PERAN PEREMPUAN PESISIR: PEJUANG KEMERDEKAAN KELUARGA DAN LINGKUNGAN – PART 1

Perempuan Nelayan yang masih dianggap sebelah mata. (Gambar: Detik.com)

Peran perempuan dalam meraih kemerdekaan Indonesia sudah dikenal sejak jaman perjuangan. Kita mengenal banyak figur pahlawan perempuan  dari Cut Nyak Dhien, yang ikut berperang dan mengadakan taktik perang melawan penjajah kolonial di tahun 1870an hingga peran Ibu Negara pertama, Fatmawati, dalam mendukung dan menolong perjuangan suaminya Presiden pertama Indonesia, Soekarno, dalam perjalanan memerdekakan Indonesia. Peran perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kesejahteraan ini tidak lantas hilang ditelan masa. Hingga sekarang, perempuan masih berjibaku dalam memerdekakan hak mereka dan hak komunitasnya, tidak terlepas dari para perempuan pesisir di beberapa daerah di Indonesia yang akan KORAL ceritakan pada artikel khusus Hari Kemerdekaan Republik Indonesia kali ini.

Perempuan Pesisir Jawa: Terjerat Kultur dan Kemiskinan

Perempuan Nelayan di Demak, Jawa Tengah. (Gambar: Ekuatorial)

Salah satu penelitian pada jurnal yang diterbitkan Universitas Airlangga, menguak takbir kehidupan perempuan pesisir di Pulau Jawa; pulau yang paling dikagumi dan diimpi-impikan rakyat Indonesia, yang menjadi kediaman Ibukota Negara – Jakarta. 

Kehidupan pesisir di Pulau Jawa bagi perempuan artinya menjadi penyokong bagi para suami yang mayoritas menjadi nelayan. Mereka tidak tinggal diam dirumah atau bekerja di profesi lain. Para perempuan pesisir ini mayoritas membantu suaminya mengumpulkan hasil laut dan dijual ke pasar atau di tempat pelelangan. Hal ini tentunya tidak lepas dari masih rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki dan sistem budaya patriarki yang dianut oleh kebanyakan masyarakat tradisional Indonesia. Pendidikan masih dianggap hal immateriil yang tidak terlalu penting bagi peran perempuan nantinya setelah berkeluarga.

Sistem budaya ini sedikit banyak membawa perempuan masuk ke dalam zona ketergantungan ekonomi, dimana laki-laki memainkan peran sebagai kepala keluarga dan memangku tanggungjawab besar atas perekonomian keluarga. Hal ini tidak jarang menjadi bumerang balik bagi perekonomian keluarga itu sendiri dan menjerat perempuan masuk ke dalam perangkap kemiskinan. 

Diskriminasi sektor kelautan dan perikanan pada nelayan perempuan dan perempuan pesisir tentu menjadi salah satu faktor semakin jatuhnya mereka kedalam zona kemiskinan ini. Salah satu diskriminasi yang dirasakan perempuan pesisir di setidaknya empat Kabupaten di Pulau Jawa yaitu Blitar, Tulungagung, Lamongan, dan Tuban adalah sulitnya mendapatkan kartu penangkapan ikan dan izin kapal penangkap ikan. Padahal kartu ini dapat memfasilitasi mereka untuk mendapatkan akses kesehatan, pendidikan, dan hak-hak lain yang dijamin oleh pemerintah. 

Hal ini tidak terlepas dari stigma sosial dan sistem birokrasi yang beranggapan bahwa perempuan tidak mampu menjadi seorang nelayan. Pandangan tersebut mengenyampingkan temuan di lapangan yang justru berbanding terbalik, dimana perempuan juga ikut terlibat dalam aktivitas penangkapan ikan hingga sampai ke tangan penjual atau pembeli. 

Peran Perempuan Membentengi Pesisir dari Kepungan Tambang

Bukan hanya sekadar membantu aktivitas penangkapan hingga penjualan ikan di pasar dan pelelangan, perempuan pesisir nyatanya mempunyai peran penting dalam menentang keberadaan aktivitas pertambangan ekstraktif di wilayah mereka. Hal ini terjadi di beberapa daerah di Indonesia. 

Kelompok istri nelayan Pulau Kodingareng, Makassar, Sulsel memperlihatkan produk abon ikan buatan mereka. (Foto: Mongabay Indonesia)

Pertama, peran perempuan pesisir Kodingareng – Sulawesi Selatan dalam menghadapi krisis dampak penambangan pasir oleh PT. Boskalis yang dilakukan di Kepulauan Sangkarrang pada tahun 2020 yang lalu. Bukan hanya turun tangan menghadapi kapal besar pengangkut pasir milik PT. Boskalis, perempuan pesisir Kodingareng pun hingga sekarang ketika PT. Boskalis tidak menambang lagi, masih merajut perbaikan hidup warga pesisir Kodingareng. Nursina, Wakil Ketua Organisasi Perempuan Kodingareng menjelaskan, bahwa dampak pertambangan pasir tersebut masih terus dirasakan oleh nelayan dan perempuan. Hasil tangkapan yang tidak kunjung pulih seperti sebelum PT. Boskalis datang, membuat para perempuan Kodingareng harus menyiasati kurangnya pendapatan suami mereka dengan berjualan dan mengelola hasil laut berupa produk abon dan ikan kering, meskipun belum berjalan optimal. Mereka juga berusaha mengorganisir diri agar tetap solid dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai perempua (Mongabay, Juni 2022).

Kedua, perjuangan Perempuan Seluma bersama dengan WALHI dalam menghadapi kepungan tambang pasir besi milik PT. Faminglevto Bakti Abadai (FBA) di Bengkulu. PT. FBA terbukti belum memiliki kelengkapan administrasi, tidak memiliki AMDAL, lokasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) masuk dalam kawasan konservasi cagar alam, belum memiliki persetujuan teknis air limbah, dan terdapat tumpang tindih konsesi pertambangan dengan lahan masyarakat, vegetasi pantai, dan lahan lain. Pertambangan pasir besi milik PT. FBA memiliki potensi besar untuk merusak ekosistem laut karena posisi menambang 350 meter kearah laut. Hal ini jelas melanggar peraturan Ruang Laut yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Selain resiko pencemaran dan degradasi alam dan pesisir, PT. FBA juga merugikan masyarakat sekitar yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dan pencari kerang. Selain itu, keadaan geografis pesisir Sumatera yang rawan bencana alam gempa bumi,  menjadikan wilayah Seluma tidak masuk kedalam wilayah yang diperbolehkan adanya aktivitas pertambangan menurut  Pasal 73 Ayat 1 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 

Direktur WALHI Bengkulu, Abdullah Ibrahim Ritonga, menyatakan bahwa berdasarkan surat Rekomendasi Gubernur Bengkulu dengan nomor 540/1317/B.1/2022 ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan ditembuskan ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta KKP, menunjukkan jelas adanya masalah yang disebabkan oleh aktivitas PT. FBA dan ketidaklayakan beroperasi. 

Perempuan Seluma menyuarakan aspirasi dan penolakan mereka, ketika mereka memergoki PT. FBA yang masih melakukan aktivitas operasi per 24 Juli 2022 yang lalu. Elda Nenti, salah satu perempuan pesisir Seluma mengatakan, masyarakat memergoki PT. FBA melakukan penggalian dan pengoperasian mesin pemisah biji besi. Hal ini telah mendorong masyarakat untuk mengkonfrontasi PT. FBA, namun masih belum mendapatkan jawaban. 

*** berlanjut ke Part 2 ***