HARI MARITIM NASIONAL: NELAYAN MASIH KETAKUTAN BERLAYAR DI LAUT SENDIRI

Hasil rekaman video amatir nelayan asal Kepulauan Riau pada pertengahan September lalu yang berhasil merekam momen Kapal China Coast Guard yang mengintimidasi nelayan Indonesia di wilayah perairan RI. (Gambar: YouTube Tribunnews)

Hari Maritim Nasional yang jatuh pada tanggal 23 September tiap tahunnya, merupakan momentum bagi bangsa Indonesia untuk kembali mengingat momen di tahun 1964 atau setahun setelah Musyawarah Nasional (Munas) Maritim I. Presiden Soekarno menerbitkan Surat Keputusan Nomor 249 tahun 1963 mengenai Hari Maritim. SK tersebut menetapkan tanggal 23 September menjadi Hari Maritim Nasional. Diharapkan, hari nasional ini bisa mengingatkan kita akan potensi besar dari laut dan sebaran pulau di Bumi Pertiwi. 

Berlandaskan dokumen Kebijakan Laut Indonesia, terdapat 7 Pilar Poros Maritim Dunia yang dibuat sejalan dengan salah satu visi Indonesia, yaitu untuk menjadi sebuah negara maritim yang berdaulat, maju, mandiri, kuat, serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai kepentingan nasional. 7 Pilar tersebut adalah:

  1. Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
  2. Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum dan Keselamatan di Laut
  3. Tata Kelola dan kelembagaan di Laut 
  4. Ekonomi, Infrastruktur, dan Peningkatan Kesejahteraan
  5. Pengelolaan Ruang Laut dan Pelindungan Lingkungan Laut
  6. Budaya Bahari
  7. Diplomasi Maritim

Cerita Nelayan Kepulauan Riau

Namun nyatanya, nelayan Indonesia masih belum merasa aman, melaut di laut milik nenek moyang mereka. Salah satunya yang dirasakan oleh nelayan-nelayan di Kepulauan Riau (KEPRI). Dedi, salah satu nelayan yang dijumpai di Pelabuhan Pering, Ranai, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau mengatakan bahwa sejumlah nelayan di Kabupaten Natuna Kepulauan Riau merasa terintimidasi oleh kehadiran kapal penjaga pantai negara asing, saat mereka mencari ikan di wilayah perairan NKRI. 

Pada tanggal 8 September 2022, seperti dilansir dari Antara news, Kapal ‘Coast Guard China’ melakukan gerakan memutari kapal-kapal nelayan KEPRI. Berdasarkan video yang diabadikan oleh Dedi kapal penjaga pantai milik China itu berada di titik koordinat 06°15.394 N 109°37.320 E. 

Salah satu Kapal Coast Guard China-5202 dan Coast Guard China-5403 membayangi KRI Usman Harun-359 saat melaksanakan patroli mendekati kapal nelayan pukat China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna pada tahun 2020. (Gambar: Detik.com)

Bukan hanya intimidasi dari Coast Guard China, selama 13 hari berada di laut, Dedi juga menyaksikan kapal ikan asing milik Vietnam dan Taiwan melakukan penangkapan ikan di laut Natuna Utara. Dedi menjelaskan bahwa sejak akhir Agustus yang lalu, terdapat 16 unit kapal Vietnam, 3 kapal lengkong, dan satu kapal Taiwan yang memasuki dan mengambil ikan di wilayah Laut Natuna Utara. Bukan hanya itu saja, pada 1 September, Dedi juga menemukan  KIA Vietnam berada di posisi 5°27.094 N 108°25.534 E dan kapal traw asal Taiwan pada posisi 05°31.659 N 108°13.833 E. Lalu pada 7 September, ditemukan kembali KIA Vietnam sedang melakukan penangkapan ikan pada posisi 06°06.542 N 109°05.858 E dan dua buah gunakan rumpon pada posisi 06°07.699 N 109°06.056 E.

Hasil Temuan IOJI: Illegal Fishing KIA Vietnam Dilindungi Kapal Patroli

Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) yang merupakan bagian dari KORAL merilis temuan mencengangkan. Bukan hanya kisah Coast Guard China yang mengintai di Laut Natuna, IOJI mendeteksi keberadaan empat kapal patroli pengawas perikanan Vietnam yang berpatroli di sekitar batas Landas Kontinen RI-Vietnam. Keempat kapal patroli itu adalah  kapal Kiem Ngu 216 (KN 216), Kiem Ngu 220 (KN 220), Kiem Ngu 268 (KN268), Kiem Ngu 204 (KN 204). Keempat kapal ini beberapa kali keluar masuk zona non-sengketa sejauh 7 hingga 10 mil laut dari garis batas Landas Kontinen dan bukan hanya terjadi di bulan Maret-Juni 2022, tetapi juga sepanjang tahun 2021.

Manajer Program IOJI Jeremia Humolong Prasetya menjelaskan berdasarkan pertimbangan hukum dalam South China Sea Tribunal Award (2016), kegiatan illegal fishing KIA Vietnam BV5119TS dianggap sebagai tindakan resmi Pemerintah Vietnam dikarenakan tindakan pengawalan yang dilakukan oleh kapal patroli KN 268. Kolonel Laut (P) Amrin Rosihan, Paban ll Ops Sopsal memperkuat temuan IOJI bahwa banyak KIA Vietnam di Laut Natuna Utara yang tidak menggunakan AIS, selain itu temuan Amrin jumlah kapal VFRS (kapal patroli pengawas perikanan Vietnam) lebih banyak dari data yang disajikan IOJI. Amrin menambahkan, pengalamannya bertugas di Natuna beberapa waktu lalu, ditemukan setidaknya dalam 1 hari paling sedikit ada 4 kapal patroli Vietnam.

Menjadi Bangsa Pelaut Seluas-luasnya: Konflik Laut dan Kesejahteraan Nelayan

Polemik konflik laut ini tidak terlepas dari masih belum jelasnya penanganan konflik laut yang terjadi antara Indonesia dengan negara-negara perbatasan lainnya. Misalnya saja pada kasus Laut Natuna Utara atau Laut China Selatan (LCS) yang masih belum menemukan titik kesepakatan. Kedua negara, China dan Indonesia, mempunyai klaim atas wilayah laut. China mengklaim bahwa Laut tersebut masuk ke dalam wilayah perairan mereka. Dilansir dari Britannica, klaim ini bermula ketika China pada 1947 memproduksi peta LCS dengan 9 garis putus-putus imajiner dan menyatakan bahwa wilayah yang masuk dalam lingkaran garis tersebut sebagai wilayah teritorinya. Namun, secara hukum internasional melalui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS), Indonesia mempunyai kedaulatan penuh di Natuna, 200 mil dari pulau terluar yaitu pulau Sekatung dan ini diakui secara internasional. Permasalahannya adalah ketika China melarang aktivitas pada area tersebut yang dilakukan oleh Indonesia. Di dalam UNCLOS, juga disebutkan bahwa negara pantai dapat membuat peraturan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya yang bertalian dengan lintas damai melalui laut teritorial mengenai beberapa hal dan dua diantaranya adalah konservasi kekayaan hayati laut serta pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan Negara pantai. 

Bukan hanya dengan China, Indonesia juga masih belum menyelesaikan polemik perbatasan dengan Vietnam. Perundingan yang sudah bergulir sejak Mei 2010 ini masih belum menemui titik tengah yang memuaskan kedua belah pihak. Diketahui, terdapat perbedaan pengajuan garis batas antar dua negara ini. Indonesia mengajukan garis batas laut yang berbeda dengan garis batas dasar laut. Sedangkan di sisi lain, Vietnam mengusulkan garis batas laut yang sama dengan garis batas dasar laut. 

Konflik laut ini juga sedikit banyak akan berimbas pada kesejahteraan nelayan. Selain kesaksian dan bukti video dari nelayan tradisional KEPRI yang terintimidasi kapal patroli Coast Guard China di wilayah perairan Indonesia, kesejahteraan nelayan Indonesia berkurang karena tindak illegal fishing alias pencurian ikan yang dilakukan kapal ikan asing (KIA). KIA asal Vietnam jadi pelaku “langganan” yang mencuri ikan di dalam batas wilayah perairan Indonesia. Kasus terakhir di bulan Agustus 2022, dimana BAKAMLA berhasil mengamankan kapal berbendera Vietnam dengan nama kapal Chuc Thanh 7 dengan kru kapal terdiri dari 17 orang Anak Buah Kapal (ABK) berkebangsaan Vietnam. Mereka tertangkap tangan mencuri ikan di Laut Natuna Utara, tepatnya pada 06 ° 07’0641″ U – 105 ° 56’8089″ T, atau 3 mil laut (Nm) di dalam garis batas landas kontinen. Mirisnya, bukan nelayan asing saja yang menjadi pelaku, nelayan Indonesia pun acap kali tertangkap mencuri ikan di wilayah Vietnam atau wilayah perairan perbatasan dengan negara lainnya. (Tonton: Beraninya Kapal Penjaga Pantai Coast Guard Asal Tiongkok Intimidasi Nelayan Tradisional Natuna)

Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri,” merupakan isi pesan Presiden Soekarno. Mandat untuk bisa berdikari, aman, dan sejahtera di laut sendiri merupakan mimpi Sang Proklamator dan menjadi mimpi para nelayan Indonesia. 

Mimpi ini masih butuh diperjuangkan oleh kita semua dan menjadi PR bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menjadi sandaran bagi masyarakat pesisir dan nelayan. Negosiasi untuk menyelesaikan konflik laut memang bukan jalan mencapai kesepakatan yang paling cepat, namun paling tepat. Walaupun begitu, Pemerintah harus bekerja lebih efisien, mengingat sudah terlampau lama permasalahan ini terulur. Pemerintah tetap perlu mengingat bahwa penetapan batas maritim Indonesia menjadi persoalan yang krusial, karena itu bisa menjaga kedaulatan negara. Adalah merupakan identitas Indonesia sebagai negara maritim dalam kesatuan Nusantara dan harus tetap berusaha mempertahankan kedaulatan negara dengan terus memperjuangkan setiap jengkal wilayahnya.

******