Setelah 78 tahun Indonesia merdeka dari penjajahan bangsa asing, kehidupan masyarakat Indonesia di tingkat tapak tidak benar-benar berdaulat di atas bumi Nusantara ini. Tak sedikit warga negara Indonesia yang masih harus berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman investasi skala besar yang dipaksakan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Pada tahun 2019, Pulau Komodo, di NTT, pernah diminta untuk dikosongkan dari Masyarakat yang hidup dan tinggal di pulau tersebut karena akan dijadikan kawasan wisata premium. Di tempat lain, ratusan masyarakat di Pulau Pari, Jakarta, harus terus menerus mempertahankan pulaunya dari ancaman perampasan tanah yang dilakukan oleh PT Bumi Pari Asri yang mendapatkan sertifikat HGB dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) DKI Jakarta. Di Provinsi Maluku Utara, Masyarakat di Pulau Obi menyusun surat terbuka menolak Ranperda relokasi untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN), terutama pertambangan nikel.
Nasib serupa kini sedang dihadapi oleh lebih dari 7 ribu warga di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau yang akan kehilangan hak atas tanahnya akibat dari Program Pengembangan Kawasan Rempang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam. Melalui SK Hak Pengelolaan (HPL) Kawasan Rempang yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kepulauan Riau, untuk dijadikan kawasan investasi terpadu yang akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG). Proyek tersebut bernama Rempang Eco City yang menargetkan akan menarik investasi hingga Rp 381 triliun akan dibangun di atas lahan seluas 17 ribu hektar.
Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) HPL yang diberikan kepada BP Batam, pemerintah secara tegas mengindikasikan niatnya untuk menghidupkan kembali konsep domein verklaring (negaraisasi tanah). Prinsip ini mengartikan bahwa tanah dianggap sebagai kepemilikan negara, yang pada gilirannya memungkinkan pemerintah atau entitas yang berada di bawah otoritasnya, seperti BP Batam, untuk dengan mudah mengakuisisi tanah yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat. Padahal, prinsip ini telah ditiadakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Oleh karena itu, klaim BP Batam terhadap Hak Pengelolaan Lahan (HPL) sesungguhnya tidak memiliki status yang setara dengan hak atas tanah seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) yang diakui oleh UUPA.
Sebagai akibat dari keputusan ini, selama dua bulan terakhir, masyarakat di Pulau Rempang telah menyelenggarakan demonstrasi besar-besaran sebagai bentuk penolakan terhadap rencana penggusuran, serta untuk mempertahankan hak mereka untuk hidup dan memiliki tanah di pulau tersebut. Sementara itu, pada waktu yang sama, Pemerintah Indonesia Tengah telah mengadakan GTRA Summit 2023 di Pulau Karimun, yang terletak sekitar 73 km dari Pulau Rempang. Keadaan ini memunculkan paradoks yang mencolok; di satu sisi, GTRA Summit 2023 bertujuan untuk memperkuat kepastian hak kepemilikan tanah bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, namun di sisi lain, masyarakat Pulau Rempang justru menghadapi risiko kehilangan hak atas tanah mereka akibat proyek investasi pemerintah.
Situasi yang dihadapi oleh masyarakat Pulau Rempang ini berlawanan dengan pernyataan dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Kepulauan Riau, Nurhadi Putra. Seperti yang dicatat dalam situs resmi GTRA Summit 2023, Nurhadi Putra menyebutkan bahwa sebanyak 70 persen masyarakat Kepulauan Riau tinggal di desa-desa yang berada di sepanjang pesisir. Dengan demikian, melalui forum GTRA Summit 2023 yang diadakan di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, diharapkan bahwa masyarakat pesisir dapat memperoleh jaminan hukum terhadap aset dan tempat tinggal yang telah mereka miliki selama puluhan tahun. Namun, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kepastian hukum bagi masyarakat Pulau Rempang dapat dijamin dalam konteks ini?
Investasi Skala Besar akan Perparah Ancaman Bencana
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, menyebut, dengan luas kurang-lebih 165 km persegi, Pulau Rempang masuk ke dalam kategori pulau kecil berdasarkan definisi UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Berdasarkan hal itu, pengelolaan Pulau Rempang sebagai pulau kecil harus diprioritaskan untuk wilayah masyarakat bukan untuk investasi besar, apalagi mengusir mereka.
Parid menilai, masyarakat di pulau kecil akan semakin menderita karena investasi skala besar. Keterbatasan ruang dan daya dukung sumber daya alam, jika dialokasikan untuk kepentingan investasi skala besar, akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di pulau kecil. “Sebagaimana diketahui, masyarakat yang tinggal di pulau kecil, memiliki akses serta mobilitas terbatas, terutama terkait dengan pangan dan air bersih. Jika sumber pangan dan air bersih hilang, maka bencana kemanusiaan akan meledak,” katanya.
Ia menambahkan, beban ekologis pulau kecil investasi skala besar akan memperparah ancaman bencana. Pelajaran yang terjadi di Pulau Serasan Natuna penting dijadikan pelajaran. Pulau Serasan tidak memiliki beban ekologis yang sangat berat, tetapi ketika bencana longsor terjadi, sebanyak 46 orang meninggal, dan sebanyak 2.240 orang harus mengungsi. “Dengan demikian, pembangunan proyek skala besar di pulau Rempang akan menciptakan bom waktu pengungsi ekologis (climate refugee) karena memperparah ancaman bencana ekologis yang saat ini intensitasnya semakin sering terjadi,” tegasnya.
lebih jauh, Parid menyebut bahwa masyarakat di Pulau Rempang adalah pemilik sah yang berdaulat atas ruang hidup serta tidak boleh digusur oleh pemerintah untuk kepentingan investasi skala besar. “Mereka telah terbukti berkontribusi secara turun temurun selama ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka. Haram hukumnya pemerintah menggusur dan memindahkan mereka sebagai pemilik pulau itu,” ungkapnya.
Kegagalan Reforma Agraria di Pesisir dan Pulau Kecil
Erwin Suryana, Deputi Advokasi dan Riset KIARA menyebut, karakteristik pulau kecil, yaitu: 1) secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island); 2) memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular; 3) mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; 4) tidak mampu mempengaruhi hidroklimat; 5) sangat rentan terhadap perubahan yang disebabkan alam dan/atau manusia; 6) memiliki keterbatasan daya dukung pulau; 7) memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut; 8) dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya; dan 9) ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau, baik pulau induk maupun kontinen. “Mengacu pada karakteristik pulau kecil maka proses intervensi pembangunan perlu dilakukan penuh kehatian-hatian demi keberlanjutan sosial ekologis dengan memperhitungkan secara matang serta memperhatikan keberlanjutan kekayaan alam, pulau kecil dengan kerentanan yang dimilikinya tak tepat untuk kegiatan pembangunan yang eksploitatif dan tak terbarukan,” imbuhnya.
Terkait dengan Reforma Agraria (RA), prinsipnya adalah melakukan penataan ulang susunan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria, khususnya tanah. Tujuannya untuk mengubah struktur masyarakat sebangun dengan perubahan struktur agraria yang menjadi lebih adil dan merata. Secara etimologi reforma agraria berasal dari kata Spanyol yang memiliki arti suatu upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa (Wiradi, 2000:35). RA merupakan agenda bangsa yang telah sejak lama diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945, UUPA 1960, dan Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria & Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Sejak dikeluarkannya Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi berupaya melaksanakan RA di Indonesia. Salah satu poin dalam Perpres No. 86/2018 adalah dibentuknya Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), sebagai wadah koordinasi lintas sektor untuk mendukung percepatan pelaksanaan Program Strategis Nasional Reforma Agraria. RA yang diusung oleh pemerintah saat ini dengan salah satu agendanya adalah RA Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P3K). KIARA sejak awal melihat bahwa yang dilakukan sesungguhnya bukanlah RA. Mengapa demikian?
Erwin menjelaskan, Pertama, RA sejatinya merupakan program pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan produktivitas berbasis penggunaan tanah melalui distribusi dan redistribusi tanah, namun kenyataannya RA P3K lebih banyak menyasar upaya sertifikasi tanah terutama pada pemukiman yang justru memudahkan proses peralihan tanah untuk kepentingan lain, terutama kepentingan investasi.
Kedua, RA P3K masih gagal melihat pesisir dan pulau-pulau kecil di mana wilayah daratan dan lautan merupakan satu kesatuan ekologis yang tak terpisahkan dalam pengelolaannya oleh masyarakat yang ada di pesisir. Dalam hal ini, RA P3K tidak dilengkapi dengan upaya-upaya yang terstruktur dan sistematis untuk melindungi area penangkapan nelayan tradisional dan nelayan kecil, dan di sisi lain pemerintah justru mengeluarkan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur yang berpotensi menciptakan persaingan dalam penangkapan ikan.
Ketiga, RA P3K tidak memperhitungkan keberlanjutan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. KIARA menemukan adanya pelaksanaan RA P3K di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara yang kemudian justru memuluskan kegiatan eksploitasi di pulau tersebut di mana pasca dilakukan pelepasan kawasan hutan dan sertifikasi atas tanah kebun warga justru memudahkan perusahaan tambang dalam membebaskan tanah untuk kepentingan usaha pertambangan membangun sarana pendukung tambang.
Keempat, RA P3K dan Agenda RA yang dilakukan pemerintah saat ini masih jauh dari harapan untuk menciptakan struktur penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria yang adil dengan mengurangi ketimpangan penguasaan tanah. Beberapa studi telah menunjukkan dengan luasan tanah yang menjadi target untuk redistribusi dalam program RA pemerintah saat ini tidak dapat mengurangi indeks gini ketimpangan penguasaan tanah pertanian yang ada. Salah satu hal yang dapat kita lihat adalah kenyataan seperti yang dapat kita lihat di Pulau Rempang hari ini, di mana alokasi lahan untuk kepentingan investasi yang sedemikian besar tanpa memperhatikan hak-hak warga serta keberlanjutan dan keselamatan ekologis pulau itu sendiri. “Catatan-catatan tersebut juga sesungguhnya memperlihatkan kegagalan GTRA dalam melaksanakan RA sebagai suatu agenda pembangunan bangsa. Karena itu pelaksanaan RA serta perangkat pelaksananya perlu dilihat ulang secara menyeluruh,” tegasnya.
Tak Boleh Ada Pengerahan Alat Negara untuk Rampas Tanah Masyarakat
Annisa Azzahra, Staff Advokasi PBHI, menyebut, saat ini yang terjadi di Pulau Rempang merupakan keberulangan atas kasus-kasus perampasan tanah milik masyarakat demi kepentingan investasi untuk negara. Hal semacam ini terus terjadi karena adanya pembiaran atas pelanggaran hak warga yang menempati tanah tersebut dari pemerintah. Padahal Pulau Rempang bukan sebuah lahan kosong dan memiliki 16 kampung tua atau permukiman warga asli. Warga asli Rempang terdiri atas berbagai suku bahkan Masyarakat Adat seperti suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat yang telah bermukim sejak 1834 di Pulau Rempang. Sehingga seharusnya pemerintah menaruh perhatian lebih terhadap masyarakat yang hidup di dalamnya.
Menurut Nisa, terdapat dinamika yang serupa dalam setiap kasus perampasan tanah untuk kepentingan investasi, Pelaku Usaha akan menerima dukungan pemerintah daerah untuk memperlancar masalah perizinan, lalu akan diikuti dengan pengerahan alat negara TNI dan Polri untuk mengintimidasi dan mengkriminalisasi warga. “Di Rempang sendiri telah terjadi berbagai upaya intimidasi yang melibatkan TNI dan Polri untuk mengusir masyarakat, dan upaya kriminalisasi dengan tuduhan pemalsuan, pemerasan, pengancaman, hingga pelanggaran tata ruang. Hal yang seperti ini juga terjadi di kasus-kasus lain seperti di kasus perampasan lahan di Pulau Wawonii, Kab. Buol, kriminalisasi Budi Pego, serta yang menimpa Masyarakat Petani Desa Alasbuluh Wongsorejo,” katanya.
Dinamika pengerahan alat negara berupa aparat keamanan dalam kasus-kasus perampasan tanah milik masyarakat menunjukkan dukungan penuh negara terhadap investasi, serta tidak adanya keberpihakan pada masyarakat yang telah menempati tanah tersebut lintas generasi. “Sebab itu kami mengecam dan mendesak Pemerintah Daerah Riau supaya tidak mengerahkan satuan Brimob yang memiliki pendekatan paramiliter untuk mengatasi gangguan keamanan dalam negeri, serta TNI yang merupakan alat pertahanan negara dari ancaman militer. Karena yang dihadapi merupakan Masyarakat Pulau Rempang, sudah seharusnya menghindari pendekatan militeristik yang sarat dengan cara-cara represif dan eksesif ketika berhadapan dengan masyarakat sipil. Khususnya Polri sudah seharusnya mengedepankan pendekatan humanis tanpa kekerasan sesuai amanat sebagai alat pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat sipil yang tidak memihak kepentingan investasi.” tegasnya.
***
Artikel diatas merupakan Siaran Pers bersama Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI).
Sumber Utama: WALHI