Konservasi akan efektif ketika semua pihak terlibat dalam kegiatan pelestarian pesisir tanpa ada diskriminasi gender, terlebih dengan adanya peran perempuan yang sangat penting dalam membangun kawasan pesisir. Partisipasi perempuan dapat meningkatkan efektivitas konservasi dengan memperkuat kolaborasi, kepatuhan, resolusi konflik dan akuntabilitas. Berbagai kontribusi perempuan dalam sektor kelautan dan pesisir juga memiliki dampak yang signifikan pada keberlanjutan lingkungan dan ekonomi.
Dengan peran perempuan sebagai penjaga tradisional sumber daya pesisir, seperti hutan mangrove, terumbu karang, dan lahan basah. Sobat KORAL masih ingatkah dengan keterlibatan perempuan dalam memperjuangkan wilayah pesisir di Kodingareng?
Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia
BACA : STRATEGI PEREMPUAN KODINGARENG BERTAHAN DALAM KRISIS
Peran perempuan dalam berbagai sektor pesisir akan semakin baik jika ada dukungan pemerintah langsung seperti adanya kebijakan dan praktik yang inklusif gender dalam pengelolaan hasil perikanan nasional. Pentingnya dukungan pada kemampuan perempuan dalam membangun komunitas sebagai agen perubahan sosial dan terlibat dalam pembangunan masyarakat, pendidikan, dan pemeliharaan budaya lokal.
Sebagai contoh, keterlibatan mereka dalam penangkapan ikan, budidaya kerang, hingga pengolahan hasil laut. Kontribusi ekonomi perempuan ini seringkali menjadi tulang punggung ekonomi rumah tangga di kawasan pesisir.
Ada juga peran perempuan dalam praktik konservasi seperti yang dilakukan ibu-ibu di wilayah Indonesia timur melalui praktik sasi. Sobat KORAL, praktik sasi adalah sistem manajemen sumber daya alam tradisional yang telah digunakan secara turun temurun oleh masyarakat pesisir di berbagai wilayah, termasuk Indonesia timur.
Prinsip sasi membatasi aktivitas penangkapan atau pengambilan hasil laut dalam jangka waktu tertentu, dengan harapan agar sumber daya alam tersebut dapat pulih dan berkembang kembali. Dengan menerapkan larangan ini, masyarakat setempat memastikan keberlanjutan sumber daya laut dan pesisir yang mereka manfaatkan untuk kehidupan sehari-hari. Peran perempuan dalam menjaga keberlanjutan lingkungan ini tidak hanya bermanfaat untuk komunitas lokal, tetapi juga memiliki dampak positif dalam skala yang lebih luas, termasuk pelestarian keanekaragaman hayati dan mitigasi perubahan iklim.
Namun, praktik ini justru bertolak belakang dengan kebijakan saat ini seperti UU Cipta Kerja. Hal ini juga ditambahkan dari Koordinator Sekretariat KORAL, Mida Saragih menyoroti isu penting tentang perlindungan hak masyarakat adat dan pesisir terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Implementasi produk kebijakan yang berasal dari turunan Undang-Undang Cipta Kerja yang mengancam hak-hak ini menimbulkan kekhawatiran yang signifikan.
Mahkamah Konstitusi telah membatalkan klausul privatisasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yakni HP-3 untuk menegaskan pentingnya menghormati hak-hak masyarakat untuk hidup dan memanfaatkan kawasan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kearifan lokal mereka.
Mida Saragih menekankan perlunya pemerintah menemukan model pengelolaan pesisir-laut yang sesuai dengan amanat konstitusi, yang mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat pesisir dan adat dalam pengelolaan sumber daya alam di kawasan tersebut. Hal ini membutuhkan dialog yang terbuka dan inklusif antara pemerintah, masyarakat adat, dan semua pemangku kepentingan terkait.
Selain itu, penting bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam melakukan inventarisasi, melindungi, dan mengakui keberadaan serta wilayah kelola masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Langkah-langkah ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan menghormati hak asasi manusia.
Dengan memperkuat peran perempuan dalam pembangunan kawasan pesisir, kita dapat memastikan bahwa upaya kita untuk melestarikan dan mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan akan lebih efektif dan berdampak positif bagi masyarakat lokal dan lingkungan.
***