TANTANGAN IMPLEMENTASI AKUAKULTUR DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM

Pencemaran akibat kegiatan akuakultur dan konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak kini marak terjadi. Hal tersebut tak jarang menimbulkan konflik dan aksi protes dari masyarakat pesisir. Sejauh ini akuakultur menjadi salah satu penyumbang angka tertinggi dari produksi perikanan Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, sampai dengan triwulan IV tahun 2022, rumput laut memiliki volume produksi tertinggi yaitu 2.392.877 ton, kemudian ikan Nila dengan produksi 482.249 ton, disusul ikan Lele 359.479 ton. Dari  ketiga komoditas tersebut total volume produksi budidaya perikanan sebesar 3.664.008 ton.

Pengembangan perikanan budidaya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan telah menjadi fokus utama di banyak negara, termasuk Indonesia. Indonesia telah memiliki komitmen untuk mengembangkan budidaya dengan pendekatan ekosistem. Hal ini dibuktikan dengan adanya Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (PERDIRJEN PB) No. 154/2019 tentang Petunjuk Teknis Akuakultur Dengan Pendekatan Ekosistem (ADPE). Aturan ini kemudian menjadi landasan penting bagi praktik akuakultur yang berwawasan lingkungan.
PERDIRJEN PB No. 154/2019 memuat panduan teknis dalam mengelola kegiatan perikanan budidaya, termasuk di dalamnya praktik akuakultur. Regulasi ini menggarisbawahi pentingnya memadukan akuakultur dengan upaya menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan sumber daya perikanan.

Salah satu aspek utama dari ADPE adalah pendekatan berkelanjutan. Dokumen ini memberikan panduan mengenai penggunaan lahan yang bijaksana, manajemen air yang efisien, serta penggunaan pakan yang ramah lingkungan. Perlunya harmoni antara kegiatan manusia dan lingkungan tidak dapat diabaikan. Dalam upaya menciptakan keselarasan ini, kehadiran ADPE memberikan manfaat yang substansial.

Pertama, keberadaan kawasan akuakultur tidak akan mengganggu peran dan fungsi lingkungan. Dengan memadukan aktivitas akuakultur dan ekosistem, ADPE berperan menjaga keseimbangan alam, yang pada akhirnya mendukung keberlanjutan sumber daya lingkungan.
Selanjutnya, ADPE juga berkontribusi pada peningkatan dukungan sosial ekonomi atas keberadaan kawasan akuakultur. Tak hanya itu, manfaat dari ADPE adalah perlindungan legalitas pelaksanaan dan perencanaan akuakultur. Dalam skema ini, ADPE memberikan kepastian hukum bagi pengelolaan usaha akuakultur, memberikan keyakinan bagi petambak untuk mengembangkan aktivitas budidaya mereka. ADPE memperkuat jaminan usaha akuakultur, mendukung pertumbuhan investasi dalam sektor ini, yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan produksi.
Terakhir, penerapan ADPE memperkuat daya saing produk akuakultur melalui klasterisasi dan sertifikasi produk. Ini memberikan kualitas yang diakui secara internasional, memperluas pasar potensial dan memberikan kontribusi pada perekonomian nasional.

Seperti yang disampaikan oleh Kepala Dinas Lombok Timur, Zainuddin dalam Pelatihan Akuakultur Dengan Pendekatan Ekosistem (ADPE) di Bogor pada 9 Agustus 2023, bahwa Implementasi ADPE sebagai alat pengelolaan budidaya di Kawasan Teluk Seriwe, telah berhasil membangun sinergi antara Perangkat daerah, pembudidaya, NGO dan akademisi. Hal ini mencerminkan kontribusi ADPE dalam menggalang sinergi untuk pengelolaan budidaya.

Penggabungan manfaat tersebut menjadikan ADPE sebagai alat yang efektif dalam memajukan sektor akuakultur secara berkelanjutan. Dengan kerja sama yang kuat antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, petambak, dan masyarakat, potensi ADPE dapat terwujud sebagai landasan yang kokoh dalam membangun perikanan budidaya yang berwawasan lingkungan dan berdaya saing.

Namun, tantangan juga tak bisa diabaikan, penerapan ADPE sangat kompleks dalam hal pengelolaan dan koordinasi. Memastikan keselarasan berbagai elemen ekosistem dan aktivitas budidaya memerlukan pemahaman dan kerjasama yang baik dan continue antar pemangku kepentingan.
Penerapan ADPE mungkin memerlukan pengaturan, regulasi, dan kebijakan yang melibatkan proses birokrasi yang rumit dan memerlukan dukungan politik yang kuat untuk mengatasi hambatan administratif dan pendanaan. Tantangan yang akan dihadapi selanjutnya adalah memastikan bahwa melalui program ADPE, para petambak dapat merasa diakomodasi dengan baik dan merasakan manfaat yang signifikan.
Dalam konteks ini, perlu diupayakan pada komunikasi efektif, pendekatan partisipatif, dan pemberdayaan para petambak agar mereka benar-benar merasa sebagai bagian integral dari program yang dijalankan. Implementasi ADPE memerlukan adaptasi lebih lanjut dan pedoman teknis yang khusus, sesuai dengan kondisi ekologis yang berbeda disetiap wilayah Indonesia.

Kerjasama antara pemangku kepentingan, termasuk petambak, peneliti, dan pemerintah, akan menjadi kunci dalam mengoptimalkan potensi pendekatan ini dan mencapai tujuan bersama untuk perikanan budidaya yang berkelanjutan.

***

Sumber utama: Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia