PEMIMPIN TERPILIH PERLU PAHAMI AKAR PERSOALAN IKLIM DI WILAYAH PESISIR, LAUT DAN PULAU KECIL

© Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Publik dunia kembali diingatkan oleh pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres akan sebuah realita yang tidak dapat ditawar. Hari ini bumi kini tidak hanya mengalami pemanasan global, tapi sudah pada tahap pendidihan global. Kendati demikian, kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya aksi iklim tidak berbanding lurus dengan kelambanan implementasi kebijakan. Sejak Perjanjian Paris 2015, kita sudah menyaksikan ada kemajuan, namun waktu untuk bertindak semakin sedikit. Sejumlah kebijakan yang efektif dan ambisius dihasilkan, namun implementasinya berjalan lamban. 

Dengan berbagai literasi yang aktual dan terpercaya mengenai krisis iklim di berbagai media, tentu tidak muluk berharap Pemimpin Indonesia di masa mendatang lebih mampu menguasai akar masalah iklim di Indonesia. Pemimpin mendatang sudah semestinya memiliki komitmen dan strategi terukur untuk mengatasi krisis iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia. Dari Debat Keempat (21/1/2024), Sekretariat KORAL mencatat bahwa ketiga Cawapres belum memberikan perhatian khusus pada  nasib nelayan dan masyarakat pesisir yang tempat tinggal dan ekonominya kian terpinggirkan akibat krisis iklim. Cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka tidak mengekspresikan sense of crisis dalam paparannya dengan mengatakan akan memperluas dan melanjutkan hilirisasi tambang. Tiga kata yang paling banyak disebutkannya secara berurutan adalah tanah (21), energi (15) dan hilirisasi (12) (sumber: Litbang Kompas). Ke depan, melihat pergerakan raihan suara terbesar di KPU ke arah Pasangan Capres-Cawapres 02, ekonomi ekstraktif masih berpeluang besar menjadi nadi dalam pembangunan Indonesia.

Penanganan krisis iklim dan dampak tekanan ekologis di pesisir-laut perlu mendapatkan prioritas. Mengapa demikian, sebab keberlanjutan pesisir-laut kita tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tetapi juga di masa mendatang. Nilai keberlanjutan tersebut adalah bagian dari etika lingkungan, yang dapat menjadi batu uji dalam berbagai kebijakan yang dihasilkan. Para calon pemimpin harus lebih inovatif, berani untuk mengedepankan etika lingkungan dalam penyusunan kebijakan di Indonesia, demi menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi semua pihak.

***

Sumber Utama : Greenpeace Indonesia