Jakarta, 08 Januari 2023 – Perairan Indonesia memiliki peluang pemanfaatan yang sangat menggiurkan. Bukan hanya kaya akan sumber daya hayati dan energi yang tinggi, ruang laut Indonesia juga strategis untuk jalur pelayaran dan instalasi laut. Mulai dari nelayan kecil tradisional hingga ke kapal berukuran besar, mulai dari area konservasi hingga ke kabel bawah laut, ruang laut Indonesia memberikan sumbangan pemasukan negara yang sangat bernilai. Maka dari itu, pengelolaan ruang laut harus dilakukan dengan bijaksana dan terbuka, karena layaknya tambang emas, akan banyak oknum yang berusaha untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dan meninggalkan dampak kerugian yang besar.
Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan bahwa Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU CK) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini berakibat pada kewajiban untuk meninjau dan memperbaiki UU CK dan jika tidak, maka akan menjadikan statusnya inkonstitusional permanen. Seperti diketahui, putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyebutkan bahwa UU CK cacat formil. Ini yang menyebabkan UU CK harus diperbaiki dan diulang dari awal, sesuai dengan prosedur Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Putusan MK tersebut juga mengharuskan “meaningful participation” guna membenahi Undang-Undang Cipta Kerja.
Namun, alih-alih melakukan peninjauan kembali dan perbaikan, Pemerintah justru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 lalu. KORAL menganalisis beberapa perubahan dan atau poin-poin baru dalam Perppu ini yang turut menyasar pengelolaan ruang laut yaitu:
- Pasal 18 Perppu Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 2014. Dalam Pasal 18 tersebut, disisipkan Pasal 17A yang memberikan kekuasaan mutlak kepada Pemerintah Pusat untuk mengubah alokasi ruang laut dalam rencana tata ruang untuk mengakomodasi “Kebijakan Nasional yang bersifat strategis”.
- Pasal 18 Perppu Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 26A yang menghilangkan ketentuan adanya rekomendasi dari pemerintah daerah untuk perizinan pemanfaatan pulau kecil dan perairannya oleh Penanaman Modal Asing (PMA). Izin Berusaha akan diterbitkan Pemerintah Pusat, dan ini mereduksi peran serta kewenangan pemerintah daerah.
- Pasal 18 Perppu Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 51 yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk mengubah status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional. Hal tersebut menjadi ancaman bagi zona inti yang mengandung nilai keanekaragaman hayati tinggi dan juga ancaman bagi keberlanjutan kawasan konservasi dalam jangka panjang. Pengubahan ketentuan Pasal 51 ini sejalan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan yang di dalamnya terdapat ketentuan yang membolehkan perubahan atau alih fungsi dari zona inti kawasan konservasi.
Catatan Kritis bagi Perppu Cipta Kerja – Ruang Laut
Dalam keberadaannya, Perppu Cipta Kerja belum menjawab hal-hal yang disyaratkan MK dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang mengamanatkan perbaikan prosedur dan tata cara pembentukan undang-undang sesuai Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini dikarenakan UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil tentang prosedur dan tata cara pembentukan UU Cipta Kerja. Penerbitan Perppu Cipta Kerja kembali mengulang kejadian cacat formil karena prosedur, tata cara pembentukan Perppu tersebut tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna dan aktif.
Penerbitan Perppu Cipta Kerja merupakan preseden buruk yang menampilkan upaya mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hukum dan melayani percepatan investasi. Hal ini dikarenakan penerbitan Perppu Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor kelautan dan perikanan.
Terkait tata ruang laut, sejumlah peraturan yang tercatat dalam Perppu Cipta Kerja justru memperluas ruang kriminalisasi nelayan dan masyarakat pesisir. Hal ini dikarenakan Pasal 18 Perppu Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat wajib memfasilitasi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional yang melakukan pemanfaatan sumber daya perairan sumber daya perikanan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari (Pasal 20).
Ini mengindikasikan bahwa masyarakat lokal dan masyarakat tradisional juga wajib untuk memiliki Perizinan Berusaha (Pasal 19). Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 diwajibkan kepada: orang perseorangan warga negara Indonesia, korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat, atau Masyarakat Lokal. Jika masyarakat (lokal, tradisional) tidak memiliki kesesuaian kegiatan perizinan berusaha yang tidak sesuai dengan pemanfaatan ruang laut dan merubah fungsi ruang akan rentan dipidana paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000 sesuai Pasal 75. Hal tersebut menambah kerentanan terhadap kriminalisasi nelayan dan masyarakat pesisir dan pulau kecil lainnya.
Tentunya hal ini kurang bijaksana, karena nelayan kecil tradisional dan masyarakat pesisir adalah bagian penting dari sektor kelautan dan perikanan. Keberadaan mereka sejak jaman nenek moyang, sudah mengusung tinggi nilai-nilai keberlanjutan yang walaupun memberdayakan laut, namun di saat yang sama juga turut menjaga dan melestarikan laut. Jika kemudian keberadaan mereka justru rentan akan kriminalisasi, keberadaan nelayan lokal tradisional akan semakin tersingkir dan sulit.
Selain itu, kebijakan terkait pengelolaan ruang laut juga akan mempengaruhi kesejahteraan mereka. Jika kemudian ruang laut dikelola tanpa adanya aspek keterbukaan dan juga diputuskan tanpa adanya wadah konsultasi publik dalam forum diskusi dan audiensi dengan masyarakat pesisir dan nelayan kecil tradisional, yang ditakutkan adalah ketidakberpihakan pengelolaan ruang laut akan keamanan dan hak mereka, tumpang tindih antara kebijakan satu dengan yang lainnya, hingga mengenyampingkan tradisi dan adat budaya di wilayah tersebut.
Pengelolaan ruang laut penting untuk memperhatikan hak asasi manusia dan hak masyarakat pesisir dan nelayan lokal tradisional. Apalagi karena perikanan skala kecil memegang peranan penting sebagai hasil pemasok produk kelautan hingga mencapai 60% dari total produksi perikanan nasional. KORAL berharap keterberpihakan Pemerintah akan nelayan lokal tradisional dan masyarakat pesisir dalam merencanakan pengelolaan ruang laut harus lebih besar porsinya dibandingkan pemain-pemain besar perikanan lainnya.
***
*) Analisis dan pembahasan ini disusun oleh Tim Sekretariat KORAL dan dilindungi Undang-Undang Hak Cipta. Mohon kebijaksanaannya untuk tidak copy-paste artikel dari situs ini. Namun, Anda diperbolehkan untuk mengutip sebagian informasi dari situs ini dengan wajib menyertakan link sumber ke situs ini.