MASYARAKAT PESISIR DESA PASAR SELUMA: SELAMATKAN PESISIR BARAT BENGKULU DARI ANCAMAN TAMBANG PASIR BESI

Ratusan warga menolak adanya pertambangan pasir besi di kawasan Seluma. (Gambar: Detik.com)

Sebelas perwakilan masyarakat pesisir barat Kabupaten Seluma, Bengkulu mendatangi Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Komnas Perempuan, dan Ombudsman Republik Indonesia untuk menyampaikan Penolakan terhadap pertambangan pasir besi PT Faminglevto Bakti Abadi serta meminta izinnya dicabut.

Selain mendesak pencabutan IUP PT Faminglevto Baktiabadi, masyarakat juga mendesak pencabutan IUP sejumlah perusahaan tambang lainnya yang akan menjalankan operasi tambang pasir besi. Dalam jangka panjang, tambang pasir besi akan menghancurkan kelestarian pesisir barat Bengkulu, dan pesisir barat Sumatera, umumnya. IUP PT Faminglevto Baktiabadi, misalnya, tercatat sepanjang 2400 meter, yang lebarnya 350 meter menjorok ke laut dan 350 meter lagi menjorok ke daratan pesisir Desa Pasar Seluma.

Penolakan tambang pasir besi PT Faminglevto Bakti Abadi sudah dilakukan sejak Desember 2021 lalu, yang mana pada saat itu kelompok perempuan pesisir Desa Pasar Seluma menduduki lokasi pertambangan selama 5 hari 4 malam dan berakhir dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian Polres Kabupaten Seluma dengan alasan menghalang-halangi aktivitas pertambangan yang tertuang dalam Pasal 162 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara.

Tidak hanya sampai disitu, penolakan terus dilakukan mulai dari tingkat kabupaten hingga Provinsi Bengkulu, masyarakat bersama mahasiswa dan aktivis lingkungan juga sudah berulang kali melakukan aksi demonstrasi meminta izin PT Faminglevto Baktiabadi untuk dicabut, termasuk beberapa NGO lingkungan, organisasi kepemudaan dan organisasi mahasiswa lainnya juga sudah berkirim surat kepada Kementerian ESDM untuk segera mencabut izin PT Faminglevto Bakti Abadi.

Sebelumnya tim yang dibentuk oleh Gubernur Bengkulu menemukan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT Faminglevto Baktiabadi, hal itu juga diperkuat dalam rapat cross check yang dilakukan di Kantor Gubernur Bengkulu, dalam pertemuan tersebut, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bengkulu yang menyatakan jika perizinan PT FBA belum lengkap.

Selanjutnya menurut laporan yang disampaikan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bengkulu, beberapa temuan yang didapatkan PT FBA masuk dalam kawasan konservasi Cagar Alam Pasar Seluma, belum melakukan perbaikan AMDAL dan belum memiliki persetujuan teknis air limbah. Kemudian terdapat tumpang tindih konsesi tambang dengan lahan masyarakat, vegetasi pantai dan lahan lainnya.

Temuan berikutnya juga diperkuat oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bengkulu, yang menyatakan lahan tambang PT FBA berada di zona yang dilarang dan berpotensi merusak ekosistem laut serta belum mendapatkan izin kesesuaian penggunaan ruang laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.

Penolakan yang dilakukan juga bukan tanpa alasan, Novika selaku Perempuan Desa Pasar Seluma menyampaikan, kedatangan kami bertemu dengan beberapa Kementerian dan Instansi terkait ingin menegaskan sikap masyarakat yang menolak Pertambangan di Desa Pasar Seluma. “Jika PT Faminglevto Baktiabadi melanjutkan kegiatan operasi penambangan di Desa Pasar Seluma, tentu sangat mengancam ruang hidup masyarakat. Kami akan kehilangan hutan pantai jika perusahaan tersebut beroperasi. hal itu sangat mengkhawatirkan karena hutan pantai yang ada sangat berperan penting melindungi desa dari ancaman abrasi bahkan tsunami,” ungkapannya.

Wilayah pesisir Seluma juga ditetapkan sebagai wilayah zona merah rawan bencana tsunami, hal itu ditandai dengan adanya early warning system di Desa Pasar Seluma dan shelter tsunami di Desa Rawa Indah. “Pada saat yang sama, masyarakat sangat khawatir akan kehilangan mata pencaharian sebagai pencari remis (kerang) dan juga akan mengancam hilangnya wilayah tangkap nelayan yang ada di Desa Pasar Seluma,” tambah Novika.

Gelombang penolakan terhadap PT Faminglevto Baktiabadi telah mendorong Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menonaktifkan aktifitas PT FBA dengan mengeluarkan Surat Nomor: B-4368/MB.07/ DBT/2022 tentang Teguran 1 tertanggal 3 Agustus 2022 yang dalam surat tersebut juga meminta PT FBA untuk memperbaharui dokumen lingkungan atau mendapatkan rekomendasi atau izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Kepala Divisi Advokasi Walhi Bengkulu Dodi Faisal menyampaikan, PT Faminglevto Baktiabadi diduga telah melakukan aktivitas pertambangan tanpa disertai izin lengkap yang dikeluarkan oleh Negara. Untuk itu kami meminta KLHK menolak seluruh perbaikan dokumen lingkungan PT Faminglevto Baktiabadi atau tidak memberikan rekomendasi persetujuan lingkungan kepada PT Faminglevto Baktiabadi. “Kami juga mendesak agar Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk tidak mengeluarkan izin operasional penggunaan ruang laut terhadap perusahaan pertambangan PT Faminglevto Baktiabadi, sebab jelas dalam UU 27 Tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2014 Pasal 35 Huruf (K)[1] bahkan dalam UU tersebut juga dijelaskan ketentuan pidana pada pasal 73,” tegas Dodi.

Dodi menambahkan, ancaman terhadap pesisir barat Kabupaten Seluma sudah sangat memprihatinkan bukan hanya adanya pertambangan PT Faminglevto Baktiabadi saja tetapi juga terdapat konsesi pertambangan lain yang berpotensi menimbulkan dampak ekologis dan merampas ruang hidup rakyat “ada pertambangan lain yaitu PT Belindo Inti Alam yang memiliki 2 konsesi dengan total luas IUP 5 ribu hektar yang berada di kawasan cagar alam. Padahal seharusnya wilayah pesisir barat Kabupaten Seluma yang rentan bencana menjadi wilayah yang dilindungi bukan justru menjadi wilayah pertambangan atau kegiatan lainnya,” tegasnya.

JATAM melihat tren praktik tebang pilih di sektor pertambangan ketika rakyat berupaya memperjuangkan haknya yang banyak ditabrak oleh daya rusak ekstraktif. Aparat penegak hukum cenderung keras terhadap rakyat demi melayani korporasi, sementara pemerintah terkesan berupaya mengerdilkan partisipasi rakyat dengan berbagai cara. JATAM mencatat, sebanyak 91 orang warga pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang telah dikriminalisasi terkait penolakan tambang. 

Kriminalisasi ini menggunakan berbagai undang-undang, di antaranya UU Minerba, Pasal-pasal dalam KUHP, UU Mata Uang, UU ITE, hingga UU Kedaruratan. Sementara itu partisipasi warga dinegasikan dengan sikap pemerintah bahkan MK yang mengesampingkan suara penolakan warga dan justru mendorong investasi korporat. Sikap ini juga tercermin dari Putusan MK pada 29 September 2022 terkait Judicial Review UU Minerba, di mana tiga poin permohonan warga ditolak oleh MK. Poin ini terkait dengan akses partisipasi dan pelayanan publik yang dijauhkan karena penarikan kewenangan ditarik ke pusat dan pasal kriminalisasi dalam UU Minerba (Pasal 162) yang juga dipakai mengkriminalisasi warga di Seluma.

Simpul dan Jaringan JATAM, Ewin menambahkan bahwa “semestinya, pemerintah dan aparat penegak hukum lebih keras terhadap perusahaan, terlebih jika terindikasi bermasalah. Pemerintah juga harus mengakomodir kepentingan warga melalui sikap tegas untuk tidak menerbitkan izin pertambangan yang menyasar ruang-ruang hidup warga. Hal ini sangat krusial karena aktivitas pertambangan memicu daya rusak yang luar biasa dampaknya bagi warga, terutama di pesisir yang banyak bergantung pada pengelolaan sekitar pesisir dan laut, yang mana keduanya akan terdampak daya rusak jika perusahaan beroperasi.”

Juru Kampanye KIARA, Fikerman Saragih menyebutkan bahwa pertambangan pasir besi yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil jelas bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 jo UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil karena akan berdampak terhadap kerusakan serta pencemaran di lingkungan tersebut. “Pertambangan pasir besi jelas akan berdampak terhadap ruang hidup masyarakat di wilayah pengerukan dan pengolahan. Pertambangan pasir besi akan berdampak secara ekonomi, sosial dan juga ekologi, serta bertentangan dengan mandat dari Undang-Undang Pemberdayaan dan Perlindungan Nelayan, Petambak Garam dan Pembudidaya Ikan”, sebut Fikermen.

“Pemerintah seharusnya menghentikan serta melakukan evaluasi secara keseluruhan aktivitas industri ekstraktif di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, karena wilayah tersebut sangat rentan terhadap bencana alam. Pemerintah seharusnya mengembalikan kedaulatan dan hak-hak konstitusional masyarakat pesisir secara mutlak dalam mengelola ruang hidupnya seperti yang dimandatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010. Pemerintah seharusnya berdiri dan berpihak terhadap masyarakat Desa Pasar Seluma untuk menghentikan pertambangan pasir di wilayah mereka,” tegas Fikermen.

****** 

Sumber Utama: WALHI Indonesia