Sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikelilingi oleh lautan dengan dua per tiga dari total luas wilayahnya . Dengan luasan wilayah laut – 6,4 juta kilometer dan garis pantai sekitar 108.000 kilometer, tidak heran Indonesia dianugerahi begitu beragamnya biodiversitas laut.
Menurut data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indonesia adalah bagian dari wilayah segitiga terumbu karang. Tercatat ada 569 spesies, diantaranya 83 genus karang berbatu. Jumlah tersebut merupakan 69% dari semua spesies karang di dunia. Lebih spesialnya lagi, beberapa spesies terumbu karang hanya dapat ditemukan di Indonesia, seperti Acropora suharsonoi (Lombok), Euphyllia baliensis (Bali), Indophyllia macassarensis (Makassar), dan Isopora togianensis (Togean). Berdasarkan data tahun 2019, Tri Aryono Hadi, peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, menyatakan bahwa dari 1153 lokasi terumbu karang, 33,82% (390 lokasi) dikategorikan buruk, 37,38% (431 lokasi) dikategorikan sedang, dan 22,38% (258 lokasi) dikategorikan baik. 74 lokasi terumbu karang hanya menerima kategori sangat baik atau setara dengan hanya 6,42% saja.
Tidak ada informasi sejarah yang jelas mengapa tanggal 2 Juli dijadikan Hari Kelautan Nasional. Namun yang pasti semangat penobatan tanggal tersebut adalah untuk meningkatkan kesadaran warga masyarakat akan kesehatan dan keamanan laut. Lalu, isu apa saja yang perlu kita cermati dan kita awasi untuk menjaga keselamatan laut di hari spesial ini?
Eksploitasi Perikanan Tangkap di Laut yang Sekarat
Isu pertama adalah penangkapan ikan. Tidak dapat dipungkiri, dengan besarnya keanekaragaman hayati, sumber daya ikan, dan komoditas lautnya juga sangat beragam. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia masuk dalam peringkat dua sebagai negara produsen ikan laut terbesar kedua di dunia dengan jumlah 6,43 juta ton. Spesies ikan laut yang berada di Indonesia juga sangat beragam, mulai dari ikan tuna, salmon, dan lain sebagainya.
Namun sayangnya, isu dalam sektor perikanan tangkap sangat banyak dan mengkhawatirkan. Mulai dari penggunaan alat penangkapan ikan (API) terlarang yang masih marak ditemukan seperti cantrang dan bom beracun, pencurian ikan oleh oknum dalam negeri maupun nelayan asing, hingga ke ancaman eksploitasi perikanan tangkap melalui proyek nasional Lumbung Ikan Nasional (LIN), hingga ke Penangkapan Ikan Terukur (PIT).
Menurut data yang diambil dari Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KEPMEN KP) Nomor 19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan (JTB) dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, total estimasi sumberdaya ikan di tahun 2022 adalah 12,01 juta ton. Jumlah ini menurun dari tahun 2017 yang berada di 12,54 juta ton. Angka inilah yang dijadikan basis program PIT tahun ini.
Seperti yang dapat dilihat pada tabel diatas, terdapat 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP NRI) dengan estimasi sumber dayanya. Dapat terlihat pula bahwa sebagian besar tingkat pemanfaatan sumber daya ikan sudah mengalami fully exploited dengan acuan 0,5<E<1 sebanyak dan over exploited dengan acuan E>=1. Selain itu ditunjukkan pula bahwa hanya ada 11 yang statusnya moderate (ditandai dengan warna hijau), 53 statusnya fully exploited (ditandai dengan warna kuning), dan 35 yang statusnya over exploited (ditandai dengan warna merah). Sementara untuk kelompok sumber daya ikan pelagis besar, udang, lobster dan rajungan, di semua WPPNRI sudah berstatus kuning dan merah alias fully exploited dan over exploited.
Rasanya akan sangat tidak bijaksana apabila Pemerintah memaksakan masuknya pemain-pemain besar untuk turut andil meraup lumbung ikan kita yang sudah sekarat ini. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, Pemerintah hanya memikirkan percepatan kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan justru mendorong eksploitasi perikanan lebih besar secara legal. Ini sama artinya Pemerintah malah menggelar karpet merah tanpa adanya kejelasan bagaimana melakukan stock assessment pasca penangkapan untuk PIT berbasis sistem kuota di setiap tahunnya. Apakah stok sehat telah dieksploitasi secara keseluruhan dan berlebihan atau masih berada dalam status aman?
Bagaimana Pemerintah dapat mengawasi dan mengontrol jumlah pasti kuota penangkapan tiap industri tidak melebihi ketentuannya? Sementara hingga saat ini, armada pengawasan saja masih kurang. Ditambah pemerintah Indonesia belum melakukan penilaian stok ikan per jenis hingga saat ini dan masih terbatas melalui acuan tiap lima tahun.
Misi penyelamatan laut dari industri penangkapan ikan ekstraktif harus dimulai dari akar yang kuat, yakni regulasi dan penegakannya. Hal ini agar Pemerintah tidak setengah-setengah dan tidak tebang pilih. Jika Pemerintah malah mengeluarkan regulasi yang justru menyimpan hidden agenda untuk melegalkan industri besar beroperasi dan mengeksploitasi laut, bukan hanya Pemerintah bersifat munafik tetapi juga akan membuat implementasi misi penyelamatan laut dari eksploitasi tidak akan maksimal.
Dalam edisi khusus #HariKelautanNasional tahun ini, KORAL akan merilis 2 artikel dalam judul yang sama dengan kunci pembahasan yang berbeda. Dalam artikel selanjutnya, KORAL akan membahas polemik tambang dan dampaknya pada pesisir dan laut. Termasuk kasus perusahaan asing yang mengoperasikan smelter nikel di Indonesia.
***