Indonesia merupakan negara kepulauan yang digugus oleh 17 ribu pulau. Mengelilingi wilayah perairan yang kaya, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi representasi kedaulatan Indonesia. Namun, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil justru mendominasi persentase angka kemiskinan yang menginjak 12,5%. Data tersebut disampaikan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada satu kesempatan di akhir Oktober lalu. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan angka kemiskinan di pedesaan maupun perkotaan. Angka kemiskinan yang relatif tinggi ini salah satunya disebabkan oleh perencanaan pembangunan yang masih berbasis ekstraksi Sumber Daya Alam, hingga kurang berdayanya masyarakat pesisir dalam kegiatan ekonomi, minimnya kapasitas dan kerusakan ekosistem pesisir yang menyusutkan hasil tangkapan nelayan kecil .
Keberadaan Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan (RUU Daerah Kepulauan) yang sekarang sedang dicanangkan pemerintah masih dihantui oleh banyak PR yang belum diselesaikan. Indonesia sendiri sudah memiliki sejumlah regulasi yang mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti peraturan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dengan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang berlandaskan Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 28 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut. Dimana peraturan diatas merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Ini pun masih belum ada informasi babak lanjutan pembahasan dan pelibatan masyarakat secara efektif. Masih banyak pula warga pesisir dan masyarakat setempat yang menolak implementasi karena kurangnya pelibatan kelompok nelayan tradisional yang merupakan bagian terpenting dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti yang terjadi di Bengkulu. Karena keberadaan regulasi dan peraturan yang terlalu banyak pun bukan menjadi indikasi pergerakan pembangunan ke arah yang lebih berkeadilan. Apalagi jika rumusan peraturan yang ditetapkan dibuat tanpa melibatkan stakeholder terkait yang akan paling terdampak.
Nasib yang tidak kunjung membaik di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga terjadi karena keberadaan industri ekstraktif, salah satunya adalah pertambangan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh WALHI, per November 2021 sudah ada 2.919.870,93 Ha kawasan wilayah pesisir yang dikuasai oleh 1.405 Izin Usaha Pertambangan (IUP) seperti mangan, tembaga, minyak gas bumi, pasir dan lainnya. Sementara di wilayah laut, terdapat 687.999 Ha dan 324 IUP yang rata-rata pertambangan minyak dan gas. Belum lagi dengan dikeluarkannya UU Cipta Kerja yang justru mempermudah masuknya perusahaan asing ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Yang kemudian dikhawatirkan adalah masyarakat pesisir dan nelayan lokal justru hanya menjadi pemain sampingan atau bahkan “penonton” saja. Alih-alih diberdayakan dan di-upgrade skill dan sarananya untuk dapat berdaya saing dengan kapal-kapal besar, warga pesisir dan nelayan malah menjadi pemain pembantu yang justru membuat mereka keluar dari profesi asal mereka sebagai nelayan.
Industri ekstraktif jilid baru seperti penangkapan ikan terukur juga menjadi ancaman baru bagi kesejahteraan warga pesisir dan nelayan. Semakin minimnya daerah tangkapan mereka ditambah persaingan yang semakin ketat dengan diperbolehkannya industri perikanan tangkap besar untuk masuk melalui sistem zonasi perizinan khusus, membuat nelayan dan warga pesisir makin terbebani dan tinggi resiko konflik sosial ekonomi. Bukan hanya itu, resiko degradasi lingkungan yang akan berimbas pada generasi masyarakat pesisir mendatang juga besar. Resiko inilah yang nantinya akan diperperparah dengan laju percepatan perubahan iklim yang bahkan sekarang sudah dirasakan dampaknya oleh para nelayan dan masyarakat pesisir.
Dalam upaya membangun wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Pemerintah Pusat maupun Daerah harus mengikutsertakan masyarakat lokal dan adat setempat. Bukan tanpa sebab, kelompok masyarakat perikanan tradisional telah diakui dan dihormati haknya dalam hukum laut internasional (UNCLOS 1982) dan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di Pasal 61 dinyatakan pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun temurun. Selanjutnya Pasal 62 juga menyatakan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hal ini tentunya pantas dihormati dan diikuti oleh Pemerintah. Bagaimana pula regulasi yang dibuat sebagai panduan untuk Pemerintah, justru dilanggar oleh ulah sendiri?
2023 tinggal hitungan minggu. Pemerintah harus merefleksikan diri; apakah selama ini sudah optimal dan jujur dalam memperjuangkan nasib rakyat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terutama untuk kemakmuran dan kesejahteraan mereka? Atau justru regulasi dan program yang diadakan adalah semata-mata untuk kepentingan pendapatan negara dan memuluskan berbagai dukungan untuk industrialisasi?
***