ANCAMAN DAMPAK INDUSTRI NIKEL: SEDIMENTASI LIMBAH BERBAHAYA HINGGA KERUSAKAN EKOSISTEM LAUT

Perairan Teluk Basamuk, Papua Nugini, berubah warna karena tercemar limbah tambang nikel perusahaan milik China di tahun 2019 . (Gambar: Reuters)

Diperkirakan industri olahan bahan nikel akan menjadi inti sektor tambang Indonesia.  Melalui kebijakannya, Presiden Joko Widodo ingin mendorongkan percepatan program Kendaraan  Listrik Berbasis Baterai (KLBB). Sejak dua tahun lalu, Presiden Joko Widodo telah meneken  Peraturan Presiden tentang Percepatan Program KLBB. Melalui perpres itu, Jokowi mengatakan  pemerintah ingin mendorong industri otomotif, dengan membangun industri mobil listrik di  Indonesia. Menurut Presiden Jokowi, sekitar 60 persen dalam mengembangkan mobil listrik  kuncinya ada di baterai. Ia menyebut bahan baku untuk membuat baterai tersebut ada di Indonesia.  Jokowi sendiri telah membidik perusahaan otomotif asal Amerika Serikat, Tesla, agar mau investasi  di Indonesia.  

Greenpeace Indonesia menyatakan upaya pemerintah menggenjot industri mobil listrik  tidak bebas dari ancaman lingkungan1. Peleburan untuk menjadi nikel baterai akan menghasilkan  dampak, yaitu limbah asam dalam jumlah besar yang penuh dengan logam berat. Mengutip dari  Mongabay2, Indonesia telah berencana untuk menambah 30 smelter nikel baru, beberapa di  antaranya khusus dirancang untuk menghasilkan nikel baterai. Hal yang kemudian menjadi  masalah adalah limbah dari pengolahan nikel yang dibuang ke wilayah perairan Indonesia atau  melalui DSTD (deep-sea tailings disposal ) atau pembuangan tailing ke laut dalam sebagai opsi yang  paling hemat biaya sebagai produk akhir tersisa setelah ekstraksi logam. 

Dalam jurnal Deep-Sea Ecosystems: Biodiversity and Anthropogenic Impacts 3, setidaknya  ada beberapa efek dari DTSD yaitu: tertekannya lapisan zona bentik dan aneka ragam organisme di dalamnya akibat sedimentasi yang mengakibatkan ke kerusakan dan kematian organisme,  peningkatan jumlah racun yang dihasilkan oleh logam berat baik yang mengendap ataupun  mengapung, bentuk butiran partikel DTSD yang tajam dapat mengoyak struktur pakan dan tempat  tinggal larva, serta longsoran limbah atau partikel yang mengapung dapat terbawa hingga ke  wilayah pemukiman pesisir dan daerah tangkapan ikan yang akan berdampak pada kehidupan  ekonomi sosial wilayah pesisir atau nelayan. Hal itu menyebabkan substansi racun tersebut  terambil oleh organisme laut. Seperti Lamun dan berbagai jenis ikan dan kerang yang dikonsumsi  oleh manusia, melalui proses biological magnification mampu mengakumulasi logam berat. Akan  tetapi dalam jangka panjang hal ini dapat berdampak buruk terhadap kesehatan manusia.

Maka dari itu, Juru Kampanye Energi Terbarukan Greenpeace Indonesia Satrio Swandiko  Prilianto pun menyoroti bayang-bayang masalah pelanggaran hak asasi manusia, hak buruh, dan  kerusakan lingkungan serius terkait dengan industri baterai dan pertambangan. Serupa dengan  Greenpeace, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bersama dengan Jaringan Advokasi  Tambang (JANTAM) juga menyoroti hal yang sama di tahun 2020, dimana Kementerian  Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Maritim) pernah mengundang sejumlah  lembaga pemerintahan pusat dan daerah rapat koordinasi terkait perizinan penempatan tailing  bawah laut (deep sea tailing placement/DPST)4 untuk menindaklanjuti pengajuan beberapa  perusahaan hidrometalurgi di Halmahera Selatan, Pulau Obi di Maluku Utara dan Morowali,  Sulawesi Tengah. Bagaimana kemudian pembuangan limbah nikel ke laut dalam, turut  “menyumbang” laju perusakan ruang hidup masyarakat dan ekosistem pesisir dan pulau kecil yang  berimbas pada kenaikan permukaan air laut, keberlangsungan ekosistem mangrove, padang lamun,  terumbu karang, dan sumber daya perikanan yang ujung-ujungnya bukan hanya merusak ekosistem  laut secara keseluruhan namun juga mengancam keselamatan nyawa manusia seperti yang terjadi  di Brasil tahun 20155.  KLBB adalah program dari Pemerintah yang lahir dari semangat dan niatan yang baik. Luhut  Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan bahwa  program ini ditujukan untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan di udara dan eksploitasi  bahan bakar fosil. 2,2 juta nelayan Indonesia6 menggantungkan nasibnya pada laut dan wilayah  pesisir dan alangkah tragisnya apabila tujuan program KLBB yang mulia itu justru kemudian  mengorbankan aspek lingkungan yang juga sama pentingnya.

******

1 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210219205135-20-608629/bayang-bayang-ekstraksi-nikel-di-balik-proyek-mobil-listrik

2 https://www.mongabay.co.id/2020/05/29/saat-limbah-smelter-nikel-dikhawatirkan-bakal-jadi-ancaman-baru-bagi-biota-laut/ 

3 https://brill.com/view/book/edcoll/9789004391567/BP000013.xml 

4 https://bisnis.tempo.co/read/1367448/alasan-kemenko-marves-kaji-pembuangan-limbah-tailing-ke-laut/full&view=ok

5 https://www.mining.com/tragic-deja-vu-vales-dam-break-leaves-dozens-of-brazilians-under-mud/  

6 https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-011017089/nasib-22-juta-nelayan-bergantung-pada-kpk-kiara-usul-reshuffle-menteri-kkp-dari-nelayan-perempuan