidasi dengan KIA. KIA memiliki ukuran yang lebih besar daripada ukuran kapal nelayan tradisional. Kapal tradisional nelayan rerata berukuran 3 sampai dengan 5 gross tonage (GT), sedangkan KIA berukuran 30 sampai dengan 100 GT atau bahkan lebih. Bukan hanya ukurannya, KIA juga dilengkapi dengan alat tangkap yang berukuran besar seperti pukat harimau. Jika berada dalam jarak yang dekat dan tidak sempat menghindar, jangkar nelayan tradisional bisa tersangkut dan terseret KIA.
Selain bersaing dengan ukuran kapal dan juga khawatir bertubrukan dengan KIA, nelayan tradisional juga makin terusir dengan keberadaan kapal penjaga pantai milik negara lain. Kasus terbaru di bulan September ini, nelayan Natuna kembali menemukan kapal China Coast Guard di perairan ZEE Indonesia. Nelayan merekam keberadaan kapal, waktu kejadian dan titik koordinat keberadaan kapal China itu yang sempat melakukan manuver yang dianggap intimidasi kepada kapal ikan nelayan Natuna. Monitor GPS di kapal milik nelayan Natuna menunjukkan titik koordinat keberadaan kapal penjaga pantai China itu, yaitu 06°15.393’N, 109°37.324’E. Lokasi itu tepat berada di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Temuan ini juga dibenarkan oleh Peneliti enior Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Imam Prakoso membenarkan keberadaan kapal CCG di perairan ZEE Natuna berdasarkan pemantauan citra satelit analisis data perangkat identifikasi otomatis (automatic identification system/AIS). Keberadaan China Coast Guard diduga menjaga beberapa KIA dari China hingga Taiwan. Disekitar area yang sama juga ditemukan kapan trawl Vietnam.
Cantrang Merajalela, Pelakunya Sesama Nelayan Indonesia
Selain KIA yang menghantui laut Indonesia, kapal pelaku IUUF asal dalam negeri juga menjadi momok parasit di laut Natuna. Hal ini diperkuat dengan temuan dari Aliansi Nelayan Natuna. Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri, mengatakan bahwa laut Natuna juga dimasuki oleh kapal cantrang dari pulau Jawa. Bukan hanya terbukti masih menggunakan alat penangkapan ikan (API) terlarang, para nelayand dari Jawa ini juga melanggar zona tangkap yang sudah ditentukan yaitu dibawah 30 mil. Misalnya saja kasus kapal cantrang asal Pati, Jawa Tengah, KM Soyo Sentoso yang tertangkap di laut Natuna pada akhir Agustus lalu. Kapal ikan berukuran 71 GT ini melanggar zona tangkap yang diatur oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.59/2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di WPP RI dan Laut Lepas disebutkan, kapal ikan berukuran di atas 30 GT hanya boleh beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III. Yaitu perairan yang berjarak di atas 12 mil laut dari garis pantai.
Tegas Tumpas Pelaku Illegal Fishing!
Selama ini, Pemerintah berupaya untuk melindungi dan mengawasi perairan Indonesia dari pelaku IUUF baik KIA maupun dari dalam negeri. Namun hasil operasi dengan mengamankan pelaku bukan jadi satu-satunya indikator keberhasilan pemerintah dalam menumpas tindak IUUF. Butuh ketegasan dari Pemerintah yang juga merambat hingga ke petugas patroli Indonesia.
Patroli Indonesia masih sangat lemah sehingga dalam tiap tindak operasi pengamanan, masih saja ada KIA atau pelaku yang tertangkap. Hal ini dibuktikan juga dengan makin dekatnya KIA ke pesisir, bahkan di Natuna, nelayan atau kapal Vietnam bisa menanam rumpon di laut Indonesia. Padahal coba dibandingkan dengan kasus kapal nelayan Indonesia yang melaut di perairan Malaysia. Sudah tertangkap lebih dari empat hari, hingga saat ini nelayan tersebut masih ada di daratan Malaysia. Padahal kapal mereka kecil. Tidak sebanding dengan KIA yang santai-santai merauk untung di perairan kita, hingga mengorbankan nelayan asli Indonesia.
Imam Prakoso menambahkan, patroli aparat Indonesia perlu lebih tegas di Laut Natuna Utara sesuai amanat PP No.13/2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia. Patroli juga harus sampai ke ZEE Indonesia seperti yang dilakukan kapal penjaga pantai China. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati juga menambahkan bahwa secara konstitusi, Negara wajib menjamin hak-hak nelayan menurut Undang-Undang No, 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dan Keputusan Mahkamah Konstitusi No.3/2010 yang menyebutkan bahwa nelayan punya hak akses atas laut.
Bukan hanya itu, Pemerintah juga harus bisa tegas memberlakukan aturan mengenai API di lingkup nasional. Pelarangan penggunaan cantrang jangan hanya sekadar narasi saja. Bentuk ketegasan ini pun harus dilengkapi dengan strategi peralihan dan sarana prasarana pengganti yang mumpuni. Jaring tarik berkantong yang digadang-gadang sebagai pengganti cantrang toh dari segi bentuk yang tidak jauh berbeda, memiliki cara kerja yang hampir sama persis dengan cantrang. Bagaimana kemudian nelayan bisa patuh dan tertib, apabila kebijakan yang diberikan seperti lakon lelucon saja?
Pencurian ikan yang dilakukan nelayan Indonesia harus menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia untuk merefleksikan diri. Apakah Pemerintah Indonesia sudah menjamin hak kesejahteraan dan keamanan nelayan Indonesia? Apakah kemudian Pemerintah Indonesia tidak timpang sebelah dalam menjalankan kebijakan, sehingga mengorbankan nelayan asli Indonesia? Jika nelayan Indonesia sampai merasa tersingkir, barangkali Pemerintah Indonesia lah yang secara tidak langsung turut andil mengusir.
******