Foto: Jibriel Firman/Greenpeace
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dan terkaya di dunia, hal ini menjadi daya tarik di mata investor dalam negeri maupun luar negeri. Namun sampai saat ini, masalah sering muncul di pulau-pulau kecil, seperti Pulau Sangihe dan Pulau Kodingareng. Kedua pulau tersebut menjadi sasaran penambang sejak lama. Naasnya sampai saat ini permasalahan pertambangan pulau kecil belum dijadikan prioritas. Contoh pulau kecil lain yang menjadi sasaran oligarki tambang adalah Pulau Wawonii. Maraknya aktivitas pertambangan sangat berbanding terbalik dengan Indonesia sebagai negara kepulauan dimana sudah seharusnya menjadikan pulau kecil sebagai prioritas perlindungan.
Sobat KORAL, sampai saat ini banyak oligarki tambang yang beroperasi di pulau kecil salah satunya adalah PT Gema Kreasi Persada (GKP) yang beroperasi di Pulau Wawonii, wilayah Laut Banda, Provinsi Sulawesi Tenggara PT GKP merupakan perusahaan pertambangan nikel di bawah perusahaan Harita Group juga baru saja ikut merambah di Bursa Efek Indonesia tahun lalu. Pengoperasian PT GKP, yakni memiliki efek negatif. Kerusakan alam terjadi di Pulau Wawonii akibat pertambangan nikel yang dilakukan oleh PT GKP.
Salah satu dampak aktivitas pertambangan adalah rusaknya ekosistem pesisir seperti mangrove, lamun, dan terumbu karang. Dampak lain dari aktivitas pertambangan adalah pencemaran air yang menyebabkan warga lokal kesulitan mencari air bersih. Tercemarnya air laut oleh limbah pertambangan juga dapat mengancam kelestarian ikan dan berdampak pada nelayan perikanan tangkap. Pada akhirnya lagi-lagi masyarakat lokal yang menjadi korban kerentanan krisis sumber daya akibat keserakahan oligarki.
KORAL yang merupakan gabungan dari sembilan organisasi masyarakat sipil, diantaranya: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Yayasan EcoNusa, Pandu Laut Nusantara, Greenpeace Indonesia, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Yayasan Terangi, dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) yang memiliki fokus pada advokasi dan kampanye di sektor kelautan, perikanan, dan pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan sejak 2020. KORAL memiliki inisiasi untuk mengajukan dokumen Sahabat Pengadilan (Amicus Curiae), atas Uji Materi (Judicial Review) Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) No. 27 tahun 2007 jo No. 1 Tahun 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK), yang terdaftar dalam perkara nomor: 35/PUU-XXI/2023 pada Kamis (1/2/2024) lalu. Penyerahan Amicus Curiae sebagai bentuk dukungan terhadap perlindungan pulau kecil di seluruh Indonesia.
Bukan tak mendasar, permohonan yang dilatarbelakangi oleh Judicial Review UU PWP3K ini diajukan oleh Rasnius Pasaribu selaku Direktur Utama PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Menurut Rasnius juga ingin MK menghapus pasal Pasal 35 huruf (k) yang berbunyi:
“Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitar.”
Dalam hal ini jika Pemerintah menerima adanya penghapusan pasal tersebut, sama saja dengan mempertanyakan kebijakan Pemerintah itu sendiri. Bagaimana bisa kemudian Pemerintah dapat mempertanggungjawabkan visi dan misi keadilan hukum, jika kemudian keadilan itu dirusak oleh tangan mereka sendiri demi membela kepentingan para oligarki?
***
Rilis dapat diakses disini