PENAMBANGAN PASIR ILEGAL DI PULAU RUPAT, BUKTI PENGAWASAN MASIH KURANG TEPAT

Kapal sewaan PT LMU untuk pengangkutan pertambangan pasir laut di Pulau Rupat. (Gambar: Liputan6)

Dan terjadi lagi, kisah lama yang terulang kembali..” agaknya penggalan lirik dari lagu band Noah ini mewakili kasus terbaru yang menghampiri sektor kelautan dan perikanan. Masih hangat diingatan kita, peristiwa pengerukan pasir di Pulau Kondingareng, Sulawesi Selatan, dan kini terjadi lagi peristiwa pengerukan yang sama, di Pulau Rupat, Bengkalis, Provinsi Riau.

Pengerukan pasir ilegal ini akhirnya dihentikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan per 13 Februari lalu. Aktivitas penanmbangan dan pengerukan pasir itu dihentikan karena tidak dilengkapi oleh Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Pelaku penambangan pasir ilegal ini, tidak lain dan tidak bukan adalah PT Logomas Utama (PT LMU) yang memulai operasi penambangan pasir di peisisir utara pulau Rupat sejak 2021. 

Salah satu anggota koalisi KORAL, WALHI sudah mengendus keberadaan aktivitas ini. Direktur Eksekutif WALHI Riau, Even Sembiring, menyampaikan bahwa keberadaan PT LMU ini mendapat penolakan dari para nelyan Desa Suka Damai dan berujuk pada pemberhentian aktivitas tambang. Hal ini diakibatkan oleh berkurangnya sumber daya ikan, udang, kepiting, dan lokan sudah mulai berkurang dan susah ditemukan. Hal ini tentunya berdampak pada hasil tangkapan dan perekonomian nelayan serta warga pesisir. 

Lebih dari itu, dampak penambangan pasir ilegal ini juga berdampak pada degradasi ekosistem dan biodiversitas laut. Pulau Rupat sebelumnya dikenal sebagai habitat dugong, lumba-lumba, dan penyu dikarenakan laut yang menjadi habitat subur bagi terumbu karang. Namun sejak adanya penambangan pasir, satwa laut dilindungi serta keberadaan terumbu karang sudah sulit ditemukan dan jarang terlihat oleh nelayan. 

Pulau Rupat merupakan salah satu pulau terluar karena posisinya yang berada di wilayah perbatasan di pulau kecil terluar. Karena letak pulau tersebut, pemerintah Indonesia menyatakan Pulau Rupat sebagai area keamanan, pemberdayaan ekonomi nelayan, dan bukan untuk ekonomi. Sesuai dengan peraturan pemerintah terkait pengelolaan pulau-pulau kecil, misalnya seperti yang tertulis di Undang-Undang No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, lalu di Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur wewenang pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada Pasal 1 UU 01/2014 dikatakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² beserta kesatuan ekosistemnya. Pulau dengan ukuran sama dengan atau lebih kecil dari luas tersebut, tidak diperuntukkan untuk area pertambangan dan konsensi lainnya. Maka dari itu, pulau Rupat dengan luas 150.288 hektar atau sekitar 1500 km2 termasuk kategori pulau kecil. Berdasarkan hal tersebut, berbagai konsesi yang dibebankan di atas pulau kecil itu dilarang. PT LMU juga sudah melanggar UU No.27 Tahun 200 jo UU No.1 tahun 2014 Pasal 35 huruf (i) yang menyatakan “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.” Selain melawan Undang-Undang yang ada, tambang pasir di Pulau Rupat juga melawan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3 Tahun 2010 yang memberikan empat tolak ukur atau guideline bagi pengelolaan sumber daya alam di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang menitikberatkan pada kemanfaatan sumber daya alam dan tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumer daya alam, serta penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Warga Desa Suka Damai menolak tambang pasir PT LMU. (Gambar: WALHI)

Pemerintah memang sudah menghentikan operasi penambangan ilegal pasir di pulau Rupat, namun hal ini menjadi bukti bagaimana kemudian pengawasan, terutama bagi pulau-pulau kecil terluar, masih sangat lemah. Penambangan pasir adalah satu dari sekian banyak ancaman beresiko tinggi bagi biodiversitas dan ekosistem perairan dan pesisir. Pengalihfungsian lahan pesisir menjadi “kavling” perkebunan sawit hingga keperluan perkebunan dan kehutanan juga marak terjadi. KKP harus bisa berkolaborasi, berkoordinasi dengan Kementerian lainnya seperti Kementerian  Lingkungan Hidup dan Kehutanan misalnya, lalu dengan Pemerintah daerah atau provinsial untuk menggalakkan pengawasan dan penertiban badan usaha yang melanggar seperti ini. 

Dengar laraku, suara hati ini memanggil namamu..” mungkin penggalan lirik lagu Noah tersebut menjadi jeritan hati masyarakat Pulau Rupat. Apakah kemudian butuh demo dan aksi mogok karena degradasi lingkungan yang sudah terlanjur terjadi dulu, baru Pemerintah bergerak? Bukankah sudah menjadi amanah bagi Pemerintah untuk menjaga sumber daya sebelum kerusakan terjadi? Mau tunggu sampai berapa banyak lagi daerah yang bernasib sama dengan Kodingareng dan Pulau Rupat, baru Pemerintah bergerak aktif dan inisiatif dalam menumpas ketidakdilan di lautan? 

******