KRISIS IKLIM PERLU DISIKAPI SECARA UTUH, PROAKTIF DAN BERKEADILAN

Conference of the Parties (COP) 28 Dubai yang diselenggarakan pada 13 Desember belum menghasilkan kesepakatan aksi iklim yang mempertegas aksi untuk mencegah bumi dari dampak krisis iklim yang lebih buruk. Naskah global stocktake memang mencatat adanya kesadaran dan kepedulian seluruh delegasi negara terhadap perubahan iklim, tantangan pada sektor energi serta suhu bumi yang yang mencapai titik tahun terpanas. Akan tetapi, penekanan pada dokumen terkait sektor energi hanyalah pada perlunya peningkatan target pemanfaatan energi terbarukan dan peningkatan efisiensi energi pada tahun 2030. 

Selanjutnya Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memberikan perspektif yang penting dalam konteks pentingnya penghapusan bahan bakar fosil untuk mempercepat transisi energi yang dapat mencapai target suhu 1.5 derajat. Investasi pendanaan iklim sebesar 700 juta USD atau setara dengan Rp 11 miliar ini telah tercapai untuk membantu mengganti kerugian dan kerusakan yang dialami oleh negara-negara terdampak krisis iklim. Capaian ini merupakan tahapan positif dalam mewujudkan komitmen internasional berupa dukungan finansial dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Akan tetapi, capaian tersebut tidak cukup bagi masyarakat terdampak krisis iklim, yang memerlukan komitmen tegas terhadap penghentian penggunaan bahan bakar fosil. Di samping itu, belum terdapat skema pendanaan komprehensif yang memungkinkan negara-negara berkembang melaksanakan transisi ke energi terbarukan dan mengatasi dampak krisis iklim. Pendanaan memadai sangat diperlukan dalam rangka keberlanjutan inisiatif  pengurangan emisi, memperkuat resiliensi iklim dan menghadapi konsekuensi krisis iklim

Global Day of Action at COP28 in Dubai. © Greenpeace / Marie Jacquemin

Kelompok masyarakat sipil, LSM, dan organisasi akar rumput berbaris untuk keadilan iklim dan hak asasi manusia pada Hari Aksi Global di dalam lokasi Konferensi Perubahan Iklim PBB COP28 di Dubai, UEA.

© Greenpeace / Marie Jacquemin

Lalu, bagaimana kesepakatan ini dapat diwujudkan  dalam kebijakan iklim di Indonesia? 

Baru – baru ini Greenpeace Indonesia dan LPEM UI telah meluncurkan Makalah Kebijakan yang menyoroti isu keterkuncian pada batubara (coal lock-in) di Indonesia. Poin yang disampaikan antara lain ketergantungan Indonesia pada ekspor batubara yakni sebesar 16% dari ekspor nasional pada 2022 (BPS 2023). Hal ini menunjukkan pentingnya evaluasi dan refleksi terhadap pilihan energi nasional. Selain itu, terdapat persepsi bahwa pertumbuhan ekonomi berkelanjutan masih terkait erat dengan keamanan energi yang disediakan oleh batubara. Isu-isu kebijakan, seperti kebijakan kewajiban pasar domestik (DMO), batubara bersih, kebijakan fiskal pro batubara, royalti 0%, dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), memperkuat keprihatinan terhadap keterkuncian pada batubara. 

Di Indonesia, masih tersisa tantangan kebijakan, iklim investasi, dan ketidakpastian hukum mengenai regulasi EBT. Terhadap situasi ini, Indonesiamemerlukan langkah-langkah nyata untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi investasi dan pengembangan energi terbarukan. 

Adila Isfandiari selaku Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengungkapkan bahwa Jebakan coal lock in dapat membuat Indonesia semakin sulit untuk melakukan transisi energi. Adila menambahkan bahwa harus ada reformasi kebijakan dan kemauan politik yang kuat untuk keluar dari ketergantungan pada energi fosil. Dampak nyata krisis iklim kini telah sampai di meja makan kita, terutama dalam bentuk kehilangan dan kerugian akibat gagal panen dan gagal tanam yang merata di berbagai daerah. Adila menegaskan bahwa penghapusan penggunaan batu bara harus dilakukan secara cepat dan adil, menyegerakan penghapusan  solusi palsu seperti PLTU kawasan, co-firing biomassa dan gasifikasi batu bara dari skema transisi energi, serta mendorong peran PLN untuk menghasilkan regulasi turunan yang memperkuat proses transisi energi.

Bidang lainnya dari Kesepakatan COP 28 juga memerlukan penguatan guna antara lain substansi mengenai perlawanan terhadap  deforestasi dan penggundulan hutan pada tahun 2030, hingga melestarikan keanekaragaman hayati pada lanskap darat maupun ekosistem laut. COP 28 juga menolak permintaan negosiasi perdagangan emisi karbon secara murah. Ini  menjadi peringatan bagi para promotor dan pelaku perdagangan karbon–yang merupakan solusi palsu penurunan emisi. Sangat disayangkan,  dari kesepakatan COP 28 tahun ini, kurang  adanya  komitmen yang tegas untuk menghentikan deforestasi. 

 Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik menambahkan bahwa COP 28 menolak negosiasi perdagangan karbon dan menyepakati pendekatan non pasar dalam isu karbon. Ini memberikan  harapan akan adanya alternatif kerjasama yang menciptakan sinergi antara mitigasi iklim, adaptasi, pembangunan berkelanjutan, serta perlindungan dan restorasi ekosistem. Akan tetapi,  Greenpeace juga mengkritik bahwa  tidak ada komitmen tegas untuk penghentian deforestasi. Pemerintah Indonesia seharusnya dapat mengambil aksi lebih proaktif dalam menurunkan emisi karbon dari sektor kehutanan.

Untuk menurunkan emisi karbon dari sektor kehutanan dan alih fungsi lahan, Pemerintah Indonesia, menerapkan kebijakan FOLU Net Sink 2030. Dalam kebijakan ini, Pemerintah menargetkan selama akhir dekade ini, hutan Indonesia tidak lagi berkontribusi terhadap pelepasan emisi gas rumah kaca, melainkan lebih banyak berperan dalam menyerap karbon atau berfungsi sebagai carbon sink.Alih alih menurunkan emisi, pada Analisis Greenpeace Indonesia justru menemukan bahwa strategi FOLU Net Sink 2030 justru berpotensi melanggengkan deforestasi dan kerusakan hutan alam. Ini dikarenakan kebijakan FOLU Net Sink 2030 tidak dilengkapi dengan aturan operasional perlindungan hutan dan gambut yang tegas, terutama di kawasan hutan produksi hingga pada pemetaan Greenpeace Indonesia menunjukkan deforestasi masih berisiko terjadi hingga puluhan juta hektare. Pemerintah juga membuat klaim menyesatkan bahwa pelepasan karbon dari deforestasi hutan alam dapat diganti (offset) dengan penyerapan karbon jangka pendek dari pembangunan hutan tanaman industri.Iqbal menekankan bahwa Pemerintah Indonesia seharusnya merombak target FOLU Net Sink 2030, dengan mencegah deforestasi dan mengurangi lajunya hingga ke titik nol, berhenti menerbitkan perizinan di lanskap gambut, memulihkan hutan dan gambut yang rusak, serta melibatkan masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam perlindungan dan pengelolaan hutan berkelanjutan.

***

Sumber Utama : Greenpeace Indonesia

Kontak media:

Adila Isfandiari, Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, +62 811-155-760

Iqbal Damanik, Pengkampanye Hutan Greenpeace Indonesia, +62 811-4445-026

Budiarti Putri, Pengkampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105 

Rahma Shofiana, Pengkampanye Media Greenpeace Indonesia, +62 811-1461-674