PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN BELUM BERUBAH

Foto: Kompas.id

Setiap tanggal 06 April, Indonesia memperingati Hari Nelayan. Bukan tanpa sebab, Hari Nelayan Nasional diperingati sebagai momentum pengingat profesi yang sangat berjasa di negara kita ini sejak tahun 1961 atau sejak zaman Orde Lama. Awal mulanya, tanggal 06 April dipilih karena adat istiadat dari nelayan di kawasan Palabuhan Ratu Sukabumi yang mengadakan upacara Malabuh dari 6-10 April. 

Desa nelayan Palabuhanratu biasa mengadakan upacara labuhan setahun sekali, tepatnya sekitar bulan purnama Maulud. (bulan ketiga menurut penanggalan Hijriah). Oleh karena itu, upacara Malabuh diadakan kapan saja nelayan membutuhkannya, tidak hanya setahun sekali seperti misalnya jika ada peluncuran perdana kapal nelayan baru, upacara ini juga dilakukan. Upacara bisa dilakukan juga untuk meminta keselamatan bagi nelayan yang tertimpa bencana di laut. Upacara berlabuh juga dilakukan untuk menunjukkan apresiasi para nelayan atas hasil tangkapan ikan yang besar.

Selain itu, dilansir dari buku terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), di tanggal yang sama Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia didirikan. Alhasil tanggal 06 April menjadi momen bersejarah penting, kental adat budaya dan tradisi leluhur yang dirayakan Indonesia. Namun sayangnya, hanya pada momen tersebutlah, jasa nelayan dielu-elukan. Sementara nasib mereka di hari-hari biasanya justru jauh dari kata sejahtera.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menilai bahwa kondisi perlindungan dan pemberdayaan nelayan tradisional masih belum terjadi perubahan signifikan, bahkan cenderung stagnan. Perampasan ruang produksi nelayan baik di darat maupun perairan, kriminalisasi dan marginalisasi nelayan melalui regulasi, konflik horizontal terkait alat tangkap yang merusak, hingga lahirnya Perppu Cipta Kerja yang sekarang menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. “Berbagai dinamika tersebut semakin mengerucutkan pertanyaan tentang realisasi komitmen pemerintah dalam perlindungan dan pemberdayaan nelayan tradisional/kecil dan realisasi dari komitmen tersebut,” katanya di Jakarta, Kamis (6/4). Menurut Susan, seharusnya nelayan mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Bahkan, nelayan harusnya bisa menjadi tuan atas darat dan lautnya sendiri. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 yang diolah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah nelayan yang beraktivitas di laut pada tahun 2020 sebanyak 2.359.064 jiwa. Angka ini hampir dua kali lipat jumlah nelayan yang terdata pada data kependudukan Kemendagri berbasis E-KTP di tahun yang sama yaitu sejumlah 1.360.263 jiwa. Sedangkan nelayan yang sudah terdaftar Kartu Pelaku Usaha Bidang Kelautan dan Perikanan (Kusuka) pada tahun 2022 tercatat 1.563.433 jiwa. “Jadi jika dilihat menggunakan data KKP pada tahun 2022, kurang lebih 700.000 jiwa nelayan sesuai data di tahun 2020 belum difasilitasi sebagai pelaku usaha perikanan,” ucapnya.

Susan menilai, perbedaan jumlah nelayan yang cukup besar antara data Kemendagri dengan data KKP, memperlihatkan tak ada angka pasti jumlah nelayan di Indonesia. Selain itu, kondisi ini juga menunjukkan buruknya sistem pendataan nelayan baik oleh Kemendagri maupun KKP sendiri. “Dengan ketidakjelasan data nelayan di Indonesia kita perlu mempertanyakan bagaimana dan untuk siapa sesungguhnya program pembangunan kelautan dan perikanan yang dikemas sebagai blue economy?” ujarnya.

Data-data nelayan itu juga disebut Susan kerap tidak mengakomodir pengakuan perempuan sebagai nelayan. KIARA mencatat beberapa kasus di berbagai daerah, di mana ketika perempuan berusaha mengubah data pekerjaannya sebagai nelayan pada identitas kependudukan mengalami hambatan dan terkadang dipersulit. “Berbagai hal tentang nelayan dan perempuan nelayan ini seharusnya menjadi perhatian khusus untuk segera berbalik dan menjalankan mandat konstitusi dalam melindungi dan memberdayakan nelayan sebagai pahlawan protein pangan laut bangsa,” tegasnya.

***

Sumber Utama: Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Gatra