Tahun 2023 masih pada kuartal pertama, namun pemerintah Indonesia sudah dua kali memberikan “ungkapan sayang” untuk awak kapal perikanan (AKP) migran. Dalam sejumlah kesempatan, terungkap sinyal komitmen untuk pembenahan tata kelola pelindungan AKP migran Indonesia. Greenpeace Indonesia dan sejumlah organisasi memandang momentum ini penting menjadi dorongan bagi pemerintah yang hingga kini dinilai belum maksimal dalam melindungi hak para AKP migran.
Pada 11 Januari, melalui pernyataan pers tahunannya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi salah satunya menyoroti pelindungan pekerja migran sebagai agenda prioritas kementeriannya tahun ini. Ia mengatakan, “Selain fokus pada pelaksanaan Keketuaan ASEAN, tahun ini diplomasi Indonesia juga akan diprioritaskan pada beberapa hal. […] Penguatan peran ASEAN dalam isu pelindungan PMI [pekerja migran Indonesia].” Pernyataan tersebut semakin menarik dengan penggunaan ilustrasi kapal dengan logo International Maritime Organization (IMO) dan International Labour Organization (ILO) – keduanya merupakan organisasi yang berperan vital untuk perlindungan pekerja sektor perikanan di skala global.
Selain Kementerian Luar Negeri, “ungkapan sayang” lain dilontarkan oleh Dewan Koordinasi ASEAN yang beranggotakan perwakilan pemerintah negara-negara anggota ASEAN. Dalam pernyataan media yang diterbitkan pada awal Februari, komitmen untuk membenahi pelindungan bagi AKP migran disebutkan secara spesifik di poin ke-23. Poin tersebut menegaskan komitmen secara regional untuk melindungi pekerja migran di seluruh tahapan migrasi, sebagaimana yang tertuang dalam Konsensus ASEAN tentang Perlindungan dan Promosi Hak-hak Pekerja Migran. Hal ini menjadi lebih genting bagi Indonesia, mengingat Indonesia berperan sebagai ketua ASEAN tahun ini.
“Banyak kasus kerja paksa dan kondisi kerja yang tidak layak dialami oleh AKP migran asal negara-negara di Asia Tenggara. Maka, dalam momentum Indonesia menjadi pimpinan ASEAN, perlu ada dorongan dari negara-negara anggota lainnya untuk menyamakan persepsi dan arah kebijakan untuk melindungi AKP migran. Salah satunya adalah dengan meratifikasi Konvensi ILO 188. Dengan itu harapannya AKP migran dari negara-negara anggota ASEAN dapat terlindungi dengan maksimal,” tutur Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki beberapa regulasi yang mengatur tata kelola pelindungan AKP, baik migran maupun lokal. Terlebih jika pemerintah meratifikasi Konvensi ILO 188, Indonesia akan memiliki daya tawar lebih kepada negara-negara destinasi pekerja perikanan lainnya. Selain itu dari sisi kebutuhan pasar seafood, beberapa wilayah seperti Uni Eropa mulai memberlakukan regulasi ketat terkait produk hasil olahan ikan yang bebas dari perbudakan modern dalam rantai pasoknya.
Tim 9, sebuah tim yang beranggotakan sejumlah organisasi masyarakat sipil, serikat pelaut, dan akademisi yang mendorong percepatan ratifikasi Konvensi ILO 188 di Indonesia, turut mengutarakan harapannya. Sejak pertengahan tahun lalu, tim tersebut hingga kini tengah menyusun peta jalan rekomendasi ratifikasi Konvensi ILO 188 yang nantinya akan diserahkan pada pemerintah Indonesia.
“Pemerintah Indonesia hingga saat ini terkesan enggan meratifikasi konvensi tersebut, karena merasa sudah mengadopsi sejumlah pasalnya ke dalam regulasi yang kita punya. Tapi ada urgensi lain, yakni daya tawar secara internasional, mengingat pelindungan AKP migran turut melibatkan negara lain. Sehingga, Tim 9 mencoba mengisi kesenjangan tersebut dengan menyusun sebuah peta jalan. Harapannya, pemerintah dapat menjadikan peta jalan tersebut sebagai upaya percepatan ratifikasi,” jelas Syofyan, Koordinator Tim 9 sekaligus Sekretaris Jenderal Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI).
Menurut Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, praktik kerja paksa dan pelanggaran hak awak kapal yang terjadi di kapal penangkap ikan jarak jauh merupakan bagian dari rantai industri perikanan global yang banyak di antaranya ilegal dan merusak lingkungan. Sebagai negara-negara pengirim AKP migran, komitmen dari ASEAN dan pemerintah Indonesia akan berdampak positif pada rantai pasok perikanan global.
“Ini merupakan komitmen yang harus dibuktikan oleh negara-negara anggota ASEAN. Khususnya Indonesia yang perlu menunjukkan kepemimpinannya dengan salah satunya meratifikasi Konvensi ILO 188. Ini juga akan mendukung perbaikan tata kelola sektor perikanan di Asia Tenggara, yang mana produk-produk perikanannya juga berkontribusi pada rantai pasar secara global,” ujar Arifsyah.
***
Sumber Utama: Greenpeace Indonesia