CATATAN DIPLOMASI: MENDESAK DUA KEMENTERIAN BENAHI PELINDUNGAN AWAK KAPAL IKAN

Bersama koalisi masyarakat sipil yang tergabung dengan nama Tim 9, pertengahan Agustus 2023 lalu Greenpeace Indonesia mendatangi dua kementerian yang punya mandat dalam urusan tata kelola kelautan dan perikanan, serta pelindungan pekerja perikanan baik lokal dan migran Indonesia. Dua kementerian tersebut adalah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman & Investasi (Kemenkomarves) dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu).  

Agenda utama kunjungan kami untuk mendesak pemerintah meratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Konvensi yang diterbitkan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2007 tersebut secara khusus mengatur standar pelindungan bagi para pekerja di sektor kelautan. 

Lebih dari itu, K-188 juga mengisi kekosongan pelindungan ketenagakerjaan di bidang perikanan yang selama ini dikecualikan dalam Konvensi Ketenagakerjaan Maritim atau Maritime Labour Convention (MLC) tahun 2006. K-188 memuat sejumlah pembaharuan dalam upaya pelindungan pekerja di sektor industri perikanan agar tak terjebak dalam praktik kerja paksa, perbudakan modern, dan perdagangan manusia.

Tim 9 sendiri merupakan koalisi informal sejumlah individu perwakilan masyarakat sipil berlatar belakang beragam dari elemen serikat pekerja, asosiasi perikanan, manning agency, dan akademisi. Mereka adalah anggota atau terlibat dalam institusi atau organisasi seperti Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), Kesatuan Pelaut dan Pekerja Perikanan Indonesia (KP3I), Indonesia Ship Manning Agents Association (ISMAA), Human Rights Working Group (HRWG), Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Indonesia Sulawesi Utara (SAKTI Sulut), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Rumoh Transparansi, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Greenpeace Indonesia.

Pada 15 Agustus lalu, kami mendatangi Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenkomarves, Jodi Mahardi. Sebelumnya, kami ingin mendatangi Presiden Joko Widodo. Namun, Menteri Sekretaris Negara, Pratikno mengarahkan kami ke Kemenkomarves. Saat berdiskusi dengan kami, Jodi didampingi sejumlah pejabat lainnya seperti Deputi Direktur Ketahanan Maritim dan Isu Strategis, Adriani Kusumawardani, Asisten Deputi Delimitasi Zona Maritim dan Kawasan Perbatasan, Sora Lokita, dan Pelaksana Tugas (Plt) Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim, Heylus Komar. 

Kepada pihak Kemenkomarves, Sekretaris Jenderal SBMI, Anwar Ma’arif, menjelaskan bahwa konvensi itu penting untuk diratifikasi guna memperkuat pelindungan buruh migran Indonesia, khususnya yang bekerja di kapal ikan. Dari sekitar 700 kasus yang telah ditangani oleh serikatnya, Bobby—sapaan akrabnya—menyebut sebagian besar korban mengalami kerja paksa di atas kapal dari berbagai negara seperti Cina, Taiwan, dan beberapa negara Eropa. Dari 11 indikator kerja paksa menurut ILO, lebih dari enam indikator dialami oleh awak kapal perikanan (AKP) asal Indonesia. “Paling banyak gaji ditahan, jam kerja panjang, penganiayaan juga, penyiksaan. Kondisi paling buruk banyak yang meninggal dan dilarung ke laut. Proses pelarungannya juga tidak sesuai standar internasional” tambah Bobby.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah Nasution, menyebut bahwa rencana untuk meratifikasi konvensi tersebut sudah ada sejak lama dan seharusnya antara kementerian dan lembaga negara bisa bersinergi untuk mengadopsi aturan internasional yang akan melindungi AKP Indonesia baik yang bekerja di kapal dalam negeri dan asing.

Arifsyah menduga bahwa ada sejumlah pejabat kementerian masih belum memiliki pengetahuan dan pemahaman yang utuh tentang konvensi ini, namun bukan berarti target ratifikasi terabaikan. “Tidak perlu buru-buru meratifikasi, tapi perlu langkah progresif,” kata Arifsyah. “Kita enggak minta langsung ratifikasi, tapi lebih ke pembelajaran terkait dengan MLC 2006 yang sudah diratifikasi, tapi hanya fokus pekerja kapal niaga, belum menyasar ke kapal ikan. Kalau kita enggak improve tata kelola perikanan di dalam negeri, akan terus banyak AKP yang keluar negeri. Mereka tetap ‘dieksploitasi’. Mereka berasumsi, dengan gaji enggak menentu di dalam negeri, lebih baik ‘dieksploitasi’ di luar negeri tapi gajinya lebih besar. Sekitar 450-650 USD per bulan. Dibilang lebih besar, memang iya, tapi risiko juga jauh lebih besar,” tambahnya.

Merespon hal tersebut, pihak Kemenkomarves berjanji akan menginisiasi pertemuan lintas kementerian dan lembaga negara—termasuk mengundang Tim 9—untuk membahas rencana ratifikasi ini pada September mendatang.

Satu hari setelahnya, 16 Agustus, Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) Kemlu, Judha Nugraha, juga menerima kedatangan kami untuk membahas hal ini. Dalam pertemuan itu, Ketua Umum SBMI Hariyanto mengatakan bahwa perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN pada awal September mendatang bisa dijadikan momentum untuk membangun kesadaran publik soal pelindungan AKP Indonesia dan pentingnya meratifikasi konvensi sebagai basis aturan pelindungannya. Menurut Hari, Kemlu perlu terlibat.

Dalam pertemuan yang sama, Sekretaris Jenderal SAKTI sekaligus Ketua Tim 9, Syofyan, mewanti-wanti ke pihak Kemlu agar segera berkoordinasi dengan Kemenkomarves. Pasalnya, lembaga yang dipimpin oleh Retno Marsudi ini memang sudah sejak lama memiliki target membentuk tim terpadu yang terdiri dari sejumlah kementerian dan lembaga negara, beserta organisasi masyarakat sipil. Sehingga, jangan sampai dua kementerian itu justru jalan sendiri-sendiri.

Jangan sampai ada dua [rapat berbeda] begitu. Nanti Kemenkomarves bentuk [tim lain] lagi. Atau nanti Kemlu bikin acara bersama, padahal subjek pembahasannya sama. Jadi bisa dikoordinasikan terlebih dahulu mungkin,” kata Syofyan.

Kedatangan kami ke kedua kementerian itu juga sebagai momen penyerahan Rekomendasi untuk Akselerasi Peta Jalan Ratifikasi Konvensi Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, 2007 (K-188) yang telah rampung dikerjakan pada Maret lalu. Kami berharap dokumen ini bisa jadi upaya konkret membantu pemerintah mengambil langkah meratifikasi konvensi penting ini.

***

Sumber Utama: Greenpeace Indonesia