Masih ingatkah Sobat KORAL akan kisah perjuangan warga Pulau Sangihe, Sulawesi Utara untuk lepas dari tambang emas? (Baca: Sangihe, Nasibmu Kini). April 2021 yang lalu, lebih dari setengah kawasan Pulau Sangihe dinyatakan sebagai wilayah pertambangan emas milik PT. Tambang Mas Sangihe (TMS). Hal ini diungkapkan anggota DPRD Sulawesi Utara, Winsulangi Salindeho, dari daerah pemilihan Nusa Utara (Sangihe, Sitaro, dan Talaud), saat diwawancara Kompas. Dengan izin pengelolaan kurang lebih 35 tahun, pulau Sangihe yang memiliki luas hanya 737 km², ancaman kerusakan yang bisa dialami pulau kecil ini tentunya makin besar dengan kegiatan pertambangan yang secara terus menerus berlangsung selama puluhan tahun.
Hingga saat itu sampai dengan sekarang, Warga Sangihe dalam gerakan Save Sangihe Island (SSI) yang terdiri dari 25 organisasi kemasyarakatan terus menyuarakan penolakan dan protes besar-besaran akan adanya pertambangan ini. Warga merasa takut, terusik, dan khawatir bahwa tanah leluhurnya akan mengalami kerusakan mulai dari air laut yang tercemar limbah, air tanah yang terkontaminasi menjadi beracun, perkebunan dan perbukitan hijau yang dibabat habis, hewan-hewan endemik penghuni gunung yang punah, dan mata pencaharian tradisional penduduk yang mayoritas menghilang. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe juga menambahkan tidak adanya pelibatan dalam proses pengurusan izin lingkungan dan eksploitasi yang diterbitkan untuk TMS.
Kerusakan alam di Pulau Sangihe sudah sangat parah. Keberadaan tambang emas di pulau kecil itu berdampak besar bagi alam dan penduduk disana. Bagaimana tidak, pengikisan dan pengerukan dapat terlihat dari atas. Sedimentasi hasil tambang juga terlihat larut pada bibir-bibir pantai dan mengekspos laut dan segala isinya dengan polutan berbahaya.
Namun agaknya ini bukan menjadi hal penting bagi Pemerintah. Dilansir dari laman rilis yang dikeluarkan Save Sangihe Island pada 13 September kemarin, pernyataan Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba ESDM pada CNN Indonesia 10 September 2023 dan rilis media 9 September 2023 dari Baru Gold (PT TMS) dengan judul “Baru Gold finalizes new application with Indonesia for Sangihe Project” (Baru Gold telah menyelesaikan aplikasi baru dengan Indonesia untuk proyek di Sangihe diterbitkan).
Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar di benak kita semua. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 140/B/2022/PT.TUN.Jkt tanggal 31 Agustus 2022 yang dikuatkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 650 K/TUN/2022 tanggal 12 Januari 2023 memutuskan bahwa kegiatan Usaha Pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan dasar hukum sebagai berikut:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam konsideran Menimbang huruf a, sudah jelas disebutkan bahwa mineral dan batubara yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sumber daya dan kekayaan alam yang tidak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki peran penting dan memenuhi hajat orang banyak dikuasai oleh negara untuk menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan guna mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan;
- Obyek sengketa berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe yang memiliki luas 736.98 km² yaitu Kepulauan Sangihe adalah masuk dalam kategori Kepulauan Kecil;
- Pasal 26 A, angka 1: Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapatkan izin dari Menteri (Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kelautan dan perikanan), Menteri Kelautan dan Perikanan tidak menerbitkan rekomendasi ataupun izin, persetujuan untuk memberikan konsesi kepada PT. Tambang Mas Sangihe untuk melakukan usaha pertambangan di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe;
- Menteri ESDM harusnya memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Kepulauan Sangihe, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K);
- Majelis Hakim tidak menemukan adanya bukti keterlibatan masyarakat dan kearifan lokal dalam menyusun AMDAL, dan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Karya, tidak terdapat bukti bahwa masyarakat yang terdampak langsung dan masyarakat adat tradisional dilibatkan dalam penyusun AMDAL tersebut;
Jika kemudian Pemerintah memberikan izin baru setelah putusan diatas, bukankah kemudian Pemerintah memberi contoh tindakan munafik yang menyalahi aturan dan putusan hukum yang sudah berlaku? Bagaimana kemudian Pemerintah dapat mempertanggungjawabkan visi dan misi keadilan hukum, jika kemudian keadilan itu dirusak oleh tangan mereka sendiri?
Jull Takaliuang, aktivis Save Sangihe Island atau Selamatkan Sangihe Ikekendage (SSI) dalam konferensi pers* tanggal 13 September kemarin mendesak Pemerintah untuk melarang adanya tambang di Pulau Sangihe. Ini karena, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pulau Sangihe tergolong pulau kecil dengan luas hanya 736,98 km². “Tidak boleh ada orang di Jakarta yang memaksakan standar kesejahteraan pemerintah dengan masyarakat Sangihe. Masyarakat bahagia dan bangga. Kami memiliki banyak makanan karena hasil bumi dan sagu. Pulau ini dikasihi oleh Tuhan untuk orang Sangihe, jadi jangan dihancurkan oleh orang lain.” ujarnya.
***
*) Rilis lebih lengkap dapat dilihat disini.