Minggu lalu, KORAL mengulas berita mengenai pencurian ikan yang masih marak dilakukan di perairan Indonesia oleh nelayan Indonesia sendiri. Namun di minggu ke-2 di bulan Agustus ini, kapal ikan yang melancarkan aksi penangkapan ikan ilegal kembali terciduk dalam beberapa kesempatan.
Kapal Ikan Vietnam Dijaring di Laut Natuna Utara
Kapal ikan asing (KIA) berbendera Vietnam ditangkap oleh Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI karena menangkap ikan di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau (Kepri). Penangkapan dimulai pada hari Jumat (11/8) ketika KN Marore-322 Bakamla melakukan patroli keamanan dan keselamatan laut dan menemukan kapal penangkapan ikan di perairan Indonesia pada pukul 09.58 WIB.
Walaupun sempat berusaha melarikan diri dari kejaran petugas, kapal tersebut berhasil diringkus. Pranata Humas Ahli Muda Bakamla RI Kapten Bakamla Yuhanes menyatakan bahwa setelah pemeriksaan awal, KIA Vietnam itu berisikan 12 anak buah kapal (ABK) dan 5 ton muatan ikan. Usai diamankan, kapal tersebut dibawa ke perairan Batam untuk penyelidikan tambahan. Temuan awal menunjukkan bahwa kapal tanpa dokumen dan perizinan yang jelas menangkap ikan di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia secara ilegal.
Yuhanes menyatakan bahwa ini melanggar UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 5 Ayat 1 (b) dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Tindak IUUF Bukan Hal Baru di Laut Aru: Kurang dari 1 Minggu Terciduk 3 Kapal Lagi!
Jika di minggu pertama bulan Agustus KORAL membahas mengenai penangkapan tiga kapal dengan izin daerah diduga menangkap ikan di atas 12 mil dari zona penangkapan di Laut Aru, kali ini ada kasus baru yang kembali terkuak.
KKP menghentikan tiga kapal perikanan yang diduga melakukan alih muatan hasil tangkapan ikan ilegal di 718 Perairan Kepulauan Aru di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan PAUS 01 berhasil mencegah aksi tersebut saat melakukan patroli pengawasan di Zona III Penangkapan Ikan Terukur WPPNRI 718, di titik koordinat 06° 42.997′ LS -134° 03.801′ BT.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Adin Nurawaluddin, menyatakan bahwa ada tiga kapal perikanan yang berhasil diamankan; yakni satu kapal pengangkut dan dua kapal penangkap. Ketiga kapal tersebut adalah KM. LB 99 (263 GT), KM. LB III (56 GT), dan KM. LB 7 (91 GT). Kapal-kapal ini diduga melakukan alih muatan bukan dengan kapal mitranya atau tidak dalam satu kesatuan usaha. Saat pemeriksaan dilakukan, ditemukan bahwa salah satu kapal penangkap ikan memiliki izin untuk melakukan usaha pra-produksi.
Seperti yang dinyatakan dalam Surat Edaran Nomor B.1049/MEN-KP/VII/2023 dari Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Kepatuhan Pelaku Usaha terhadap Pelaksanaan Penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa Pungutan Hasil Perikanan Pascaproduksi, kapal penangkap ikan hanya diizinkan untuk mengalihkan muatan mereka ke kapal pengangkut ikan yang bekerja sama dengannya atau mitranya.
Hukuman Jangan Pelit!
Kinerja Bakamla dalam memastikan keamanan dan pengawasan laut Indonesia layak diacungi jempol. Apalagi karena luasnya laut Indonesia, tentunya menjadi medan yang penuh dengan tantangan dan kesulitan tersendiri. Kerja keras Bakamla dengan banyaknya ’hasil tangkapan’ dari operasi yang dilakukan tidak serta merta berhenti pada penangkapan saja, namun masih berlanjut ke hukuman yang harus sama kerasnya.
Dampak penangkapan ikan ilegal tidak main-main. Bukan hanya kerugian negara yang mencapai ratusan triliun Rupiah saja (Tempo, 2023), tetapi juga kerugian lingkungan yang berefek jangka panjang jauh lebih besar. Kerusakan lingkungan akibat penggunaan bom dan alat tangkap ikan terlarang mengancam kesehatan dan keberadaan terumbu karang beserta ikan-ikan yang sedang masa reproduksi ataupun yang masih kecil.
Strategi internal untuk memerangi IUUF masih perlu diperkuat. Sistem hukum harus sama kerasnya dan tidak ‘pelit’ ketika menjatuhkan hukuman pada pelaku. Jika menelisik kembali ke tahun 2019, menurut salah satu anggota koalisi KORAL – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) di tahun 2019 pernah mencatat bahwa dari 116 putusan pengadilan perikanan terhadap para pelaku IUUF sejak 2015-2018 tak satupun sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Menurut data dari KIARA, hanya 113 kasus yang dikenakan denda, dengan total sebesar Rp. 80.245.500.000 padahal kerugian mencapai ratusan Triliun Rupiah. Belum lagi masa tahanan yang maksimal hanya optimal selama 3 tahun masa kurungan.
Terkait dengan pelaku pencurian ikan oleh kapal ikan asing, strategi eksternal yang berkaitan dengan kerjasama regional maupun internasional harus semakin dipererat. Apalagi dengan adanya dasar regulasi Pasal 61-2 dan Pasal 73 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, Indonesia mempunyai hak untuk menindak dan melakukan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran. Walaupun pelakunya dilepaskan atau diserahkan ke negara asal, tetap perlu adanya reasonable bond atau uang jaminan yang layak, yang diberikan kepada Indonesia. Mungkin perlu juga dilakukan uji banding dan penelitian lebih lanjut untuk menghitung multiplier effect dari tindak IUUF tersebut untuk menentukan besaran uang jaminan yang harus dibayarkan. Hal ini dikarenakan secara keseluruhan, Konvensi 1982 hanya mengedepankan saja persyaratan bahwa ikatan atau jaminan yang akan ditetapkan adalah wajar tanpa memberikan indikasi lebih lanjut tentang bagaimana pengertian reasonable bond yang harus diterapkan dalam prakteknya (“Reasonable Bond” In The Practice of The International Tribunal for The Law of The Sea oleh Dr. Erik Franckx, 2002).
KORAL berharap Bakamla semakin berprestasi, berdedikasi, dan semakin dapat diandalkan untuk pengawasan dan penertiban di laut Indonesia. Semoga Pemerintah Indonesia, khususnya KKP juga memiliki semangat yang sama untuk meningkatkan kualitas kerja dan penegakan hukum yang makin mumpuni dan menyeluruh.
***