Indonesia memiliki mimpi besar untuk dicapai di tahun 2045. Dinamakan Indonesia Emas 2045, Pemerintah Indonesia khususnya Presiden Joko Widodo telah menetapkan visi Indonesia yang berdaulat, maju, adil dan makmur. Dalam mencapai Indonesia Emas 2045, sektor kelautan dan perikanan (Sektor KP) menjadi salah satu sektor krusial yang menjadi prioritas. Hal ini tidak terlepas dari iming-iming total potensi ekonomi sektor kelautan Indonesia yang mencapai US$ 1,4 triliun per tahun (KKP, 2023).
Dengan landasan ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kemudian mengeluarkan 5 Program Strategis KKP yaitu:
- Memperluas wilayah konservasi sebesar 30% dari luas wilayah perairan Indonesia.
- Penangkapan Ikan Terukur berbasis kuota.
- Perikanan Budidaya ramah lingkungan.
- Penataan Ruang Laut untuk perlindungan ekosistem laut dan pesisir.
- Bulan cinta laut untuk menangani masalah sampah laut.
Selain dari target Indonesia Emas 2045 dan 5 Program Strategis KKP, Indonesia juga ikut berkontribusi pada perundingan untuk Perjanjian Laut Internasional atau Global Ocean Treaty di kantor Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, yang telah dimulai sejak 20 Februari 2023 lalu. Perjanjian ini menjadi hal yang krusial dalam upaya mewujudkan target “30×30”. Target ini memiliki arti bahwa 30% dari luas lautan di dunia harus dilindungi pada tahun 2030. Target ini disepakati kembali dalam pertemuan COP15 di Montreal, Kanada, pada Desember 2022 lalu.
Indonesia sepertinya sadar betul akan pentingnya menjaga ekosistem dan biodiversitas laut. Namun apalah arti itu semua tanpa adanya tindakan nyata untuk memastikan keberlanjutan dan perlindungan ekosistem serta biodiversitas laut dan pesisir. Konservasi menjadi salah satu pokok penting untuk menjadikan laut Indonesia sehat dengan potensi yang maksimal.
Hari Strategi Konservasi Dunia: Rujukan untuk Menjaga, Mempertahankan, dan Memberdayakan.
Indonesia sebagai negara yang menjadi rumah bagi 17% pasokan karbon biru Dunia, memiliki peran yang vital dalam mewujudkan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Maka dari itu Pemerintah Indonesia seharusnya sadar bahwa segala bentuk regulasi akan dijadikan tolak ukur besaran komitmen Pemerintah Indonesia untuk mewujudkannya; yang sayangnya, masih dipertanyakan.
Ada beberapa alasan mengapa kemudian komitmen untuk menjaga wilayah konservasi perairan di Indonesia masih dipertanyakan. Salah satunya adalah embel-embel potensi kenaikan nilai ekonomi yang agaknya mendominasi tujuan tiap regulasi dan proyek nasional. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sumber daya alam menjadi salah satu roda penggerak perekonomian, namun, sumber daya alam yang rusak karena tindakan eksploitatif dan destruktif tentunya tidak akan dapat diberdayakan.
Hal yang kemudian ditakutkan adalah ketika Pemerintah lebih menomorsatukan faktor ekonomi ketimbang ekologi atau dalam hal ini adalah kegiatan konservasi. Padahal seharusnya ekologi menjadi prioritas utama, untuk memastikan keberlanjutan ekosistem yang berujung pada “langgengnya” kehidupan manusia termasuk agenda ekonomi.
Dalam upaya menjaga area konservasi, sebetulnya Pemerintah dapat merujuk pada peringatan Hari Strategi Konservasi Dunia yang jatuh tiap tanggal 06 Maret. Dalam dokumen WCS 1980, dituliskan tiga tujuan dari strategi konservasi dunia yakni:
- Untuk mempertahankan proses ekologi dan sistem pendukung kehidupan (seperti tanah, regenerasi dan perlindungan, daur ulang nutrisi, dan pembersihan air), di mana kelangsungan hidup dan perkembangan manusia bergantung pada komponen tersebut.
- Untuk melestarikan keragaman genetik, mulai dari perlindungan dan perbaikan pada tanaman budidaya, hewan peliharaan, dan mikroorganisme, pelestarian ini juga tidak terbatas pada kemajuan ilmiah dan medis, termasuk keamanan dimana banyaknya industri menggunakan sumber daya hayati.
- Untuk memastikan pemanfaatan spesies dan ekosistem yang berkelanjutan (terutama ikan dan satwa liar lainnya, hutan dan lahan penggembalaan), yang mendukung jutaan masyarakat di seluruh dunia.
Ketiga hal diatas inilah yang seharusnya menjadi fokus utama Pemerintah untuk menyelamatkan lingkungan, dan juga dapat bermanfaat bagi kemaslahatan/keselamatan masyarakat.
Perppu Cipta Kerja: Pengkhianat Semangat Konservasi
Di akhir tahun 2022 yang lalu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Di dalam konsiderasinya, salah satu alasan yang mendasari dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja adalah isu krisis iklim yang dianggap genting. Maka dari itu, seharusnya, keberlanjutan lingkungan menjadi agenda utama dan mengisi mayoritas kebijakan dan proyek nasional. Lalu sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana dengan regulasi Perppu CK itu sendiri, yang justru menggeser skala prioritas untuk menjaga lingkungan atau wilayah konservasi?
Dalam Perppu Cipta Kerja, Zona Inti Konservasi Laut justru dalam bahaya. Zona konservasi ini diperbolehkan untuk dialihfungsikan menjadi zona ekonomi, khususnya untuk kepentingan proyek strategis nasional (PSN). Zona konservasi di wilayah pesisir pun tidak luput dari ancaman. Mangrove di pesisir dalam diubah untuk proyek tambang panas bumi. Padahal seperti yang kita tahu, mangrove memegang peranan yang sangat amat krusial dalam memerangi krisis iklim sebagai bagian dari ekosistem karbon biru (EKB). Ini artinya, kegiatan eksploitasi juga mengancam area yang seharusnya dilindungi dan jauh dari aktivitas destruktif atas nama ekonomi, dalam bentuk apapun.
Padahal korban sudah makin banyak. Krisis iklim ini telah mengorbankan setidaknya 1 hektar tanah yang hilang di pesisir Demak, Jawa Tengah karena permukaan air laut yang semakin tinggi (Walhi, 2023). Bukan hanya itu, jumlah kerugian nelayan hingga ratusan nelayan yang meninggal di laut akibat krisis iklim terus bertambah. Nelayan hanya mampu melaut selama enam bulan dan di tahun 2020 jumlah nelayan yang meninggal mencapai angka 251 orang.
Seharusnya Pemerintah membuka mata dan hatinya akan kenyataan ini. Krisis iklim sudah terjadi dan sudah memakan korban. Tidak ada lagi toleransi untuk regulasi dan proyek nasional yang justru memperparah dengan eksploitasi sumber daya alam. Keberadaan Perppu CK ini justru mengkhianati semangat konservasi dan mengkhianati landasan atau alasan awal diterbitkannya. Keberadaanya justru berujung pada semakin parahnya krisis iklim, makin sedikitnya wilayah konservasi yang aman, dan legalisasi kegiatan eksploitatif alam atas nama pemasukan negara. Selain inkonstitusional, Perppu CK juga ternyata contoh regulasi oligarki yang dikeluarkan untuk melanggengkan agenda utama dan terutama: kenaikan ekonomi melalui investasi dengan pelelangan sumber daya alam dan masa depan generasi bangsa.
***