TIDAK SEMUA NELAYAN TERDATA, KKP MASIH MAU LANJUT DENGAN PENANGKAPAN IKAN TERUKUR

Dilansir dari Jawa Pos (2020), Rustan, selaku Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kalimantan Utara/Kaltara, mengatakan bahwa ada sekitar 5.000 nelayan aktif yang tersebar di berbagai wilayah Kaltara. Namun, meskipun Kaltara adalah salah satu daerah penghasil perikanan terbesar dan memiliki banyak nelayan tradisional yang tinggal di sana, jumlah nelayan tradisional sudah mencapai 5.000 orang, namun belum semua terdata. Mereka yang belum terdata mayoritas adalah nelayan yang memiliki pekerjaan sampingan seperti mengojek dan berdagang.  

Saat ini, ada lebih dari 3.000 nelayan yang terdaftar di kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (Kusuka) di DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan). Angka tersebut didapat berdasarkan data yang dikumpulkan oleh BP Jamsostek yang ditanggung oleh pemerintah. Menurut Rustan, hanya nelayan murni yang mencantumkan profesinya di KTP yang akan secara administrasi terakomodir dan memiliki legalitas. Sementara untuk nelayan sambilan yang tidak mencantumkan profesinya di identitas, maka belum dapat terakomodir.

Nelayan Terdata Jadi Awal Pemulihan Kesejahteraan

Problematika terkait data nelayan dan kesejahteraan dengan program atau kebijakan Pemerintah tentunya saling berkaitan satu dengan yang lain. Nelayan yang memiliki pekerjaan sampingan mayoritas melakukan pekerjaan tersebut saat sudah selesai melaut atau menunggu musim tangkapan usai (Diversifikasi Pekerjaan Sebagai Strategi Bertahan Hidup Rumah Tangga Nelayan Di Galesong Utara, 2021). Nelayan terpaksa mengambil pekerjaan salah satunya dikarenakan membutuhkan pemasukan tambahan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri, profesi nelayan memang masih jauh dari kata sejahtera dan stabil.

Salah satu alat pensejahteraan nelayan gubahan Kementerian  Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah dengan dikeluarkannya Kartu KUSUKA. Dilansir dari laman Dinas Perikanan Pamekasan, fungsi Kartu KUSUKA adalah sebagai identitas profesi pelaku usaha kelautan dan perikanan, basis data untuk memudahkan perlindungan dan pemberdayaan pelaku usaha kelautan dan perikanan, dan sarana untuk pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program kementerian. Lalu untuk manfaatnya, kartu KUSUKA akan memudahkan pelaku usaha kelautan dan perikanan dalam mengakses transaksi online, memudahkan akses pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada pelaku usaha kelautan dan perikanan, dan memudahkan dalam pengajuan Asuransi Nelayan (Asnel).

Masih Banyak yang Harus Dibenahi, PIT Datang Bak Tamu Tak Diundang

Kasus nelayan yang belum terdata di Kaltara menjadi refleksi bahwa terdapat kemungkinan nelayan-nelayan di provinsi lainnya yang juga belum terdata. Mereka yang belum terdata nantinya tidak dapat memiliki kartu KUSUKA. Artinya, program KKP yang digadang-gadang hadir untuk mensejahterakan dan menjadi basis data Pemerintah ini tidak dapat dinikmati semua nelayan dan tidak lengkap untuk dijadikan pondasi pengambilan keputusan untuk perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Padahal tuntutan untuk mengikuti aturan main Pemerintah bagi nelayan seperti penangkapan ikan terukur (PIT) bak harga mati bagi nelayan.

Sedangkan, di satu sisi, PIT sendiri masih banyak ditolak oleh nelayan. Ketua Himpunan Nelayan Purse Sein Nusantara (HNPN) James Than berpendapat, masih ada beberapa poin dalam PP 11/2023 yang menurutnya masih bermasalah. Dalam keterangannya kepada Kontan, James berpendapat bahwa, dalam praktiknya, ada banyak hambatan untuk pungutan hasil perikanan berupa PNBP atau retribusi, yang juga tercantum dalam Pasal 13 ayat (1). Seperti diketahui, PNBP pascaproduksi akan diambil setelah setiap kali nelayan menangkap ikan, tergantung pada volume ikan yang mereka tangkap. 

Namun dalam praktiknya, nelayan akan diminta membayar target PNBP yang belum tercapai. “Ketika nelayan tidak mencapai target PNBP dalam kondisi perikanan tidak baik-baik saja kami diminta membayar target yang belum tercapai, apalagi banyak kapal yang rugi, dan kehabisan modal, serta tidak bisa melaut sampai 2 tahun juga disuruh bayar PNBP, padahal sesuai peraturan pascabayar tidak perlu membayar,” terang James. Alih-alih sejahtera, peluang degradasi kesejahteraan dan celah eksploitasi laut makin santer dengan adanya PIT. James menambahkan bahwa aturan PP 11/23 justru menyulitkan nelayan dan membuka kesempatan calo kuota bagi mereka yang tidak memiliki kapal. 

Alhasil, tidak heran jika posisi nelayan bak kelinci percobaan bagi program kelautan dan perikanan ini. Padahal, nelayan dan pembudidaya ikan skala kecil dan tradisional di Indonesia inilah yang menopang kedaulatan pangan nasional. Di Indonesia, kontribusi dari nelayan kecil dan tradisional mencapai 80% produk perikanan dan 54% dari seluruh protein hewani yang dikonsumsi masyarakat (KNTI, Outlook 2023).  Miris sekali.

***