Jika pada part 1 kita sudah membahas aspek regulasi dan kebijakan seputar Ekonomi Biru, pada part-2 ini, KORAL akan membahas intisari bahasan pada Webinar Sail To Campus – Universitas Airlangga: Mendobrak Ekonomi Biru Melalui Inovasi Laut Berkelanjutan dari dua narasumber terakhir yaitu Jogo Segoro dan startup perikanan, ARUNA.
JOGO SEGORO – EKONOMI BIRU: LAUT HARUS BEBAS SAMPAH PLASTIK
Ekonomi biru tentunya tidak terlepas dari laut yang bebas limbah, termasuk didalamnya limbah plastik yang masih menjadi momok lautan saat ini. Thara Bening Sandrina dari Jogo Segoro mengungkapkan bahwa masalah sampah laut ini berhulu dari pengelolaan sampah di daratan. Menurut data dari National Plastic Action Plan (2020) dikatakan bahwa sebanyak 620 ribu ton sampah plastik mencemari sungai dan laut. Tingkat pelayanan pengelolaan sampah Pemerintah Daerah masih rendah dengan persentase pengelolaan yang baik hanya 32% dan operasional tempah pembuangan akhir (TPA) lebih dari 55% masih merupakan pembuangan terbuka. Jika ditilik lebih jauh lagi, indeks ketidakpedulian masyarakat Indonesia terhadap sampah di tahun 2018 juga masih terbilang tinggi, yaitu di angka 72%. Hal ini terbukti juga dari tingkat komposisi sampah plastik yang terus meningkat di setiap tahunnya seperti di tahun 1995 sebesar 9%, di tahun 2005 naik menjadi 11%, dan di tahun 2016 menjadi 16%.
Lalu apa dampaknya pada laut? Tentunya adalah mikroplastik. Mikroplastik sendiri sudah ditemukan ditemukan di semua sampel air sungai yang diteliti ECOTON antara lain di sungai Brantas, sungai Citarum, sungai Ciliwung, dan Bengawan Solo. Daerah pesisir pantai mulai dari Kepulauan Seribu, Karawan, Bangka, dan Ternate juga sudah terkontaminasi. Jejak kontaminasi mikroplastik pada perairan Indonesia kemudian dapat dilihat pada hasil pangan lautnya seperti misalnya hasil sumberdaya ikan di Selat Madura seperti ikan, udang, kerang, dan bahkan garam. Dampaknya adalah bagi manusia yang mengonsumsi hasil perikanan ini tentunya meningkatkan resiko penyakit seperti kelainan syaraf, kanker, hormon, dan reproduksi serta bisa mempengaruhi dalam jangka panjang.
Lalu dampak sampah laut bagi blue economy adalah dari sisi ekologi dan ekonomi. Pertama-tama, Thara mengingatkan akan kasus paus sperma yang terdampar di Wakatobi beberapa tahun lalu, dimana didalam perutnya terdapat 6 kilo sampah. Sampah plastik yang mencemari laut bukan hanya dalam jangka panjang berubah menjadi ancaman mikroplastik, tapi juga berpengaruh pada kesehatan dan keselamatan hewan laut. Satwa laut yang terancam atau bahkan mati karena makan sampah laut ini kemudian akan mempengaruhi rantai makanan dan keseluruhan jajaran ekosistem laut itu sendiri. Salah satu contohnya adalah populasi ikan tuna, mackarel, dan bonito menurun 74% dalam kurun waktu tahun 1970 hingga 2010. Dari sisi ekonomi, data dari World Bank menyebutkan bahwa sampah plastik yang mencemari lautan Indonesia telah menyebabkan hilangnya pendapatan negara hingga US$171 juta di sektor pariwisata dan penangkapan ikan.
Indonesia memiliki banyak masalah terkait sampah dan bahkan belum mampu untuk menangani masalah sampah “buah tangan” negeri sendiri. Namun tragisnya, Indonesia malah membuka gerbang menjadi TPA bagi negara-negara maju lainnya seperti Amerika Serikat dan Australia yang mengirim sampahnya ke Indonesia. Jogo Segoro dalam hal ini sudah mengirimkan surat permintaan ke pihak Kedutaan Besar Amerika Serikat, namun seperti yang diduga, pemerintah negeri paman Sam itu justru berbalik menyalahkan pemerintah Indonesia. Padahal “transferan sampah” ini seharusnya menjadi pertanggungjawaban kedua belah pihak.
ARUNA – EKONOMI BIRU, PEMBERDAYAAN NELAYAN, DAN PRODUK LAUT
Ekonomi biru juga tidak terlepas dari figur nelayan dan masyarakat pesisir. Sebagai tulang punggung roda perekonomian dari sektor kelautan dan perikanan, sudah selayaknya dan sepantasnya mereka diperhatikan lebih dan dijamin kesejahteraannya dengan adanya program ekonomi biru. ARUNA, sebuah startup besutan anak negeri memiliki misi untuk membuat laut sebagai tempat kehidupan yang lebih baik untuk semua, mulai dari menyelesaikan tantangan di industri maritim dan perikanan, bahwa bukan tantangan ekonomi saja yang harus diperhatikan tapi tantangan dari segi keberlanjutan juga wajib diselesaikan.
Salah satunya adalah data mengenai angka kemiskinan nelayan. Indonesia memiliki lebih dari 3 juta nelayan yang hidup dibawah garis kemiskinan dan merepresentasikan 25% dari kalangan kurang mampu di Indonesia. Tantangannya adalah:
- Rantai Supply Chain yang tidak efisien dan cukup panjang dari masyarakat pesisir untuk sampai kepada market atau konsumen
- Pengelolaan data yang buruk dan belum terintegrasi antara data produksi dengan data kebutuhan pasar
- Quality Control yang buruk dari sisi penangkapan dimana nelayan terfokuskan pada penangkapan sebanyak-banyaknya tanpa tahu kebutuhan pasar yang mengutamakan kualitas. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan alat tangkap ilegal untuk bisa menangkap ikan sebanyak-banyaknya.
Adanya tantangan ini, ARUNA menyediakan solusi terintegrasi yaitu end-to-end supply chain dengan berfokus pada industri maritim dan produk perikanan melalui platform yang menghubungkan antara nelayan, masyarakat pesisir, dan atau petambak dengan platform ARUNA, dimana didalamnya sudah terhubung dengan Direct Customer (B2B2C) mulai dari pasar ekspor impor, perusahaan processing food, supermarket, hotel, restaurant, hingga retail dan value-added product.
Selain memberdayakan nelayan dan masyarakat pesisir, ARUNA juga menjalankan prinsip pendataan nelayan (fisherman profiling) dan traceability data untuk memastikan para nelayan yang tergabung dalam platform ARUNA menangkap ikan di wilayah-wilayah yang diperuntukkan secara legal dan bukan zona konservasi sehingga sudah memenuhi aspek traceability dan sustainability.
EKONOMI BIRU LEBIH DARI SEKADAR PROYEK PENINGKATAN NILAI PENDAPATAN NEGARA
Dari webinar ini, KORAL menyimpulkan ada beberapa aspek untuk mendobrak pemikiran dan pengimplementasian ekonomi biru lebih dari sekadar peningkatan aspek ekonomi dan lebih mengutamakan keberlanjutan dan juga kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir:
- Kedaulatan yang absolut dan diakui dunia menjadi PR pertama yang harus diselesaikan. Masih adanya 27 PPKT yang belum tersertifikasi menjadi celah kelemahan kedaulatan Indonesia di pulau-pulau perbatasan terluar. Kedaulatan ini juga bukan hanya masalah sertifikasi pulau, namun juga armada perlindungan dan pengawasan. Indonesia masih sangat lemah dengan jumlah “armada sehat siap tempur” dari TNI AL yang berjumlah dibawah 126 unit kapal. Padahal illegal unregulated unreported fishing atau IUUF masih menjadi tindak kriminal nomor satu di laut Indonesia, baik yang dilakukan oleh oknum nelayan dalam negeri maupun nelayan asing. Menurut data KKP, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Terbentang dari Sabang hingga Merauke, Indonesia memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km2. Dari total luas wilayah tersebut, 3,25 juta km2 adalah lautan dan 2,55 juta km2 adalah Zona Ekonomi Eksklusif. Luasnya wilayah perairan laut Indonesia membutuhkan armada pengawasan dan pengamanan yang juga tidak kalah banyaknya. Jarak dari satu titik koordinat ke koordinat lain cukup jauh dan akan sangat tidak optimal dan efisien apabila kemudian armada yang dimiliki hanya sedikit. Tidak heran Indonesia selalu rugi puluhan Triliun Rupiah per tahunya karena IUU fishing dari kapal ikan asing.
- Implementasi ekonomi biru harus dimulai dari pembenahan bukan hanya pembangunan. Dulu, mantan Presiden Republik Indonesia, Alm. Gus Dur pernah mengatakan bahwa kelautan atau laut menduduki peringkat utama daripada perikanannya; karena tanpa laut yang sehat, ikan tidak dapat hidup dan diberdayakan. Agaknya hal ini harus menjadi acuan bagi pemerintah bahwa pembenahan secara optimal, efisien, dan maksimal harus dilakukan dari hulu ke hilir yaitu:
- Sumberdaya Alam dan Ikan – kawasan padang lamun dan rehabilitasi mangrove harus lebih cepat digalakkan dan masif. Keberagaman mangrove juga harus dipastikan demi kemajemukan ekosistem dan flora fauna lokal yang menghuni hutan mangrove. Selain itu penanaman terumbu karang juga harus dibarengi dengan upaya pengawasan aktivitas yang menjadi ancaman kerusakan bagi terumbu karang itu sendiri yaitu misalnya penggunaan alat tangkap ilegal yang destruktif, kegiatan pariwisata merusak seperti snorkeling dibawah kedalaman 2-3 meter. Selain itu sumberdaya ikan harus dipastikan keberlanjutannya dengan peningkatan jumlah dan luas wilayah konservasi dan atau nursery ground mulai dari sumberdaya ikan di sungai hingga ke laut sehingga rantai makanan dari hulu ke hilir terpenuhi. Stok SDI juga harus diperbaharui secara berkala untuk memastikan angka stok SDI sehat yang tepat sebagai acuan kebijakan. Karena toh program nasional Triliunan Rupiah cuma akan merugikan Indonesia dalam jangka yang lebih panjang, apabila stok ikan dan kerusakan ekologi menjadi dampak dari penangkapan ikan terukur.
- Sampah – sampah dan limbah bekas pakai atau produksi meningkatkan ancaman penyerapan bahan kimia berbahaya yang membahayakan keselamatan hewan laut dan manusia. Kepunahan hewan laut akibat limbah sampah ini juga harus menjadi agenda utama dari pemerintah pusat dan daerah. Ketegasan pemerintah harus mampu menurunkan jauh angka limbah plastik atau limbah tidak atau sulit didaur ulang dengan meregulasikan penggunaan kemasan hingga ke proses pembuangan yang dikenakan kepada seluruh stakeholder mulai dari kegiatan pra produksi, produksi, distribusi, penjualan-pembelian, hingga ke purna jual. Pemerintah juga harus memberikan sarana dan prasarana untuk pemilahan limbah sampah dan pengolahan limbah. Pemerintah Indonesia juga dihimbau untuk menghentikan penerimaan dump waste cite dari negara lain. Perlu disadari bahwa Indonesia saja masih belum becus dalam mengelola sampah hasil tangan sendiri, apalagi menjadi “tempat sampah” negara lain yang tentunya juga tidak sedikit jumlahnya.
- Efficient supply chain dan program pemberdayaan nelayan menjadi kunci ekonomi maritim Indonesia setaraf dunia. Sebelum membuka gerbang bagi perusahaan industri perikanan luar untuk masuk ke laut Indonesia, pemerintah seharusnya menjadikan nelayan dan pelaku industri perikanan skala kecil-medium untuk bisa bersaing di kancah global. Alih-alih memuaskan pelaku industri dengan modal investasi besar, pemerintah harusnya sadar bahwa investasi yang sesungguhnya ada pada tangan masyarakat muda dan pesisir yang betul-betul sudah merasakan asam-garam kehidupan kelautan dan perikanan. Nelayan masih butuh pemberdayaan secara edukasi, keterampilan, sarana dan prasarana, hingga jalur dan wadah yang bukan hanya mumpuni tapi juga bebas dari kepentingan pribadi oknum-oknum yang ingin meraih keuntungan untuk dirinya sendiri. Wadah ini akan menjadi jalan bagi nelayan untuk bisa melebarkan “sayap” pasarnya, belajar memenuhi kriteria kualitas produk perikanan kelas dunia, hingga membuka wawasan lebih luas mengenai sebab-akibat menjaga ekosistem laut untuk keberlanjutan rejeki mereka sendiri. Bukankah dengan demikian pemerintah bukan hanya berhasil mensejahterakan mereka, tetapi juga menambah “bala bantuan” dalam menjaga keberlanjutan dan keamanan laut secara “cuma-cuma”?
Webinar ini membuka perspektif KORAL akan skema ekonomi biru. Jika kemudian ekonomi biru masih terkungkum dalam perspektif pengerukan ekonomi sebagai prioritas utama, tentunya ekologi hanya menjadi aspek nice-to-have saja dalam sejumlah kebijakan dan regulasi serta program nasional ekonomi biru gubahan pemerintah sejak jaman kepemimpinan SBY. KORAL berharap, pemerintah bisa lebih memprioritaskan faktor ekologi diatas semuanya. Setidaknya ada dua artikel yang menjadi pondasi kewajiban ini bagi pemerintah yaitu sesuai dengan Article 24 dan 27 United Nations convention on the Rights of the Child (UNCRC) setiap anak berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, lingkungan hidup yang bersih, standar hidup yang layak termasuk makanan, tempat tinggal, dan air bersih serta Ayat 3 Pasal 33 Undang-Undang 1945 bahwa “… Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat…”. Sedangkan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menjelaskan bahwa: “…Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional…”. Pemerintah memiliki kewajiban menjamin semua regulasi dan skema perekonomian untuk kebaikan jangka panjang dan demi generasi mendatang.
******