NELAYAN TENGGELAM DALAM PROBLEMATIKA BAHAN BAKAR

Nelayan mengisi solar ke dalam jerigen di dermaga kapal ikan Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (6/11). Sejak sebulan terakhir, nelayan di daerah tersebut kesulitan mendapat pasokan solar karena adanya pengurangan jatah di SPBN setempat. (Foto: ANTARA/Dedhez Anggara)

Food and Agriculture Organization (FAO) merilis data bahwa posisi sektor perikanan yang berperan penting bagi sumber kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini diperkuat dengan jumlah nelayan Indonesia yang tidak sedikit. Data per tahun 2017 mengungkapkan, nelayan Indonesia mencapai jumlah 2,6 juta orang atau setara dengan 6,44% nelayan yang beroperasi di seluruh dunia. Namun nasib nelayan nyatanya masih belum sejahtera. Hidup dalam garis kemiskinan ekstrim, nelayan kembali diterpa kesulitan dalam memastikan keberlangsungan hidupnya. Harga BBM solar menembus harga Rp 16.800-17.000 per liternya. Tidak heran di beberapa lokasi, nelayan lebih memilih untuk menyandarkan kapalnya di dermaga, yang berarti pemasukan rumah tangga mereka juga berkurang.

Menurut data dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), sebanyak 882,8% nelayan kecil yang tersebar di 10 provinsi dan 20 kabupaten/ kota, tidak memiliki akses terhadap bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada 2020 hingga 2021. Padahal hak nelayan tersebut sudah dituliskan dan dijaminkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Dalam UU tersebut dikatakan bahwa Pemerintah wajib menyediakan sarana stasiun pengisian bahan bakar, kemudahan memperoleh BBM, dan termasuk juga pemberian BBM subsidi. 

Salah satu permasalahan yang dirasa menjadi awal sulitnya akses BBM bersubsidi bagi nelayan adalah pola tracking dalam penyaluran BBM yang sulit dan rumit. Adanya ketentuan administrasi bagi nelayan kecil tertuang pada Peraturan Presiden (PERPRES) No.191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Dalam lampiran PERPRES tersebut dikatakan bahwa untuk memperoleh BBM bersubsidi, nelayan kecil harus mendapat surat rekomendasi dengan memiliki pas kecil (izin melaut) dan bukti Pencatatan Kapal (BPKP) yang dikeluarkan oleh pelabuhan. Adanya ketentuan administrasi yang diwajibkan untuk para nelayan agar dapat mengakses BBM bersubsidi ini, tidak jarang membuat nelayan harus pergi dengan jarak cukup jauh dan memakan waktu yang relatif lama. Di masa tunggu tersebut pun, nelayan kecil tidak memiliki pilihan lain selain membeli BBM dengan harga normal non-subsidi atau pergi ke pengecer.

Selain permasalahan administrasi yang masih terbilang cukup rumit dan sulit diakses oleh nelayan kecil yang jauh dari pelabuhan, permasalahan selanjutnya adalah belum adanya SPBU khusus nelayan dan ketersediaan kuota BBM bersubsidi. Hal ini menjadi masalah karena BBM bersubsidi juga digunakan oleh sektor transportasi, usaha mikro, pertanian, dan pelayanan umum di SPBU. Bukan hanya ‘berebut’ dengan sektor lain, nelayan skala besar pun dapat mengakses BBM SPDN. 

KNTI merilis hasil survei dan kajian yang menemukan fakta bahwa 83% responden yang merupakan nelayan kecil, memilih untuk membeli BBM dari pengecer dengan harga tinggi. Bahkan BBM yang digunakan bukan hanya solar, tetapi juga premium dan pertalite. Hal ini dikarenakan sulitnya akses BBM untuk sampai ke tangan mereka. Dalam lima tahun terakhir sejak 2016 hingga 2020, rata-rata realisasi BBM solar bersubsidi dari Pemerintah untuk sektor Perikanan bahkan tidak mencapai 30% dari kuota yang disediakan. Padahal terlepas dari empat sektor lainnya, kuota yang disediakan untuk sektor Perikanan hanya sebesar 12%.

Pemerintah dirasa perlu menyederhanakan syarat administratif sebagai legalisasi akses BBM bersubsidi untuk nelayan kecil. Adanya Kartu Kusuka (Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan) yang digunakan untuk mendistribusikan bantuan langsung tunai (BLT)  bagi nelayan kecil dengan ukuran kapal di bawah 10 GT, setidaknya dapat dijadikan alat kontrol BBM bersubsidi. Selain itu, Pemerintah juga didesak untuk cepat mengevaluasi kebijakan BBM bersubsidi. Nyatanya, menurut data dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) tahun 2021, solar bersubsidi justru dinikmati oleh 34,8 juta atau 72% rumah tangga desil 6 teratas. Hanya sebesar 21% masyarakat dengan desil 4 kebawah yang merasakan manfaat subsidi solar. Padahal Desil lebih dari  4 sudah dianggap cukup, mampu, atau non-kategori. Maka dapat disimpulkan bahwa sejauh ini, penyaluran BBM bersubsidi masih belum tepat sasar, kuota ketersediaan BBM juga masih belum merata. 

Ke depan untuk mengantisipasi kelangkaan BBM solar dan Pemerintah perlu menjajaki penggunaan energi terbarukan sebagai alternatif dalam penyelenggaraan perikanan tangkap. Dengan begitu, ketergantungan terhadap BBM solar dapat direduksi. 

******