Sejak tanggal 3 Juli 2022, sebanyak enak orang warga Pulau Sangihe, Sulawesi Utara berada di Ibu Kota Negara Republik Indonesia, DKI Jakarta, untuk mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS) dengan IUP seluas 42.000 ha. Selain itu, Enam orang warga mendesak Pemerintah Pusat untuk memberikan sanksi kepada perusahaan ini karena dinilai melawan putusan majelis hakim PTUN Manado dengan Nomor 57/G/LH/2021/PTUN.Mdo.
Selama berada di DKI Jakarta, enam orang warga Pulau Sangihe menemui sejumlah kementerian/lembaga, diantaranya Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Dalam Negeri (kemendagri), Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, serta Propam Mabes Polri.
Sebagai salah satu organisasi yang menemani warga Pulau Sangihe, WALHI melakukan pendampingan saat berkunjung ke Komnas HAM pada Jumat, 8 Juli 2022 lalu. Dalam pertemuan ini, Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga menyampaikan desakan kepada enam kementerian/embaga, yaitu: Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Gubernur Sulawesi Utara, Kapolda Sulawesi Utara, dan Bupati Kepulauan Sangihe.
Di dalam surat bernomor 564/PK-HAM/VI/2022 yang diterbitkan pada tanggal 7 Juli 2022, Komnas HAM mendesak Menteri ESDM untuk melakukan dua hal berikut, yaitu:
- Memerintahkan kepada PT TMS untuk tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan menghentikan sementara waktu seluruh aktivitas/kegiatan usaha pertambangan di wilayah Kepulauan Sangihe dalam rangka menghormati putusan PTUN Manado Nomor 57/G/LH/2021/PTUN.Mdo sampai batas waktu dan/atau sampai adanya putusan yg telah berkekuatan tetap, atau ada penetapan lain dikemudian hari;
- Mengevaluasi kembali Kontrak Karya generasi ke VI antara PT TMS dan Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. B.143/Pres/3/1997 tanggal 17 Maret 1997 terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe dengan IUP seluas 42.000 ha dan IUP OP di Blok Bowone seluas 65,43 ha yang juga meliputi kawasan perkampungan/pemukiman penduduk, lahan perkebunan dan sarana/prasarana layanan sosial dasar.
Komnas HAM juga mendesak kepada kementerian/lembaga lain untuk mengevaluasi proyek pertambangan di Pulau Sangihe karena akan memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat dalam jangka panjang, terutama menyangkut hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih. Selain itu, evaluasi proyek tambang juga wajib dievaluasi karena bertentangan dengan peraturan perundangan.
Merespon hal tersebut, Jull Takaliuang, Direktur Yayasan Suara Nurani Masyarakat (YSNM) yang juga figur penting gerakan Save Sangihe Island, menjelaskan bahwa surat desakan Komnas HAM memberikan kekuatan baru bagi gerakan masyarakat Pulau Sangihe untuk terbebas dari ancaman tambang yang akan merampas hak asasi manusia, terutama hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan bersih. “Kami akan membawa surat Komnas HAM ini dan menyampaikannya kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, Kapolda Sulawesi Utara, dan Bupati Kepulauan Sangihe serta mendesak mereka untuk segera menyelesaikan persoalan ini,” ungkap Jull Takaliuang.
Di tempat yang berbeda, Manajer Kampanye Energi dan Tambang Eksekutif Nasonal WALHI, Fany Tri Jambore menyatakan bahwa Komnas HAM telah menjalankan fungsinya dengan semestinya dalam menjalankan peran perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya yang berkaitan dengan hak atas lingkungan yang baik dan sehat, serta terjaminnya hak masyarakat dalam mengakses dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam. Karena seringkali konflik, kriminalisasi dan perampasan hak masyarakat berasal dari konflik sumber daya alam. Fanny juga meminta PT TMS segera menghentikan aktivitasnya.
Ia juga mendesak Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, dalam hal ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Gubernur Sulawesi Utara, Kapolda Sulawesi Utara, dan Bupati Kepulauan Sangihe, untuk segera mengevaluasi dan mencabut IUP PT TMS sesuai dengan desakan Komnas HAM untuk menghindarkan dampak kerusakan lingkungan serta pelanggaran terhadap hak-hak warga Pulau Sangihe. “Surat ini wajib dijadikan pedoman oleh enam kementerian/lembaga dalam menyelesaikan persoalan tambang di Pulau Sangihe, yang merupakan pulau kecil di Sulawesi Utara,” ungkap Fany.
Desakan Kepada Pemerintah Kanada
Senada dengan itu, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasonal WALHI, Parid Ridwanuddin mendesak pemerintah Kanada untuk membaca dan mempelajari surat desakan Komnas HAM Republik Indonesia ini. “Kami mendesak Pemerintah Kanada untuk mengevalusi perusahaan Baru Gold Coorporation yang memiliki 70 persen saham PT TMS yang beroperasi di Pulau Sangihe,” tegasnya.
Pemerintah Kanada, lanjut Parid, wajib untuk mengevaluasi Baru Gold Coorporation berdasarkan pada Extraterritorial Obligations yang disebutkan dalam United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGP on BHR) yang menyatakan, Negara harus menetapkan dengan jelas semua perusahaan bisnis yang berdomisili di wilayah dan/atau yurisdiksi mereka menghormati hak asasi manusia di seluruh operasi mereka. Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa terdapat alasan kebijakan yang kuat bagi Negara asal untuk menetapkan dengan jelas bisnis menghormati hak asasi manusia di luar negeri, terutama jika Negara itu sendiri terlibat atau mendukung bisnis tersebut.
Selain itu, pemerintah Kanada harus mengevaluasi Baru Gold Coorporation berdasarkan pada Extraterritorial Obligations pada Extraterritorial Obligations yang telah dirumuskan dalam Maastricht Principles on Extraterritorial Obligations of States in the Area of Economic, Social and Cultural Rights. Di dalam Maastricht Principles disebutkan adanya atribusi tanggung jawab negara atas perilaku aktor non-negara yang mencakup dua hal: pertama, tindakan dan kelalaian aktor non-Negara yang bertindak atas instruksi atau di bawah arahan atau kendali Negara; dan kedua, tindakan dan kelalaian orang atau badan yang bukan merupakan organ Negara. “Prinsip penting lainnya dalam Maastricht Principles adalah semua negara wajib untuk menghindari menyebabkan kerusakan dengan cara menghentikan tindakan dan kelalaian yang menimbulkan risiko nyata meniadakan atau mengganggu penikmatan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya secara ekstrateritorial,” pungkas Parid.
******
Sumber Utama: WALHI