Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan pulau-pulau terbesar yaitu Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara dan Papua. Namun sejatinya, di Indonesia sendiri terdapat lebih dari 17 ribu pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Tiap pulau memiliki keunikannya sendiri, baik keunikan geografis, adat istiadat yang mendiaminya hingga kondisi wilayah pesisir. Potensi sumber dayanya pun berbeda-beda.
Problematika dari terdapatnya ribuan pulau ini adalah pembangunan yang tidak merata. Ibukota yang terdapat di Pulau Jawa seolah-olah menjadi magnet pembangunan masif. Sementara daerah-daerah lainnya, seperti di Barat dan Timur Indonesia justru masih kurang diperhatikan. Hal inilah yang mendasari adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Kepulauan, guna menyeimbangkan pembangunan di seluruh Indonesia.
Sudah ada draftnya sejak 2 dekade yang lalu, RUU ini masih belum menemui titik terang akhir dari pembahasannya. Namun bukan hal yang buruk, tentunya dalam membuat dan mengimplementasikan Undang-Undang yang menyangkut hajat banyak orang, perlu waktu dan pembahasan yang dalam. Saat ini, RUU Daerah Kepulauan sendiri sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) Prioritas 2023. RUU ini memuat setidaknya tiga hal pokok yaitu: kewenangan mengelola wilayah, sistem pemerintahan, dan anggaran.
Apa Hubungannya dengan Sektor Kelautan dan Perikanan?
Menurut Working Group Discussion RUU Daerah Kepulauan yang diadakan 5 November lalu, akan tercantum tujuh sektor yang menjadi pokok pengelolaan yaitu: kelautan dan perikanan. perhubungan, energi dan sumber daya mineral, pendidikan tinggi, kesehatan, perdagangan antar-pulau, dan ketenagakerjaan. Maka dari itu, RUU Daerah Kepulauan ini akan berimbas pada segala aktivitas penangkapan dan pembudidayaan sumber daya ikan dan pengelolaan sumber daya di kepulauan. Keberadaan RUU Daerah Kepulauan juga akan turut mengatur keberadaan aktivitas pertambangan.
Apa yang Perlu Diperhatikan?
Untuk sektor kelautan dan perikanan, hal pertama yang menjadi perhatian KORAL adalah keberadaan RUU ini harus pakem dan jelas kedudukannya. Jangan sampai terdapat tumpang tindih dengan regulasi atau kebijakan lainnya yang membuat RUU ini menjadi lemah dalam implementasinya.
Kedua adalah aspek pemberdayaan sumber daya di wilayah kepulauan harus berlandaskan pada aspek keberlanjutan dan kesejahteraan nelayan dan wilayah pesisir. Mengapa demikian? Diharapkan keberadaan RUU Daerah Kepulauan ini bukan untuk melanggengkan upaya investasi pihak asing ataupun industri-industri besar yang mendominasi kelautan dan perikanan serta menjadi alasan penguat keberadaan aktivitas perikanan dan kelautan yang justru bersifat masif, eksploitatif, dan destruktif. Dampaknya adalah degradasi lingkungan dan semakin terpuruknya nasib nelayan. Padahal nelayan dan masyarakat pesisir harusnya menjadi stakeholder utama dalam perbaikan nasib yang “dibawa” oleh RUU Daerah Kepulauan. Hal serupa juga disampaikan oleh Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Laut dan Pulau Kecil WALHI. Menurutnya rekognisi dalam aturan ini harus memasukkan masyarakat dan wilayah kelolanya sehingga keberadaan masyarakat diakui.
Ketiga, dalam diskusi Jaring Nusa pada 22 Oktober 2022 yang lalu, disampaikan beberapa poin yang mengkhawatirkan. Muhammad Karim, Dosen Universitas Trilogi mengungkapkan kekhawatirannya apabila RUU Daerah Kepulauan ini akan menggunakan data utang luar negeri. Menurutnya RUU ini seperti skema blue ekonomi yang dikeluarkan bank dunia. Hal ini nantinya akan berdampak pada bertambahnya utang Indonesia dan membuat Indonesia menjadi ketergantungan.
Keempat, konservasi dan iklim belum menjadi poin yang dicantumkan pada RUU Daerah Kepulauan. Padahal kedua faktor ini sangat penting untuk diatur dan dipastikan keberadaannya. Kesehatan laut dan wilayah pesisir yang terus menurun ditambah semakin parahnya dampak pemanasan iklim global harus bisa diakomodir dengan regulasi yang jelas dan tegas. Bahwasanya pemberdayaan alam dan sumber dayanya boleh saja dilakukan, tetapi upaya untuk menyelamatkan laut dan lingkungan harus lebih besar. Apalagi Indonesia merupakan negara yang dianugerahi flora dan fauna endemik yang makin hari makin terancam keberadaannya karena rakusnya manusia dan efek perubahan iklim.
KORAL berharap keberadaan RUU Daerah Kepulauan membawa perbaikan murni bagi masyarakat dan Nelayan di kepulauan Indonesia. Mida Saragih selaku Juru Bicara KORAL mengatakan juga memberikan catatan terkait RUU Daerah Kepulauan. “Jangan sampai RUU Daerah Kepulauan ini menambah kerentanan pulau kecil. Pulau kecil telah mendapatkan perlindungan dari Pasal 23 UU PWP3K No. 27 Tahun 2007 jo No. 1 Tahun 2014. RUU Daerah Kepulauan sudah semestinya disusun agar harmonis dengan substansi UU PWP3K,” pungkas Mida.
******