Berbatasan dengan sepuluh negara—India, Singapura, Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste—membuat wilayah Indonesia sangat rentan. Karena keadaan ini, Indonesia rentan terlibat konflik dengan negara tetangganya. Di sektor kelautan dan perikanan, batas wilayah laut yang tidak terlihat paling sering menimbulkan konflik pencurian ikan, masuknya kapal nelayan ke wilayah perairan negara tetangga tanpa sengaja, atau bahkan ‘kaburnya’ batas wilayah sehingga nelayan dapat ditahan padahal masih berada di batas aman negaranya. Salah satunya adalah laporan yang diterima pada akhir Mei 2023 yang lalu.
Nasional Fisher’s Center Jakarta menerima pengaduan satu orang nelayan asal Jayapura Provinsi Papua yang ditangkap dan ditahan oleh aparat Papua Nugini. Penangkapan tersebut terjadi pada hari Sabtu, 27 Mei 2023. Nasional Fisher’s Center telah menyampaikan pengaduan ini kepada pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohamad Abdi Suhufan mengatakan bahwa nelayan asal Jayapura tersebut sebelumnya melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan perbatasan tapi masih masuk dalam WPP 717. “Korban bersama 20 kapal ikan Indonesia berukuran kecil sedang melakukan penangkapan ikan tiba-tiba dikejar dengan menggunakan speedboat oleh aparat Papua New Guinea (PNG)” kata Abdi. Hal tersebut terjadi pada hari sabtu, 27 Mei 2023, pukul 18.00 wib. Satu orang nelayan asal Jayapura berinisial R yang mengoperasikan kapal kecil dengan nama kapal KM Cahaya Selatan ditangkap pada saat itu dan saat ini ditahan di Vanimo PNG.
Menurut Abdi, pihaknya telah mengirimkan laporan resmi kepada pemerintah Indonesia agar dapat menindaklanjuti kasus ini dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah PNG. Pengaduan dan kronologis kejadian telah disampaikan kepada pemerintah Indonesia pada hari Selasa, 30 Mei 2023. “Kami mendapat informasi bahwa korban sempat mengalami intimidasi dan kekerasan fisik pada saat ditahan,” kata Abdi. Pemerintah Indonesia perlu segera mengupayakan perlindungan kepada korban melihat latar belakang korban yang seorang diri dan keterbatasan akses. “Upaya hukum dan pembebasan perlu segera dilakukan oleh pemerintah Indonesia.” kata Abdi.
Manajer Nasional Fisher’s Center DFW Indonesia, Imam Trihatmadja mengatakan bahwa permasalahan nelayan pelintas batas asal Papua yang melanggar perbatasan masih sering terjadi. Hal ini membutuhkan perhatian dan penanganan serius oleh pemerintah. “Selama ini pelanggaran dilakukan oleh nelayan individu dengan kapal kecil dan juga kapal ikan yang diawaki kurang dari 10 orang.” kata Imam.
Pihaknya mendorong agar Indonesia perlu membuat kerjasama dengan pihak PNG tentang perlindungan dan penanganan nelayan kecil Papua yang melanggar wilayah perairan tersebut. “Perlu dikaji format perlindungan nelayan kecil yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di perbatasan Indonesia dan PNG sebab wilayah penangkapan yang sangat berdekatan dan keterbatasan nelayan kecil dalam memanfaatkan teknologi.” kata Imam.
Maka dari itu, jika visi Poros Maritim Dunia benar-benar ingin terwujud, Pemerintah Indonesia harus melakukan berbagai daya upaya untuk memperketat pengamanan di batas wilayah laut yang tidak memiliki tanda batas fisik seperti batas darat. Bukan hanya untuk memastikan tidak adanya kapal ikan asing yang masuk ke wilayah Indonesia atau untuk memastikan keamanan dan kepatuhan nelayan Indonesia agar tidak melanggar batas wilayah negara-negara tetangga kita saja, namun juga untuk memastikan nelayan Indonesia aman sentosa di wilayah perairan milik Indonesia tanpa harus dibebani rasa was-was.
***
Sumber Utama: Destructive Fishing Watch Indonesia