Sektor kelautan dan perikanan tidak melulu berkutat pada kegiatan penangkapan ikan saja, namun juga terdapat ruang bagi para pekerja perikanan yang menghasilkan hasil tangkapan hingga dapat tersaji di meja makan kita. Anggota Koalisi KORAL, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, baru-baru ini menyelidiki kondisi kerja dan tantangan yang dihadapi pekerja perikanan di beberapa hot spot makanan laut Indonesia. Berjudul “Suara dari Laut: Mengungkap Realitas Tersembunyi Buruh Pangan Laut Indonesia”, tema diskusi berdasarkan studi ini menyoroti pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh para pekerja ini dan menyarankan reformasi yang mendesak.
Dalam diskusi publik tersebut, Felicia Nugroho, selaku peneliti dari DFW Indonesia, mempresentasikan hasil penelitian selama lima bulan tersebut. Investigasi difokuskan pada empat hotspot makanan laut di Indonesia: Muara Baru, Jakarta; Benoa, Bali; Dobo, Maluku; dan Bitung, Sulawesi Utara. Riset ini mengungkapkan serangkaian fakta yang dihadapi buruh perikanan laut sehari-hari, dan paparan tersebut berfungsi sebagai ajakan bertindak untuk memperbaiki tata kelola buruh perikanan. Kondisi buruh yang diteliti dalam studi ini mencakup berbagai aspek, antara lain proses rekrutmen, kondisi kerja di kapal penangkap ikan dan unit pengolahan ikan, serta kesejahteraan mereka. Khususnya, mayoritas responden ditemukan hanya menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas, yang menunjukkan kurangnya kesadaran tentang hak-hak pekerja mereka.
Temuan DFW menyoroti ketergantungan yang signifikan pada broker untuk penempatan kerja, dengan 28% pekerja mengandalkan agen, 35% pada teman atau kerabat, dan 18% melamar langsung ke perusahaan. Agen-agen ini, yang seringkali tidak memiliki izin, memainkan peran penting dalam proses perekrutan, mengambil keuntungan dari pekerja yang kurang informasi atau mereka yang tidak memiliki kesempatan kerja alternatif.
Masalah lebih lanjut muncul selama pra-kerja dan proses kerja on-board. Kurang dari 35,25% responden mengetahui Perjanjian Kerja Laut, dan lebih dari setengahnya tidak mengetahui isinya. Sementara beberapa pekerja menerima pelatihan yang tidak memadai, yang lain dipaksa bekerja dengan jam kerja yang panjang melebihi 12 jam per hari di kapal penangkap ikan.
Pembayaran yang tidak konsisten dan kurangnya transparansi juga disorot sebagai masalah umum, dengan banyak pekerja menyatakan ketidakpuasan atas janji yang tidak terpenuhi dan uang muka yang tidak transparan. Tunjangan kesehatan dan jaminan kerja seringkali tidak diberikan, membuat pekerja rentan.
Upaya pemerintah Indonesia untuk menetapkan standar ketenagakerjaan telah diakui, seperti Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan 33 Tahun 2021. Namun, studi tersebut menemukan beberapa celah dalam penegakan, pemahaman tentang hak, dan peraturan keagenan, yang mengarah pada praktik eksploitatif yang terus berlanjut.
Felicia mengusulkan serangkaian rekomendasi untuk mengatasi tantangan ini, termasuk standarisasi sistem rekrutmen, sistem pengupahan yang transparan, proses sertifikasi yang standar, dan pembentukan forum multi-stakeholder untuk meningkatkan tata kelola. Dia juga mendesak tunjangan pekerja untuk membentuk serikat pekerja untuk mengadvokasi hak-hak mereka.
Sementara, Phung Ha dari UNDP, menyoroti kerangka kerja United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs). “Di sini, saya mengingatkan tanggung jawab bisnis dan otoritas untuk menghormati hak asasi manusia,” kata Ha. Ia juga menyoroti pentingnya tanggung jawab perusahaan dalam menghormati hak asasi manusia melalui kerangka kerja tiga pilar UNGP—melindungi, menghormati, dan memulihkan. Ha juga menyoroti komitmen Pemerintah Indonesia terkait ratifikasi konvensi ILO C188 oleh pemerintah Indonesia, menyoroti komitmennya untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan.
Urmila Bhoola, dari United Nation Special Rapporteur on Contemporary Forms of Slavery, menyoroti kerentanan hak asasi manusia. Ia menekankan pentingnya mengatasi masalah seperti tumpang tindih kebijakan dalam upah, sistem rekrutmen yang tidak jelas, dan tata kelola yang terfragmentasi. Peran serikat pekerja PBB juga dibahas, khususnya dalam konteks pengawasan global dan tantangan Indonesia dalam menerapkan standar ILO.
Sementara, wartawan Mongabay Basten Gokkon berbagi cerita tentang pekerja migran yang menghadapi kondisi mengerikan di kapal penangkap ikan, khususnya menceritakan investigasi pelanggaran di atas kapal. Basten menyerukan narasi yang berpusat pada manusia dan pelaporan yang berfokus pada laut yang menghubungkan pemangku kepentingan lepas pantai dan darat. Basten menekankan pentingnya pemeriksaan keselamatan, berbagai sumber, dan mengikuti cerita pekerja secara mendalam daripada hanya mengandalkan pertanyaan tertulis. Pelaporan lintas batas juga dianggap penting dalam mengatasi kompleksitas industri perikanan atau makanan laut.
Hasil dari diskusi ini disimpulkan bahwa kebutuhan untuk mengatasi pelanggaran HAM mendasar di atas kapal penangkap ikan sudah mendesak. Meratifikasi konvensi ILO C188 dan mengadvokasi peningkatan tanggung jawab sosial perusahaan juga disoroti sebagai langkah penting untuk memperbaiki nasib pekerja perikanan di Indonesia.
Diskusi DFW dengan beberapa ahli kali ini menjadi wadah dan wujud upaya untuk menyerukan kepada industri dan otoritas Indonesia, bahwa terdapat kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kondisi kerja dan hak-hak pekerja perikanan Indonesia. Temuan penelitian menggarisbawahi urgensi untuk reformasi menyeluruh di industri, termasuk peraturan ketenagakerjaan yang disempurnakan, kondisi kerja yang lebih baik, dan perlindungan yang lebih baik untuk hak-hak pekerja. Jelas bahwa upaya kolaboratif antara pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil sangat penting untuk membawa perubahan yang berarti dan memastikan kesejahteraan pekerja perikanan Indonesia.
***
Sumber utama: Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia