Di bawah terik matahari tengah hari, Manny (bukan nama sebenarnya) memohon bantuan. “Saya sangat lemah sekarang dan tidak bisa bernapas karena saya menderita asma. Lihatlah. Saya tinggal di kapal dan ini sangat panas,” katanya dalam sebuah video. Dalam video itu ia menunjukkan terpal yang ia gunakan untuk bernaung. Ia menggerakkan ponselnya untuk menunjukkan kapal yang dia tumpangi. “Di kabin kapal ini kami kepanasan, tidak ada AC. Jadi tolong bantu saya agar saya bisa pergi ke rumah sakit.”
Pada 2019, Manny meninggalkan Filipina untuk bekerja sebagai nelayan di Da Wang, kapal penangkap ikan komersial laut lepas milik Taiwan dan berbendera Vanuatu. Mulanya ia berharap pekerjaan ini dapat membuat hidup keluarganya lebih sejahtera. Namun, alih-alih menerima upah yang adil, ia justru menjadi korban perdagangan manusia. Selama berada di Da Wang, dia mengaku telah menyaksikan teman-temannya sesama anak buah kapal (ABK) mengalami kekerasan fisik – bahkan ada satu insiden yang sangat brutal. “Seorang kru senior di kapal bertugas mengawasi kami bekerja. Jika dia teman saya yang sudah meninggal itu tidak bekerja atau tidak bekerja cukup baik, dia akan turun dan mulai memukulnya secara langsung,” tuturnya dengan emosional.
Belakangan terbukti bahwa ABK tersebut meninggal karena kecelakaan, di mana terdapat luka pukul di bagian belakang kepalanya. Meskipun tidak ditemukan penyebab kematian yang berkaitan langsung dengan penyiksaan, kecelakaan itu mendorong 19 ABK lain untuk berhenti karena tak tahan dengan kekerasan fisik yang mereka alami di atas kapal.
Awal Dari Rantai Pasokan Makanan Laut
Bagi ABK migran seperti Manny, sayangnya pengalaman ini terbilang biasa. Peristiwa nestapa ini pula yang menjadi awal perjalanan tuna dari laut ke etalase supermarket. Ini adalah lingkaran setan. Penangkapan berlebihan selama beberapa dekade terakhir telah membuat stok ikan menipis. Kapal kini harus menjelajah laut lebih jauh dan berada di tengah laut lebih lama untuk menangkap ikan. Demi menyiasati biaya operasional yang membengkak, mereka menekan pengeluaran dengan membayar tenaga kerja murah – terutama ABK yang bertugas untuk memasang dan mengangkut kail/tali pancing. Semua ini terjadi di laut lepas yang luas, di luar yurisdiksi negara mana pun, dan tanpa ada yang memantau. Para ABK bekerja di atas kapal tanpa kenal waktu dalam segala cuaca, bertahan di bawah berbagai tekanan dan ancaman, serta terisolasi tanpa bisa membela diri.
Beberapa tahun terakhir, semakin banyak laporan mengungkap bagaimana para pekerja di kapal penangkap ikan jarak jauh diperlakukan. Sejumlah organisasi serikat pekerja migran dan studi kasus bahkan menyebut para ABK telah menjadi sasaran perdagangan manusia, kerja paksa, hingga eksploitasi keuangan seperti jeratan utang.
Mengetahui hal ini, banyak perusahaan mulai mencitrakan diri seolah mereka punya komitmen tinggi prinsip keberlanjutan (sustainability) dalam menjalankan bisnisnya. Bagi Greenpeace dan sejumlah organisasi lain yang telah bertahun-tahun memantau dan mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai pasokan makanan laut, tidak mengherankan jika kebanyakan itu hanya klaim belaka. Citra ini dibangun untuk menanamkan kepercayaan konsumen terhadap produk mereka.
”Fake My Catch”
Penelitian Greenpeace menemukan bahwa tuna dalam kaleng merek Bumble Bee dibeli dari Harris Teeter (anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh Kroger Co.) di Arlington, Virginia pada 12 April 2022 bersumber dari DA WANG, kapal penangkap ikan milik Taiwan yang dipastikan memiliki indikator kerja paksa oleh US Customs and Border Protection. © Greenpeace
Pada 1 September 2022 Greenpeace Asia Timur mempublikasikan laporan “Fake My Catch: the unreliable traceability in our tuna cans” yang mengungkap fakta baru. Bumble Bee, salah satu merek dagang produk tuna kaleng yang beredar di Amerika Serikat, ditemukan telah mengabaikan komitmennya terhadap kelestarian lingkungan dan hak asasi manusia.
Bumble Bee memiliki sebuah platform yang dinamai Trace My Catch di mana konsumen dapat melacak dari mana dan bagaimana tuna yang ada dalam suatu kemasan ditangkap. Namun ternyata transparansi itu semu. Dari 119 sampel kapal berbendera atau milik Taiwan yang memasok Bumble Bee, lebih dari 10% (13 kapal) telah melanggar peraturan Badan Perikanan Taiwan, dan masuk dalam daftar ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing).
Temuan ini mengonfirmasi dugaan atau kekhawatiran akan adanya produk makanan laut di pasar AS yang “dicemari” praktik kerja paksa di sepanjang rantai produksinya. Sebuah tuna kaleng produk Bumble Bee yang diambil di jaringan supermarket AS, Harris Teeter di Arlington, Virginia, diketahui bersumber dari kapal Da Wang yang menurut situs Trace My Catch milik Bumble Bee berlayar di tahun 2019. Saat dicek silang dengan sumber informasi lain, dalam pelayaran tersebut pernah ada seorang ABK dipukuli dan meninggal di laut. Pada April tahun ini, kapten kapal dan delapan kru kapal lainnya didakwa oleh penegak hukum Taiwan atas keterlibatan mereka dalam kerja paksa dan perdagangan manusia.
Terdapat temuan pula bahwa kapal-kapal yang diinvestigasi untuk laporan ini terlibat dalam pengambilan sirip hiu, penangkapan ikan ilegal, dan telah melanggar peraturan penangkapan ikan Taiwan. Selain itu, menurut para ABK nelayan yang diwawancarai yang bekerja di beberapa kapal yang memasok Bumble Bee, mereka semua bekerja lembur dan upahnya dipotong.
Temuan ini bertentangan dengan kebijakan Bumble Bee tentang tanggung jawab sosial perusahaan dan keberlanjutan yang seharusnya dijalankan di sepanjang rantai produksinya.
Tangkapan layar dari platform Trace My Catch milik Bumble Bee yang memperlihatkan sumber tuna berasal dari Da Wang.
Pilihan “Berkelanjutan”
Bumble Bee ingin kita percaya bahwa produk mereka sehat, bergizi, dan, sebagaimana jargon mereka, “good for you”. Tetapi jika dugaan kerja paksa, penangkapan ikan ilegal, dan eksploitasi lingkungan dan pelanggaran HAM lainnya terjadi dalam rantai produksi makanan laut kalengan milik mereka, apakah itu benar-benar baik untuk Anda?
Konsumen yang kritis tentu akan menghindari produk makanan laut yang berasal dari cara-cara salah tersebut. Untuk konsumen AS, jajak pendapat tahun 2022 menunjukkan bahwa hampir 3/4-nya mendukung ketertelusuran, atau kemampuan untuk melacak asal makanan laut yang akan mereka konsumsi. Bumble Bee, salah satu perusahaan terkemuka di pasar tuna kalengan, dan perusahaan induknya di Taiwan, Fong Chun Formosa (FCF), salah satu dari tiga pedagang tuna global teratas, tidak hanya memainkan peran penting dalam industri tuna global, tetapi juga terhadap kesehatan lautan kita dan kehidupan mereka yang bekerja di laut. Sebagai konsumen dan individu yang peduli, yang kita butuhkan adalah rantai pasokan yang lebih transparan serta informasi yang komprehensif, akurat, dan mudah diakses. Itu benar-benar tidak hanya “good for you” tetapi juga baik untuk planet ini.
******
Sumber Utama: Greenpeace Indonesia