Pulau Wawonii adalah sebuah pulau kecil di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan luas 867,58 km², Pulau Wawonii dihuni oleh lebih kurang 37 ribu jiwa yang tersebar pada tujuh kecamatan yaitu Wawonii Barat, Wawonii Tengah, Wawonii Tenggara, Wawonii Selatan, Wawonii Timur, Wawonii Timur Laut, dan Wawonii Barat.
Pulau kecil ini tidak serta merta hidup nyaman dan damai, jauh dari hingar bingar konflik. Nyatanya saat ini terdapat lima perusahaan pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara, 2022) dan salah satunya adalah PT Gema Kreasi Perdana (GKP) yang berdasarkan data diatas memiliki 2 izin usaha pertambangan (IUP). Sejak keberadaannya di awal, PT GKP sudah menabur benih-benih konflik dan kerugian di Pulau Wawonii.
Red flag pertama adalah pada pada 14 November 2008, Bupati Konawe menerbitkan Surat Keputusan Nomor 543 Tahun 2008 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksploitasi kepada PT Gema Kreasi Perdana, terletak di Kecamatan Wawonii Selatan (SK 543/2008). Pada tanggal yang sama, yakni 14 November 2008 Bupati Konawe menerbitkan Surat Keputusan Nomor 556 Tahun 2008 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Kegiatan Penambangan Nikel kepada PT Gema Kreasi Perdana, terletak di Kecamatan Wawonii Timur (SK556/2008). Padahal seharusnya SK 556/2008 diterbitkan lebih dahulu dengan melampirkan keputusan kelayakan lingkungan.
Perlu diingat bahwa pada saat itu, Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 23/2007) dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (PP 27/1999) merupakan regulasi yang berlaku dan mengatur mengenai pemberian izin usaha yang harus memiliki analisis dampak lingkungan hidup dan wajib melampirkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan.
Pelanggaran terkait izin pun terjadi berulang. Jika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, apabila perusahaan yang mengadakan perubahan usaha dan/ atau kegiatan wajib mengajukan permohonan perubahan Izin Lingkungan. Maka dari itu, PT Gema Kreasi Perdana harus memiliki izin lingkungan baru karena 3 tahun setelah SK 556/2008 diterbitkan, terdapat PP Izin Lingkungan tahun 2012 yang baru. Alih-alih meminta PT Gema Kreasi Perdana untuk memperoleh izin lingkungan, justru pejabat yang berwenang: Bupati Konawe, Kepala BKPMD Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Kepala DPMPTSP Provinsi Sulawesi Tenggara, menerbitkan secara terus-menerus sejumlah perubahan IUP-OP PT Gema Kreasi Perdana dalam kurun waktu 2014-2019. Artinya, para pejabat yang berwenang diduga kuat telah melegitimasi dan memberikan proteksi atas penambangan ilegal tanpa perizinan lingkungan di Kabupaten Konawe Kepulauan yang dilakukan oleh PT Gema Kreasi Perdana.
Selain itu, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dikatakan pada Pasal 1 ayat (3) bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000 km² beserta kesatuan ekosistemnya. Maka dari itu Pulau Wawonii masuk ke dalam kriteria pulau kecil dan pemanfaatannya tidak diprioritaskan untuk aktivitas pertambangan. Sama seperti Pulau Sangihe di Sulawesi Utara (Baca: Sangihe Nasibmu Kini). Hal yang sama juga diamanatkan oleh dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Sulawesi Tenggara 2018–2038 yang diatur oleh Peraturan Daerah Nomor 9/2018. Dimana menurut dokumen ini, Pulau Wawonii dan perairan sekitarnya untuk tujuan perikanan tangkap.
Namun nasib naas tak dapat ditolak. PT GKP tetap beroperasi di Pulau Wawonii hingga berujung pada pencemaran lingkungan. Beberapa perwakilan warga Pulau Wawonii menggugat hal ini dengan mengajukan permohonan uji materiil Pasal 23 ayat (2) dan 35 huruf (k) Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Ke-28 warga Pulau Wawonii ini bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga, Petani, Pekebun, Guru, dan Wiraswasta. Mereka hanyalah segelintir dari begitu banyaknya masyarakat yang dirugikan oleh kegiatan penambangan PT GKP. Kerugian yang dialami langsung dan nyata oleh masyarakat setempat adalah pencemaran air. Masyarakat telah dipaksa untuk membeli air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, terutama untuk konsumsi, karena lumpur dari kegiatan pertambangan telah tercampur dengan air bersih yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari menjadi warna coklat pekat.
Selain itu, kehadiran PT GKP juga menimbulkan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat. Ada beberapa masyarakat yang pro dengan kehadiran PT GKP dan ada yang kontra atau menolak kehadirannya. Beberapa kasus konflik yang terjadi juga berhubungan dengan pembebasan lahan, kecemburuan sosial, dan konflik dengan aparat keamanan di sekitar wilayah tambang.
September Ceria: Nilai Demokrasi dan Keadilan bagi Wawonii
15 September merupakan Hari Demokrasi Internasional. Hari ini pertama kali ditetapkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2007 yang bertujuan untuk mengamati dan menilai keadaan demokrasi di seluruh dunia dan mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi seperti undang-undang hak asasi manusia dan kebebasan berbicara.
Berbicara mengenai demokrasi, Alamudi memperkenalkan 11 prinsip Soko Guru Demokrasi; dimana salah satu prinsipnya berbunyi jaminan hak asasi manusia. Menurut gagasan ini, hak-hak asasi manusia harus dijamin oleh Konstitusi. Jaminan hak asasi itu setidaknya mencakup hak-hak dasar dan upaya untuk mempertajam, memperbaiki, dan memperluas hak-hak asasi manusia harus selalu diupayakan seiring berjalannya waktu.
Salah satu hak asasi manusia adalah akses terhadap lingkungan yang aman, bersih, sehat, dan berkelanjutan (United Nations Human Rights Council/ UNHRC). Indonesia sendiri sudah memegang prinsip dan amanat yang sama melalui Pasal 28h Ayat (1) Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Agaknya perjuangan warga Pulau Wawonii untuk terbebas dari kepungan tambang mengingatkan kita akan poin-poin demokrasi diatas; dimana masyarakat Pulau Wawonii memperjuangkan keadilan dan hak mereka akan lingkungan yang lebih baik dan sehat. Perjuangan ini pun sampai pada titik manis tatkala DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra) resmi menghapus alokasi ruang tambang di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Mata Lokal, 2023).
Menurut Fajar Ishak selaku Ketua Panitia Khusus RTRW DPRD Sultra, keputusan untuk melarang aktivitas pertambangan di Konawe Kepulauan didasarkan pada putusan Mahkamah Agung (MA) karena hal itu bertentangan dengan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). MA pun meminta Pemda Konkep untuk merevisi pasal RTRW kabupaten tentang alokasi tambang. Bukan hanya peniadaan ruang tambang, tetapi seluruh fasilitas dan atribut terkait seperti pelabuhan khusus aktivitas bongkar muat hasil pertambangan juga akan ditiadakan.
Keputusan ini tentunya menjadi angin segar dan kelegaan tersendiri bagi warga Pulau Wawonii yang sedari awal menolak keberadaan pertambangan di tanah leluhur mereka. Sahidin selaku Juru Bicara masyarakat Wawonii, mengucapkan terima kasih kepada DPRD Sultra karena telah mengembalikan Kabupaten Konawe Kepulauan seperti sebelumnya tanpa aktivitas penambangan. Sahidin juga berterima kasih atas upaya pansus RTRW Provinsi Sultra yang telah mencabut titik koordinat tambang di Pulau Wawonii dan menjadikan Wawonii sebagai wilayah pertanian dan perikanan.
Tapi tidak berhenti disini, perjuangan warga Pulau Wawonii masih belum usai. Keadilan belum diketuk palu dan masih perlu diawasi perjalanannya hingga Pulau Wawonii betul-betul bersih dan kembali sehat seperti sediakala. KORAL berharap, semoga Indonesia selalu diingatkan untuk tetap berkiblat pada demokrasi, keadilan, dan kejujuran. Sehingga nilai-nilai luhur dan hak asasi manusia serta lingkungan terus diperjuangkan dan disuarakan hingga kemakmuran dan kesejahteraan tercapai dengan sempurna.
***