MENGULIK VISI MISI CAPRES – CAWAPRES 2024 PADA PROBLEM EKONOMI BIRU

Debat publik tiga calon wakil presiden (cawapres) pada 22 Desember 2023 yang mengusung tema ekonomi, keuangan, pajak, tata kelola APBN-APBD, investasi, perdagangan, infrastruktur, dan perkotaan. Tema ini merupakan isu-isu krusial dalam perekonomian Indonesia.

Dalam konteks ini, perdebatan tentang kebijakan ekonomi dan fiskal menjadi sangat relevan, mengingat berdampak langsung terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Poin-poin seperti investasi, perdagangan, dan infrastruktur mencerminkan pentingnya pengembangan sektor-sektor kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Berbicara mengenai tema ekonomi, ketidakhadiran isu ekonomi biru dalam debat ketiga Cawapres merupakan hal yang layak dipertanyakan oleh publik. Ekonomi biru, yang mencakup sektor kelautan dan perikanan serta berbagai kegiatan ekonomi terkait dengan lautan, memiliki peran yang signifikan dalam perekonomian Indonesia.

Di dalam dokumen visi, misi, dan program kerja Anies Rasyid Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar dengan judul “Indonesia Adil Makmur untuk Semua” menyoroti istilah “ekonomi biru” sebanyak tiga kali. Dengan menempatkan ekonomi biru di dalam kerangka ekonomi kelautan, dokumen tersebut menunjukkan pengakuan terhadap pentingnya sektor kelautan dan perikanan dalam konteks pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Sedangkan, pada dokumen visi, misi, dan program kerja Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dengan judul “Bersama Indonesia Maju” menunjukkan bahwa isu ekonomi biru sangat ditekankan, dengan penyebutan sebanyak tujuh kali dan penempatan utamanya dalam kerangka ekonomi kelautan. Menempatkan isu kelautan dan nelayan sebagai sub-bab ekonomi biru menunjukkan pengakuan terhadap pentingnya sektor tersebut dalam mendukung ekonomi biru secara keseluruhan.

Sementara itu, dokumen visi, misi, dan program kerja Ganjar Pranowo dan Mahfud MD dengan judul “Menuju Indonesia Unggul: Gerak Cepat Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari” menyoroti istilah “ekonomi biru” sebanyak tiga kali dan menetapkan delapan program kerja yang terkait untuk mewujudkannya. Ini menunjukkan bahwa pasangan calon tersebut memberikan perhatian khusus terhadap isu ekonomi biru dan dampaknya pada pembangunan negara maritim yang adil dan lestari.

Jika isu ekonomi biru secara eksplisit dan elaboratif disebutkan dalam dokumen visi, misi, dan program kerja tiap pasangan Capres dan Cawapres, seharusnya isu ini juga menjadi sorotan dalam perdebatan. Sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada masyarakat bagaimana Capres dan Cawapres mengatasi berbagai tantangan dan memanfaatkan peluang dalam pengembangan ekonomi biru di sektor kelautan dan perikanan. Namun sangat disayangkan, hilangnya isu mengenai ekonomi biru dalam perdebatan publik terakhir menimbulkan kekhawatiran terhadap keseriusan Capres-Cawapres dalam mewujudkan ekonomi biru. 

Mengupas  Ekonomi Biru

Secara ideologis, ekonomi biru memiliki hubungan yang sangat dekat dengan aliran Neo-Austrian yang berpaham liberalisme klasik. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gunter Pauli, ekonomi biru tidak menolak atau mengkritik globalisasi ekonomi dan pasar bebas. Ia hanya ingin menciptakan suatu keseimbangan baru dalam ekonomi global. Dengan kata lain, ekonomi biru merupakan salah satu varian kapitalisme neoliberal yang mengusung teori pertumbuhan biru atau blue growth (Karim dan Ridwanuddin, 2023).

Meskipun ekonomi biru menekankan pada aspek keberlanjutan dan perlindungan lingkungan, akan tetapi varian kapitalisme neoliberal, cenderung menafikan aspek keadilan (justice) dalam prinsipnya. Fokusnya pada pertumbuhan ekonomi, efisiensi pasar, dan manfaat ekonomi dapat mengarah pada pertanyaan tentang distribusi kekayaan, hak-hak sosial, dan keadilan ekonomi.

Seringkali, pendekatan berbasis pasar yang diusung oleh ekonomi biru dan ekonomi hijau menyiratkan bahwa solusi untuk isu lingkungan dan keberlanjutan dapat dicapai melalui insentif ekonomi, seperti harga karbon atau program perdagangan emisi. Meskipun instrumen ini dapat memberikan insentif untuk praktik berkelanjutan, tetapi pada saat yang sama, dapat menimbulkan pertanyaan mengenai apakah penerapannya merata dan memberikan manfaat bagi semua lapisan masyarakat? 

Bank Dunia memainkan peran penting dalam mendukung proyek-proyek ekonomi biru di berbagai negara di seluruh dunia. Per Maret 2020, Bank Dunia sudah membiayai proyek senilai 5,6 miliar dolar AS atau setara dengan 88 triliun rupiah serta mendukung dana bantuan internasional yang pro-ekonomi biru untuk pengembangan sektor kelautan dan sumber daya kelautan yang lestari. Selain itu, Bank Dunia juga memberikan dukungan teknis untuk peningkatan produktivitas perikanan, pengembangan kapasitas pemerintah untuk mengelola sumber daya kelautan. (Kompas, 25 Maret 2021).

Penerapan kebijakan ekonomi biru di Indonesia, terutama dalam sektor kelautan dan perikanan, tercermin dalam sejumlah kebijakan publik yang didorong oleh Pemerintah Indonesia di antaranya adalah penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, perluasan kawasan konservasi laut yang ditargetkan mencapai 32,5 juta hektar pada tahun 2030, pengawasan dan pengendalian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, dan pembersihan sampah plastik di laut.

Dalam dokumen Visi dan Misi Ganjar Pranowo & Mahfud MD disebutkan, di antara program ekonomi biru yang akan didorong adalah penangkapan ikan terukur berbasis kuota dan zonasi, serta akselerasi sebelas potensi maritim, yang menyebutkan pertambangan dan konservasi laut.

Menelaah Nasib Nelayan

Hilangnya perdebatan mengenai ekonomi biru dalam debat publik Cawapres pada 22 Desember 2023 lalu memang bisa menimbulkan keprihatinan, terutama karena hal ini dapat menyebabkan kurangnya perhatian terhadap isu-isu yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu, terutama nelayan tradisional. Dengan jumlah nelayan tradisional yang mencapai 2.359.064 orang (BPS, 2022), kelompok ini sangat rentan terhadap dampak krisis iklim.

Data yang mencatat peningkatan jumlah kematian nelayan pada tahun 2020 akibat cuaca ekstrem mencapai lebih dari 250 orang, memberikan gambaran betapa seriusnya permasalahan krisis iklim. Peningkatan angka kematian nelayan yang cukup drastis ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat untuk mengidentifikasi faktor penyebab serta menganalisis solusi yang lebih efektif dalam menjamin keselamatan nelayan khususnya nelayan tradisional.

Tidak adanya undang-undang yang secara khusus mengakui dan melindungi wilayah tangkap nelayan tradisional setelah lebih dari 75 tahun merdeka memang merupakan kekurangan dalam kerangka hukum Indonesia. Dampaknya, nelayan tradisional menjadi lebih rentan terhadap kompetisi dengan pelaku industri perikanan skala besar di lautan. Tanpa perlindungan hukum yang khusus, mereka seringkali harus bersaing dengan kapal-kapal besar yang dapat mengakses dan memanfaatkan wilayah tangkap yang seharusnya menjadi sumber kehidupan nelayan tradisional.

Seperti yang dikatakan oleh Parid Ridwanuddin dan Firman Saragih, ketidakseimbangan dalam alokasi ruang dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), di mana hanya diarahkan seluas 53,712,81 hektare untuk permukiman nelayan sementara proyek reklamasi dan pertambangan pasir laut memiliki alokasi yang jauh lebih besar, mencapai 3,590,883,22 hektar, perbedaan alokasi zonasi yang cukup signifikan juga menjadi permasalahan yang serius. Ketidakadilan dalam alokasi ruang ini dapat memberikan dampak serius terhadap keberlanjutan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Tidak adanya undang-undang yang mengakui dan melindungi kawasan tangkap nelayan tradisional, bersamaan dengan ketidakadilan ruang permukiman nelayan di wilayah pesisir, memiliki potensi untuk memperburuk dampak krisis iklim dan mengurangi kemampuan adaptasi nelayan tradisional dalam menghadapi tantangan di masa depan. Kondisi ini dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap penurunan jumlah nelayan dan petani yang diprediksi akan menurun jumlahnya sebanyak 926.492 orang pada tahun 2030. (Kompas, 30 November 2023)

Indonesia memerlukan sosok capres dan cawapres yang memiliki keberanian untuk mengoreksi implementasi ekonomi biru dan mengembangkan perekonomian Indonesia sesuai dengan mandat Konstitusi Republik Indonesia, sebagaimana terdapat di dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan 4.

Dengan demikian, Indonesia membutuhkan capres dan cawapres yang serius untuk melindungi nelayan tradisional yang terancam punah oleh krisis iklim dan ekspansi pembangunan yang merampas ruang hidup serta kawasan tangkap mereka. Keberadaan nelayan tradisional merupakan penanda penting bagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.

Sumber Utama: Walhi

Tulisan pernah diterbitkan di kolom Opini Betahita, Selasa 02 Januari 2024
(https://betahita.id/news/lipsus/9696/problem-ekonomi-biru-dalam-visi-misi-capres-cawapres-2024.html?v=1704165426)