PEMERINTAH RESMI TERBITKAN PENANGKAPAN IKAN TERUKUR

Presiden Joko Widodo pada 6 Maret lalu, resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT). PIT masuk dalam bingkai kebijakan Ekonomi Biru yang terdiri dari lima program yaitu (1) Penambahan luas kawasan Konservasi laut, (2) Penangkapan ikan terukur berbasis kuota dan zonasi, (3) Pengembangan budidaya laut, pesisir dan daratan yang berkelanjutan, (4) Pengelolaan dan pengawasan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, dan (5) Pengelolaan sampah plastik laut melalui gerakan partisipasi masyarakat dan nelayan. 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa terdapat tiga fokus utama dari kebijakan penangkapan ikan terukur adalah pertama, Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur bertujuan untuk mempertahankan ekologi dan menjaga biodiversity, meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah, dan kesejahteraan nelayan. Kedua, Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur diharapkan dapat menghapus praktik kegiatan perikanan yang melanggar hukum (illegal), tidak dilaporkan (unreported), dan tidak diatur (unregulated fishing). Lalu yang ketiga, kebijakan penangkapan ikan terukur dijalankan dengan pendekatan pemanfaatan sumberdaya perikanan berbasis zonasi dengan dibagi ke zona. Keempat, kebijakan penangkapan ikan terukur dijalankan dengan pendekatan pemanfaatan sumberdaya perikanan berbasis kuota yang berupa alokasi sumberdaya ikan atau jumlah ikan yang dapat dimanfaatkan dan dibagi berdasarkan kategori kuota industri, kuota nelayan lokal dan kuota kegiatan non komersial.

Pro Eksploitasi dan Banyak Kelemahan: PIT Harusnya Tidak Diterbitkan

Dalam PIT, dilakukan zonasi dengan membagi-bagi laut menjadi beberapa zona yaitu zona daerah penangkapan ikan dan zona daerah penangkapan ikan terbatas. Terdapat 6 zona yaitu:

  1. Zona 01, meliputi Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP NRI) 711 (perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara);
  2. Zona 02, meliputi WPP NRI 716 (perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera), WPP NRI 717 (perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik), dan Laut Lepas Samudera Pasifik;
  3. Zona 03, meliputi WPP NRI 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), WPP NRI 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur), dan WPP NRI 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda);
  4. Zona 04, meliputi WPP NRI 572 (perairan Samudera Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda), WPP NRI 573 (perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat), dan Laut Lepas Samudera Hindia;
  5. Zona 05, meliputi WPP NRI 571 (perairan Selat Malaka dan Laut Andaman);
  6. Zona 06, meliputi WPP NRI 712 (perairan Laut Jawa) dan WPP NRI 713 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali).

Konsep terukur dan ditujukan untuk pemanfaatan laut dengan alasan ekologi rasanya tidak ditunjukkan dalam implementasi PIT. Zona industri yang dibuka untuk kegiatan penangkapan ikan dan nantinya dapat diberikan kepada badan usaha berupa penanaman modal dalam negeri maupun asing yaitu zona 1-4 justru sudah menunjukkan status exploited (yang terdiri dari full dan over-exploited). Bukankah eksploitasi sumberdaya ikan di daerah yang sudah berstatus gawat-darurat justru akan semakin memperburuk kondisi ekologi disana? Lalu dimana nilai keberlanjutan dan pro-ekologi yang dielu-elukan Pemerintah di acara-acara internasional?

Lalu, pada PP PIT juga tidak disebutkan standar ukuran bagi kapal nelayan kecil. Tidak adanya standar ukuran dalam bentuk tonase akan membuat definisi nelayan kecil menjadi ambigu dan lemah disalahgunakan. Ambiguitas lainnya adalah definisi nelayan kecil dan nelayan lokal yang akan membatasi daya jelajah nelayan maksimal sejauh 12 mil. 

Menurut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), yang merupakan anggota dari KORAL, hal ini akan bertentangan dengan semangat UU Perikanan dan juga dalam implementasinya, serta bertentangan dengan daya jelajah yang biasanya dilakukan oleh nelayan tradisional di Kepulauan Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan lainnya.

Poin-poin diatas menunjukkan bahwa PP PIT hanya berfokus pada keuntungan ekonomi semata, dan narasi ekologi atau keberlanjutan hanya dijadikan “pemanis buatan” untuk memuluskan agenda tersebut. Pengimplementasian PP PIT  di satu sisi masih berarah kepada eksploitasi, dan di sisi lainnya masih lemah pengawasan dan kontrol. Belum lagi, hukuman administratif sebagai hukuman yang diberikan jika ditemukan pelanggaran, tidak akan menimbulkan efek jera. Pekerjaan rumah Pemerintah masih terlalu banyak dan belum selesai. Dengan menjalankan PIT, Pemerintah justru berjalan mundur dan mengabaikan segala bentuk usaha perbaikan ekosistem dan sumber daya laut yang sudah dijalankan selama ini.

***