POPULASI MANUSIA MENINGKAT, LAUT SEKARAT

Sampah yang menumpuk dibibir pantai menjadi salah satu tanda polusi laut yang diakibatkan meningkatnya aktivitas dan konsumsi di daratan oleh manusia.

Per April 2022 yang lalu, Worldometer telah merilis data jumlah penduduk Indonesia. 278.752.361 jiwa, adalah jumlah penduduk Indonesia berdasarkan elaborasi dari data terbaru milik Perserikatan Bangsa-bangsa atau PBB. Dengan jumlah sebesar itu, jumlah penduduk Indonesia  mengisi 3,51% dari total penduduk dunia. Jumlah ini meningkat sekitar lebih dari 2 juta jiwa, dibandingkan dengan data total penduduk Indonesia di tahun 2020. Adanya peningkatan ini tercantum pada data versi Kementerian Dalam Negeri yang mencatat bahwa terjadi kenaikan jumlah penduduk sebanyak 2.529.861 jiwa dibandingkan tahun 2020.

Data diambil dari Worldometer. Sebuah badan yang merilis pendataan jumlah penduduk dunia. Terlihat dari tahun ke tahun selalu ada penambahan jumlah manusia.

Perlu diingat, pertambahan ini bukan hanya terjadi di Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia. Menurut Worldometers, sebuah website yang berisikan data populasi dunia, pertambahan terus terjadi dari tahun ke tahun. Jumlah populasi yang terus bertambah ini kemudian berbanding terbalik dengan jumlah lahan yang layak untuk dihuni oleh manusia. Dengan luas wilayah yang cenderung tetap dan jumlah penduduk yang kian bertambah di setiap tahunnya, kepadatan penduduk pun tidak bisa dihindarkan. 

Di indonesia sendiri, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per tahun 2021 yang lalu, rerata kepadatan penduduk Indonesia adalah sebanyak 142 jiwa per 1 km². Peacock (2018) yang mengatakan bahwa jumlah  populasi yang  bertambah  memperkuat  terjadinya  kerusakan  di  setiap  ekosistem  biologis. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pangan, air bersih, pemukiman dan kebutuhan lahan, serta kebutuhan seperti industri untuk pergerakan ekonomi, pariwisata, dan kebutuhan pokok lainnya. Kebutuhan yang meningkat ini kemudian akan membutuhkan pengorbanan (Suparmoko, 2014) seperti penebangan pohon, meningkatnya polusi, limbah, dan sampah, hingga menipisnya sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati. Dengan pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, maka akan membawa akibat kepada tekanan yang kuat terhadap sumberdaya alam dan degradasi terhadap lingkungan (Commoner, 1971). Contoh degradasi tersebut dapat dilihat dari perubahan iklim, menurunnya kualitas udara, dan juga punahnya beberapa jenis hewan dan tumbuhan. 

Bagi laut sendiri, peningkatan populasi manusia menjadi momok yang mengancam biodiversitas laut. Sebagai mahluk hidup pemegang tahta tertinggi dan regulator iklim, laut dunia sudah sangat tersiksa oleh tangan manusia dan pertumbuhan populasi semakin memperumit masalah dengan mendorong lautan ke batas pertahan terakhir dan mengubah ekosistem di luar keadaan alaminya. Hal yang kemudian terjadi adalah:

Pemutihan Karang: Terumbu karang melindungi 25% spesies laut, melindungi garis pantai, mendukung industri perikanan, dan menyediakan pariwisata bagi masyarakat pesisir. Namun nyatanya, terumbu karang semakin tertekan oleh perubahan kondisi seperti suhu air yang memanas dan polusi. Ketika ini terjadi, ganggang yang hidup di jaringan terumbu karang akan menghilang, dan kemudian membuat terumbu karang berubah putih dan akibatnya membuat terumbu karang menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan kepunahan.

Penangkapan ikan berlebih: Laut kita telah dianggap sebagai sumber makanan yang tak terbatas selama berabad-abad. Namun, praktik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan dan meningkatnya permintaan ikan mendorong banyak spesies ikan, seperti Tuna Sirip Biru (bluefin), ke jurang kepunahan. Data menunjukkan populasi ikan dan vertebrata laut lainnya, termasuk mamalia laut, reptil, dan burung telah berkurang separuhnya sejak 1970. 

Polusi Laut: Sebagian besar limbah yang kita hasilkan di darat akhirnya mencapai lautan, baik melalui pembuangan yang disengaja atau dari limpasan saluran air dan sungai. Hewan laut dan burung laut sering menelan sampah ini, membahayakan nyawa mereka. Selain itu, bahan kimia beracun keluar dari plastik, yang biasa disebut sebagai microplastic, akan tertelan dan menginfeksi jaringan ikan – kondisi berbahaya bagi ikan itu sendiri dan manusia yang mengkonsumsinya.

Pemanasan Suhu: Karena perubahan iklim, lautan menyerap terlalu banyak panas dan karbon dioksida, membuat air lebih hangat dan lebih asam. Ketika lautan menjadi terlalu panas, tumbuhan dan hewan yang hidup di perairan harus beradaptasi, atau mereka berisiko mati. Ini termasuk karang, ganggang, dan plankton, yang berada di dasar rantai makanan, tetapi juga spesies seperti ikan, anjing laut, dan paus, yang bergantung pada kehidupan laut kecil ini.

Pertumbuhan populasi telah memulai perubahan dramatis dalam ekosistem pesisir dalam berbagai cara dan masa depan kita akan sangat bergantung pada kemampuan kita untuk memulihkan kesehatan laut dan melindungi habitat laut. Sebagai rakyat biasa, KORAL mengajak masyarakat untuk memperbaiki gaya hidup dengan mengurangi limbah rumah tangga, menghemat penggunaan listrik dan air, serta menggunakan hak berbangsa dengan mengkritisi kebijakan dan regulasi antipati keberlanjutan dan ekonomi sentris seperti PERMEN KP No. 25 Tahun 2019 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memberikan izin lokasi perairan dan izin pelaksanaan reklamasi. Reklamasi mempunyai sejumlah dampak negatif seperti ancaman banjir, perubahan ekosistem yang disusul dengan kerusakan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Lalu, Undang-Undang No.3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara yang menjadikan semua ruang hidup sebagai wilayah hukum pertambangan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa wilayah pertambangan memiliki rekam jejak sejarah kerusakan lingkungan yang masif dari aktivitas pertambangan yang destruktif dan invasive, serta Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) dimana dalam UU sapu jagad ini memberikan izin proyek reklamasi pertambangan pasir laut, penghancuran hutan mangrove, dan kawasan konservasi untuk kepentingan PSN, serta mengizinkan pembuangan limbah industri ke laut (BACA: Cabut Regulasi Anti Masyarakat Pesisir).

Peningkatan populasi manusia memang membuat laut sekarat, tapi belum terlambat untuk dapat menghembuskan angin segar ke penyelamatan laut dan bumi kita. Mari saling gotong royong dan bahu membahu sebagai sesama penghuni bumi yang hanya  ada satu di semesta, untuk menyelamatkan lingkungan dari perubahan iklim dan laut dari kepunahan.

*******