Tindak illegal, unregulated, unreported fishing tidak serta merta hanya terfokuskan pada tindak pencurian ikan ataupun pemindahan muatan ilegal di tengah laut (transhipment). Namun juga termasuk didalamnya, penggunaan alat penangkapan ikan (API) terlarang yang bersifat destruktif dan tidak selektif. Pemerintah Indonesia dengan komando ada di tangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah memiliki sejumlah regulasi yang mengatur mengenai alat penangkapan ikan yang boleh atau tidak boleh digunakan dalam segala aktivitas penangkapan ikan di perairan Indonesia.
Ada beberapa regulasi terkait dengan penertiban alat penangkapan ikan mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan dimana dalam PERMEN ini dinyatakan mengenai aturan mendasar akan ketentuan aktivitas penangkapan ikan di Indonesia. Dalam PP ini, segala bentuk definisi dan penjelasan akan sarana, prasarana, dan aktivitas penangkapan ikan dimuat. Lalu juga ada Peraturan Menteri (PERMEN) terbaru mengenai API dari KKP yaitu PERMEN Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan, hingga organisasi internasional seperti Food and Agriculture Organization (International Standard Statistical Classification of Fishing Gear / ISSCFG, 2021) sudah memberikan guideline mengenai alat penangkapan ikan yang aman bagi laut dan sumberdaya didalamnya.
Lalu celah apa yang kemudian membuat Indonesia masih sangat lemah dalam usaha memproteksi laut dari API berbahaya yang destruktif? Ada beberapa kelemahan dan celah yang dimiliki dan terjadi yaitu yang pertama adalah komitmen. Pemerintah terlalu berjibaku dalam menelurkan regulasi atau kebijakan baru yang masih terlihat setengah-setengah antara iya dan tidak dalam usaha memproteksi laut. Masih jelas diingatan kita ketika bulan Juni 2021 yang lalu, saat PERMEN KP No.18 Tahun 2021 dikeluarkan, bagaimana kemudian KKP memang betul, berupaya untuk melarang penggunaan cantrang namun sayangnya tidak diikuti tindakan mitigasi dan strategi transisi yang jelas ke alat penangkapan ikan pengganti cantrang. Adapun alat yang digadang-gadang oleh KKP dengan nama jaring tarik berkantong, cara pengoperasiannya masih sama dengan cantrang. Lebih-lebih, API pengganti ini juga tidak didemonstrasikan langsung kepada nelayan, sehingga nelayan tidak mempunyai gudang informasi yang jelas tentang bagaimana bentuk, cara membuat, cara mengoperasikan, atau bahkan dimana mereka bisa membeli API pengganti ini dan lain sebagainya.
Kelemahan kedua adalah pengawasan pemerintah dan penegakan hukum. Menurut Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), pengawasan pemerintah dan penegakan hukum yang tegas kepada nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan cara merusak lingkungan, seperti penggunaan alat tangkap yang dilarang harus terus digalakkan. Dibutuhkan peningkatan patroli rutin oleh DKP Provinsi, pemberdayaan pengawas perikanan, serta penguatan koordinasi antara KKP dengan Polri dan Menteri Dalam Negeri untuk melakukan pengawasan. Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat perlu mengedepankan penyelesaian dengan pendekatan restorative justice. Rendahnya pemahaman nelayan terhadap peraturan yang berlaku perlu diatasi dengan peningkatan sosialisasi. Maka dari itu, dibutuhkan kejelasan regulasi dan implementasi hukum yang berlaku. Apabila hukum yang berlaku diimplementasikan dengan tidak optimal, maka akan timbul kebingunan di masyarakat dan menjadi celah pembenaran pelanggaran dan pelemahan hukum. Dalam hal peningkatan pengawasan, pemerintah juga bisa melatih nelayan kecil sebagai anggota Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) menjadi pengawas yang dikembangkan untuk melaporkan temuan kegiatan ilegal seperti penggunaan alat tangkap terlarang. Pemerintah juga bisa melakukan sidak ke kapal-kapal milik nelayan untuk bisa memeriksa apakah API terlarang masih digunakan oleh para nelayan.
Namun pengawasan dan penegakan ini juga bukan hanya harus secara maksimal diberlakukan kepada nelayan lokal saja, tetapi juga kepada nelayan asing yang tertangkap tangan menggunakan API dilarang, apalagi yang masuk tanpa izin. Sanksi pidana dan denda yang dikenakan pun tidak boleh hanya menggunakan jumlah minimal masa tahanan atau denda. Selain masuk tanpa izin, perlu diingat bahwa penggunaan alat tangkap destruktif ini berdampak lebih jauh pada keberlanjutan lingkungan daripada sekadar kerugian finansial.
Pemerintah agaknya masih terlalu “santai” dalam menanggulangi API berbahaya dan merusak di laut Indonesia. Terlalu banyaknya kelemahan dalam instrumen hukum, minimnya armada pengawasan, celah-celah pelemahan hukum dan rendahnya sanksi yang diberlakukan menjadikan peniadaan penggunaan API terlarang ini juga dianggap sebelah mata oleh para pelaku industri perikanan dari pemilik kapal hingga ke nelayan. Bak lingkaran setan, tentunya semua aspek dari akar rumput hingga para pembuat dan penegak kebijakan harus sama-sama mawas diri, karena percuma memiliki ratusan kapal besar atau pemasukan negara bukan pajak (PNBP) tinggi, apabila kemudian laut rusak dan kosong karena saat laut mati, seluruh umat manusia pun ikut mati bersamanya.
******