PESAN POLITIK AKADEMISI DAN MASYARAKAT PEMULIA MANGROVE MENJELANG PEMILU 2024

Pada momentum peringatan Hari Mangrove Sedunia 2023, Eksekutif Nasional Walhi dalam kerangka implementasi program FOCUS* (Fisherfolk Empowerment for Climate Resilience and Sustainability/Pemberdayaan Nelayan untuk Ketahanan Iklim dan Keberlanjutan) menyelenggarakan diskusi publik yang membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Diskusi Publik ini mengambil topik Mencari Calon Presiden yang Berpihak Pada Masyarakat Pesisir dan Perlindungan Ekosistem Mangrove.

Dalam diskusi publik ini, hadir sebagai pembicara dua orang masyarakat yang bekerja di tapak untuk melindungi mangrove, yaitu Nur Chayati, perempuan pemulia mangrove yang berasal dari wilayah pesisir Mangunharjo, Kota Semarang, Jawa Tengah; serta Widodo, petambak udang Dipasena Lampung, yang juga pemulia mangrove. Selain mereka, terdapat dua orang akademisi yang concern pada isu pesisir, yaitu Rignolda Djamaluddin, doktor ahli oseanografi lulusan Australia sekaligus dosen ilmu kelautan di Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara; dan Muhammad Karim, dosen sosial ekonomi di Universitas Trilogi, Jakarta. Dari Walhi Eksekutif Nasional, Manajer Kajian Bencana, Melva Harahap; dan Manajer Kajian Hukum Lingkungan, Satrio Manggala, hadir sebagai narasumber.

Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional, Parid Ridwanuddin, perlindungan terhadap mangrove telah menjadi perhatian masyarakat global dan setiap tahun, tepatnya tanggal 26 Juli, diperingati sebagai hari Mangrove Sedunia. Peringatan ini menjadi momentum yang sangat tepat dan sangat baik untuk mengkampanyekan isu perlindungan mangrove untuk penyelamatan ekosistem dan kehidupan masyarakat pesisir, termasuk bagi kehidupan perempuan pesisir. Terlebih lagi tahun 2023 merupakan tahun politik, menjelang Pemilu yang akan diadakan pada awal tahun 2024.

Pada tahun ini, isu mengenai perlindungan masyarakat pesisir dan ekosistem mangrove penting untuk dikemukakan dalam rangka mengarusutamakan keadilan iklim dan wilayah kelola masyarakat,” ungkap Parid pada awal diskusi publik.

Potret Kerusakan Mangrove dan Upaya Pemulihan Masyarakat

Di Mangunharjo, Kota Semarang, Nur Chayati telah bekerja untuk memulihkan mangrove sejak tahun 2005 di kawasan yang telah mengalami abrasi seluas 160 hektar. Secara umum, pantai utara di Kota Semarang mengalami abrasi akibat beban industri yang sangat berat yang mengakibatkan penurunan muka tanah secara signifikan, antara 15-25 cm setiap tahunnya. Pada saat yang sama, terjadi percepatan dampak buruk krisis iklim yang menyebabkan kenaikan air laut.

Nur Chayati bersama dengan komunitasnya terus bekerja menjaga ekosistem pesisir dengan terus menerus menanam dan memuliakan mangrove. Hasilnya, kini wilayah yang terdampak abrasi seluas 160 hektar telah pulih. Lebih jauh, mangrove yang tumbuh telah dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memproduksi pangan dan minuman olahan. “Saat ini, telah banyak pihak yang tertarik untuk bergabung menjaga kawasan pesisir di tempat kami. Mereka datang dari kalangan pelajar, mahasiswa, aparatur sipil negara (ASN), pegawai swasta, dan berbagai kelompok masyarakat lain. Kami ingin membuktikan kepada masyarakat luas bahwa kelompok perempuan pesisir adalah aktor utama yang menjaga pesisir serta memuliakan mangrove,” tegasnya.

Terkait dengan desakan kepada bakal calon presiden, ia menyampaikan seruan bahwa para calon presiden yang nanti akan memimpin Indonesia wajib menempatkan kepentingan masyarakat, terutama ekonomi masyarakat pesisir sebagai prioritas penting dalam program pemerintahannya. “Presiden mendatang harus memiliki visi untuk mengembangkan ekonomi masyarakat pesisir,” ungkapnya.

Kerusakan ekosistem mangrove juga terjadi di wilayah pesisir Sumatera, khususnya di wilayah mangrove yang menjadi greenbelt pertambakan udang Dipasena, Lampung. Di kawasan ini, ekosistem mangrove seluas 200 hektar telah hilang akibat abrasi, dan 400 hektar telah rusak karena alih fungsi menjadi tambak liar. Padahal, lebih dari 5 ribu keluarga pembudidaya udang menggantungkan hidupnya pada sektor budidaya udang ini.

Akibat kondisi tersebut, Sutikno Widodo, pembudidaya udang sekaligus pemulian mangrove Dipasena menyebutkan sebanyak 50 keluarga pembudidaya udang telah direlokasi ke tempat yang lebih aman, lalu sebanyak 25 hektar tambak udang telah jebol serta tidak bisa dikelola untuk budi daya udang. “Akibat hilangnya ekosistem mangrove ancaman abrasi terus terjadi serta laju sedimentasi tidak terkendali,” ungkapnya.

Sutikno Widodo menjelaskan bahwa hilangnya ekosistem mangrove seluas 600 hektar telah memicu penurunan hasil produksi budidaya udang di Dipasena secara drastis. Ia mencatat, Ketika ekosistem mangrove masih terjaga, para pembudidaya udang dapat memanen udang sebanyak 60 sampai 70 ton per hari. “Hari ini, setelah mangrove rusak, produksi kami hanya 13 ton per hari. Ini adalah kehilangan yang sangat besar,” katanya.

Dalam situasi demikian, ia menyayangkan tak adanya penegakan hukum terhadap perusakan ekosistem mangrove meski telah terdapat UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 yang secara tegas melarang perusakan mangrove dan memberikan sanksi tegas bagi para perusak mangrove.

Menjelang Pemilu 2024, Sutikno Widodo menyatakan presiden mendatang wajib memperhatikan keberlanjutan dan keselamatan ekosistem mangrove yang menjadi penopang penting sektor perikanan budidaya di Dipasena. “Sektor perikanan budidaya terbukti menjadi pendorong utama perekonomian Lampung dibandingkan dengan sektor lain. Oleh karena itu, Presiden ke depan harus menempatkan budidaya udang yang dikelola oleh masyarakat sebagai sektor strategis,” imbuhnya.

Kritik terhadap RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Muhammad Karim, Dosen Universitas Trilogi dan penulis buku-buku kelautan dan perikanan, menyampaikan kritik terhadap RPP tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Menurutnya, RPP ini belum mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam mengelola ekosistem mangrove. Dengan kata lain, pengakuan terhadap tata kelola lokal yang dibangun oleh masyarakat belum terlihat dalam RPP ini. “Lebih jauh, tata kelola ekosistem mangrove yang terkandung dalam RPP ini masih sangat terpusat pada negara,” urainya.

Dalam catatan Muhammad Karim, ekosistem mangrove di Indonesia sangat terancam oleh sejumlah hal sebagai berikut:

Pertama, banyaknya regulasi yang tidak melindungi keberadaan ekosistem mangrove, atau melegalkan konversi mangrove untuk kepentingan lain. Di antara yang dapat disebut adalah UU No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, dan PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, yang melegalkan pertambangan pasir laut.

Kedua, keberadaan ekosistem mangrove terancam oleh proyek-proyek pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah, di antaranya reklamasi pantai, pertambangan di wilayah pesisir, laut, dana pulau-pulau kecil, infrastruktur skala besar seperti pelabuhan, Liquefied Natural Gas (LNG), dan lain sebagainya.

Ketiga, pencemaran laut, baik dalam bentuk limbah cair maupun limbah lain seperti plastik berasal dari daratan, yang jumlahnya setiap tahun terus mengalami peningkatan. Akumulasi sampah plastik, telah menyebabkan kualitas ekosistem mangrove mengalami penurunan yang serius karena sampah plastik telah menghancurkan siklus reproduksi mangrove di pesisir Indonesia.

Keempat, ekspansi tambang udang skala besar di kawasan pesisir terbukti menurunkan luasan mangrove di Indonesia dalam beberapa dekade ke belakang. Hal ini diperparah oleh ambisi pemerintah saat ini yang ingin membangun shrimp estate di sejumlah wilayah di Indonesia.

Menurut Muhammad Karim, RPP ini tidak memiliki posisi yang jelas untuk melindungi ekosistem mangrove dari berbagai ancaman tersebut. “Sebaliknya, terdapat sejumlah pasal, terutama pasal 16 dan 18, yang justru melegalkan konversi ekosistem mangrove untuk kawasan lain,” ungkap Karim.

Terkait dengan desakan bagi presiden mendatang, Muhammad Karim menjelaskan bahwa presiden nanti harus memiliki keberanian untuk mengevaluasi sejumlah regulasi sekaligus mengevaluasi proyek-proyek pembangunan yang melanggengkan krisis di kawasan pesisir, laut, dan pulau kecil. “Lebih jauh, presiden terpilih nanti, melalui RPP ini dan regulasi lainnya, wajib memberikan jaminan pengakuan serta perlindungan bagi kelembagaan di tingkat lokal yang terbukti berhasil menjaga ekosistem pesisir, utamanya mangrove,” tegas Karim.

Senada dengan Karim, Rignolda Djamaluddin, dosen ilmu kelautan Universitas Sam Ratulangi, menjelaskan bahwa RPP ini sangat terlambat jika melihat UU induknya, yaitu UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Dengan kata lain, setelah UU itu disahkan pada 2009, baru 14 tahun kemudian ada aturan turunan yang mengatur perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove,” katanya.

Rignolda juga menjelaskan bahwa RPP ini memiliki kelemahan yang serius dalam hal pemberian sanksi terhadap pelaku perusakan mangrove. Menurutnya, RPP ini seharusnya menggunakan sanksi pidana jika merujuk kepada UU 32 Tahun 2009. Namun sayangnya, RPP malah menggunakan sanksi administratif yang sangat ringan dan menguntungkan para perusak mangrove. “Dari sini ini, RPP ini sangat terlihat tidak merujuk kepada UU 32 Tahun 2009, tetapi merujuk kepada UU Cipta Kerja yang melihat sanksi pidana sebagai hambatan investasi,” tegasnya.

Senada dengan itu, Melva Harahap, Manajer Kajian Bencana Eksekutif Nasional Walhi menyebut bahwa ekosistem mangrove di banyak tempat di Indonesia telah terbukti menjadi benteng alami dari ancaman bencana, seperti tsunami dan banjir rob di wilayah pesisir di Indonesia. Keberadaan ekosistem mangrove itu terjaga karenanya adanya pengetahuan masyarakat yang hidup dan terus menjaganya. “Pada titik ini, perlindungan mangrove dalam konteks mitigasi bencana harus melibatkan masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pengalaman, bukan hanya akademisi yang pendekatannya selalu teknokratis,” ungkapnya.

Satrio Manggala, Manajer Kajian Hukum Eksekutif Nasional Walhi, menegaskan bahwa dalam tahun-tahun politik elektoral seperti saat ini, RPP Perlindungan dan Pemberdayaan Ekosistem Mangrove disusun tidak benar-benar untuk melindungi keberadaan mangrove dan masyarakat pesisir. “RPP ini memperlihatkan Pemerintah Indonesia ingin melakukan kampanye ke dunia internasional, dengan tujuan untuk mendapatkan pendanaan iklim,” pungkasnya. 

***

Sumber utama: WALHI