BAYI DIPERJUALBELIKAN, KENAPA KKP HARUS TURUN TANGAN?

Beberapa belakangan ini, jagat media sosial diramaikan oleh trend mukbang dari Korea Selatan atau Food Autonomous Sensory Meridian Response  (Food ASMR) yang biasanya diperlihatkan dalam bentuk video dokumentasi seseorang makan besar. Tidak jarang terlihat, beberapa diantaranya mengonsumsi baby crab atau kepiting yang masih berusia muda dengan ukuran cangkang dibawah 10 cm. Lalu, apakah ada yang salah dengan itu? Mari kita ulas beberapa peraturan yang menekankan aturan penangkapan bayi-bayi laut.

Bayi kepiting yang diperjualbelikan di e-commerce. (Gambar: Shopee)

Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 12/Permen-KP/2020 Tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia menggarisbawahi beberapa poin dalam beberapa pasal mengenai aturan penangkapan bayi-bayi sumber daya perikanan seperti lobster, kepiting, dan rajungan.

Pada pasal 2 ayat 1 (a) dan 1(b) dikatakan bahwa lobster yang diperbolehkan untuk ditangkap tidak dalam kondisi bertelur yang terlihat pada:

  1. Abdomen luar dan ukuran panjang karapas diatas 6 (enam) cm atau berat diatas 150 (seratus lima puluh) gram per ekor untuk lobster pasir (Panulirus homarus);
  2. Tidak dalam kondisi bertelur yang terlihat pada abdomen luar dan ukuran panjang karapas diatas 8 (delapan) cm atau berat diatas 200 (dua ratus) gram per ekor untuk Lobster jenis lainnya.

Lalu di peraturan yang sama juga dikatakan bahwa penangkapan benih lobster juga hanya boleh dilakukan dengan tujuan pembudidayaan dan dilakukan sesuai dengan instruksi pada Pasal 3 Ayat 1 poin (b) dan poin (c) dimana penangkapan Benih Bening Lobster (Puerulus) dan/atau Lobster Muda dilakukan oleh Nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok Nelayan di lokasi penangkapan Benih Bening Lobster (Puerulus atau BBL) dan/atau Lobster Muda dan BBL dan/atau Lobster Muda harus dilakukan dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang bersifat statis.

Selain itu, pada Pasal 7 Ayat 1 mengenai penangkapan dan/atau pengeluaran Kepiting (Scylla spp.) untuk kepentingan konsumsi di atau dari wilayah Negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ketentuan:

  1. Tidak dalam kondisi bertelur yang terlihat pada Abdomen luar.
  2. Ukuran lebar karapas diatas 12 (dua belas) cm atau berat diatas 150 (seratus lima puluh) gram per ekor; dan
  3. Penangkapan Kepiting (Scylla spp.) harus dilakukan dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang bersifat statis atau pasif.

Sementara untuk Rajungan atau Portunus spp., memiliki beberapa peraturan mengenai penangkapan rajungan di alam liar pada Pasal 11:

  1. Tidak dalam kondisi bertelur yang terlihat pada Abdomen luar;
  2. Ukuran lebar karapas di atas 10 (sepuluh) cm atau berat di atas 60 (enam puluh) gram per ekor;
  3. Kuota dan lokasi penangkapan Rajungan (Portunus spp.) sesuai hasil kajian dari Komnas KAJISKAN yang ditetapkan oleh direktorat jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap;
  4. Pengambilan Rajungan (Portunus spp.) harus dilakukan dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang bersifat statis atau pasif.

Selain PERMEN KP No.12 Tahun 2020, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga memiliki pembaharuan instrumen hukum, khususnya setelah kasus korupsi BBL yang terjadi di tahun 2020 dengan mengeluarkan PERMEN KP No. 17 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia.  Ketentuan penangkapan kepiting dalam Permen No. 17 tersebut memiliki pengecualian. Sama halnya dengan penangkapan lobster, penangkapan kepiting dan rajungan dengan kriteria di luar ketentuan di atas tetap boleh ditangkap untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan pengkajian. Syaratnya, penangkapan wajib dilengkapi dengan SKA dari UPT Perikanan Tangkap, UPT Perikanan Budidaya, dan Dinas serta surat keterangan dari badan riset. Penangkapan kepiting di luar kriteria di atas juga diperbolehkan untuk kegiatan pembenihan, berbekal dengan syarat SKA dari UPT Perikanan Tangkap, UPT Perikanan Budidaya, dan Dinas serta surat keterangan usaha dari dinas. Yang terakhir, pengecualian juga diberikan untuk pembudidayaan. Pengeluaran kepiting bertelur yang dikecualikan untuk kepiting yang berasal dari pembudidayaan wajib dilegkapi dengan SKA dari UPT Perikanan Budidaya atau Dinas.

Selain itu pada PERMEN KP No. 17 tersebut juga dimandatkan bahwa tidak boleh diperjualbelikan untuk kegiatan ekspor dan hanya diperbolehkan untuk kegiatan budidaya di dalam negeri. Sementara itu, lobster dewasa boleh ditangkap untuk konsumsi dalam negeri dan juga diekspor. Syaratnya, lobster dewasa tersebut sedang berada dalam kondisi tidak bertelur. Terdapat dua klasifikasi lobster dewasa yang bisa dikonsumsi dalam negeri atau diekspor ke luar negeri. Yang pertama adalah lobster jenis pasir dengan karapas lebih besar dari 6cm atau berat di atas 150g. Sementara jenis lainnya adalah lobster dewasa dengan ukuran lebih besar dari 8 centimeter dan beratnya di atas 200 gram.

Bukan hanya dua PERMEN, KKP juga telah mengatur melalui regulasi dalam PERMEN KP No. 56 Tahun 2016 yang menitikberatkan akan peraturan penangkapan kepiting bakau di wilayah Indonesia. Dalam PERMEN ini disebutkan bahwa, penangkapan kepiting bakau diperbolehkan apabila lebar karapasnya mencapai 15 cm dan/atau di atas 200 gram. 

Tragisnya, bukan hanya BBL, namun kepiting juga berada dalam tepian jurang eksploitasi. Perlu diketahui bahwa menurut penelitian yang dilakukan di Perairan Mangkang Wetan, Semarang, eksploitasi kepiting menjadi salah satu isu genting yang harus segera ditanggulangi. Permintaan yang tinggi dari pasar mendorong nelayan untuk menangkap lebih banyak kepiting bakau dari alam liar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ervia Yudiati, et al., dari Universitas Diponegoro di tahun 2020, dikemukakan bahwa tingkat eksploitasi S. Serrata jantan mencapai 34%, dan tingkat eksploitasi S. Serrata betina sebesar 55%. Eksploitasi S. Serrata betina menunjukkan bahwa telah terjadi eksploitasi berlebihan karena nilai optimum eksploitasi (E-OPTIMUM) setara dengan E=50%.

Hal ini diperburuk juga dengan degradasi lingkungan yang tentunya memainkan peran penting dalam keberlangsungan hidup dan regenerasi dari lobster, kepiting, dan rajungan itu sendiri. Keberadaan terumbu karang yang kian menipis ditambah jika adanya penambangan pasir yang membuat abrasi laut, dampak global warming pada salinitas laut, hingga kerusakan dan peralihan fungsi mangrove membuat laut dan wilayah pesisir tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi “bayi-bayi” ini untuk bertumbuh dan berkembang biak di habitat aslinya.

Pemerintah agaknya harus mengambil sikap sama sigapnya dengan pendirian kampung-kampung budidaya. Perikanan budidaya memang menjadi langkah baik dalam pengendalian dan pengurangan aktivitas perikanan tangkap untuk beberapa komoditas termasuk lobster, kepiting, dan rajungan, namun rasanya edukasi dan pengawasan serta penindakan akan penangkapan bayi kepiting dan rajungan juga harus dilakukan. Jangan sampai karena “ketidaktahuan yang disengaja maupun tidak disengaja”, laut menjadi merugi lebih parah lagi. Apalagi pemerintah juga sudah memiliki instrumen hukum mengikat yang menjadi basis pelarangan jual-beli bayi lobster, kepiting, dan rajungan hasil tangkapan langsung dari laut untuk konsumsi publik. Ketegasan KKP dalam mencegah penangkapan “bayi-bayi” ini diharap mampu membawa kejelasan bagi khalayak umum bahwa masa depan laut, ada di tangan benih-benih ini dan di tangan kita, untuk tidak menangkap atau bahkan memperjualbelikannya.

*****