MIMPI BURUK DI LAUT: DUGAAN KERJA PAKSA DAN TPPO PADA ABK PERIKANAN

Foto: ABK Indonesia di Somalia. Dok: Kemlu

Dugaan Pelanggaran Ketenagakerjaan pada ABK Perikanan

National Fishery Center (NFC) telah menerima banyak aduan mengenai dugaan pelanggaran ketenagakerjaan pada Anak Buah Kapal (ABK) perikanan. Kasus-kasus ini melibatkan penipuan, gaji yang tidak dibayar, eksploitasi terhadap kerentanan pekerja, dan kondisi kerja yang buruk. Salah satu kesaksian yang mencolok berasal dari seorang ABK yang bekerja di kapal KM MUS.

Kesaksian ABK: Proses Rekrutmen dan Keberangkatan

Seorang ABK melaporkan bahwa saat pertama kali melamar pekerjaan, ia tidak mengetahui detail terkait kapal, target tangkapan, ataupun alat tangkap yang digunakan. Proses keberangkatan kapal juga ditunda beberapa kali oleh seorang calo/perantara yang menyatakan bahwa minimal harus ada 60 ABK agar kapal bisa berangkat. Pada hari keberangkatan, kapal menuju Laut Arafura, dan ABK baru mengetahui bahwa mereka akan bekerja di kapal China  berbendera Rusia.

Kondisi Kerja di Laut Arafura

Setibanya di Laut Arafura, ABK mulai melakukan alih muatan hasil tangkapan dari kapal RZ ke KM MUS. Mereka mendengar banyak cerita buruk dari ABK kapal RZ. Ada indikasi kuat bahwa praktik kerja paksa terjadi dalam operasi KM MUS, terutama berdasarkan pengaduan yang diterima oleh NFC yang dikelola oleh Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia.

Janji Manis yang Berujung Pahit

ABK tersebut tertarik bekerja di kapal karena iklan lowongan di Facebook yang menjanjikan gaji sebesar Rp2 juta, Tunjangan Hari Raya (THR) Rp2 juta, premi Rp 500 ribu, dan fasilitas makan serta rokok. Ada juga janji pinjaman uang berkisar Rp5 juta-Rp7 juta. Setelah menyerahkan foto identitas pribadi, ia dijemput dan dibawa ke penginapan sementara di Pati, Jawa Tengah.

Tanpa Perjanjian Kerja yang Jelas

Pada 26 Maret 2024, ABK berangkat dengan KM MUS dari Pelabuhan Perikanan Pantai Juwana, Pati, menuju perairan Kepulauan Aru, Maluku. Mereka berangkat tanpa Perjanjian Kerja Laut (PKL), meski agen penyalur berjanji soal gaji, THR, dan premi yang akan ditransfer ke keluarga. ABK yang bekerja di kapal ikan asing seharusnya memiliki Buku Pelaut, sertifikat Basic Safety Training (BST), PKL, dan paspor. Ketiadaan paspor pada korban turut mengindikasikan adanya dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Kondisi Kerja yang Memburuk dan Intimidasi

Pada 7 April 2024, ABK tiba di perairan Kepulauan Aru dan langsung dipindahkan ke kapal RZ 03 dan RZ 05. Mereka menggantikan ABK yang telah bekerja sebelumnya. Setelah mulai bekerja, mereka meminta THR dan premi yang dijanjikan, namun kapten kapal menolak dengan alasan bahwa ABK baru tidak berhak mendapat THR dan premi. Kapten kapal bahkan mengancam dan mengintimidasi, ketika ABK menuntut hak mereka.

Upaya Mogok Kerja dan Ancaman Kapten Kapal

Pada 10 April 2024, ABK kembali mogok kerja dan meminta dipulangkan. Namun, kapten kapal kembali melakukan ancaman dan intimadasi sehingga ABK terpaksa bekerja dalam kondisi tertekan dan hanya mendapatkan makan dari sisa makanan awak kapal China. Pada 13 April 2024, setelah alih muatan hasil tangkap selesai, permintaan untuk dipulangkan tidak dipenuhi. ABK akhirnya nekat melompat ke laut untuk menyelamatkan diri. Sayangnya, satu dari mereka dinyatakan hilang di laut.

Kasus ini mengungkap betapa menyengsarakan pelanggaran terhadap hak-hak ketenagakerjaan yang dialami oleh ABK perikanan. Praktik kerja paksa, penipuan, dan intimidasi menjadi bagian dari pelanggaran hak pekerja yang harus dihadapi oleh ABK perikanan. Perlu tindakan tegas dari pihak berwenang untuk mengatasi praktik pelanggaran dan penipuan terhadap pekerja kapal, serta memberikan perlindungan keselamatan dan kesejahteraan para pekerja.

***