Sebagai sebuah negara kepulauan yang memiliki luas perairan sekitar 75% dari total wilayahnya, Indonesia didaulat sebagai negara kepulauan dengan batas wilayah mengacu pada United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS. Indonesia memiliki hak berdaulat untuk pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya di dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Namun nyatanya, hak berdaulat yang sudah diatur oleh Undang-Undang dan diakui secara internasional tersebut, tidak serta merta membuat perairan Indonesia bebas dari ancaman. Pencurian ikan atau illegal fishing kerap kali dilakukan oleh oknum-oknum dari luar negeri seperti Malaysia dan Vietnam. Nelayan asal Malaysia kerap kali tertangkap tangan mencuri ikan di perairan Indonesia oleh Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) di Selat Malaka. Sementara Vietnam kerap kali melakukan tindak pencurian ikan di wilayah perairan Natuna Utara. Modus operandinya pun beraneka ragam. Yang terbaru adalah dengan mempekerjakan nelayan Indonesia untuk mengecoh petugas keamanan laut.
Capai Kedaulatan hingga Gabungkan Kekuatan dengan Kerjasama Antar Negara
Dalam kasus Vietnam, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang belum terselesaikan yaitu terkait isu perbatasan (baca: Jika Indonesia Mengalah ke Vietnam Soal ZEE, Apa Pengaruhnya Bagi Nelayan Indonesia?). Terakhir, Indonesia dan Vietnam bertemu dalam forum Pertemuan Teknis ke-16 di Hanoi, Vietnam, untuk membicarakan hal ini. Diharapkan pada pertemuan ini, Indonesia mampu mempertahankan dan memenangkan hak perbatasan ini. Karena garis perbatasan tersebut sudah diakui internasional dengan dicantumkan pada Pasal 47 Konvensi Hukum Laut 1982, bukan semata-mata diakui “kandang” sendiri seperti yang Vietnam lakukan sebagai dasar pengakuan daerah kekuasaan.
Sementara dengan Malaysia pun sama halnya – batas maritim Indonesia-Malaysia masih belum menemui titik kesepakatan. Selat Malaka sendiri memang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik melalui Laut Cina Selatan dan melewati 3 negara – Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Selat Malaka saat ini diperkirakan dilintasi tidak kurang dari 70-80 ribu kapal per tahun atau sekitar hampir 200 kapal setiap hari. Diantaranya adalah kapal-kapal tanker raksasa yang berukuran 180.000 tonase bobot mati ke atas.
Kedaulatan menjadi faktor utama yang wajib hukumnya apabila sebuah negara ingin sepenuhnya memiliki hak dalam mengatur dan mengaplikasikan hukum di wilayah perairannya. Kedaulatan yang diakui secara internasional juga lah yang menjadi “tameng” utama perlindungan bagi aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan nelayan-nelayan lokal kita di wilayah perairan Indonesia. Tanpa adanya kedaulatan yang diakui, tentunya ancaman pun banyak mengintai seperti illegal, unregulated, unreported fishing (IUUF) dan juga intimidasi bagi nelayan lokal. KORAL meyakini bahwa Pemerintah sedang berjibaku dalam usaha menggapai kedaulatan. Harapannya, Pemerintah Indonesia harus bergegas dan berpegang teguh dalam menjalankan misi kedaulatan di forum-forum pertemuan yang membahas mengenai isu perbatasan; sehingga Indonesia tidak perlu menunggu terlalu lama lagi bagi wilayah-wilayah ZEE yang berbatasan dengan negara lain seperti Vietnam, Malaysia, dan Cina.
Seperti yang sudah diketahui, Pemerintah Indonesia sudah melakukan beberapa daya upaya dalam menjaga keamanan dan mengawasi perairan yang berbatasan dengan negara tetangga, tapi rasanya itu tidak cukup. Indonesia sepertinya butuh mempertajam pedang negosiasi dan kerjasama antar negara. Dengan visi yang sama untuk mengamankan perairan dari tindak IUUF, Indonesia harus berperan aktif dalam menegakkan hukum yang berlaku, yaitu dengan pengawasan yang lebih luas dan ketat hingga ke interaksi kerjasama atau perjanjian antar dua belah negara. Kerjasama yang dimaksud adalah dengan membuat kerjasama atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan negara-negara yang nelayannya tertangkap tangan mencuri ikan di wilayah perairan satu sama lain. Perjanjian ini nantinya akan membahas mengenai hukuman yang berlaku apabila tertangkap tangan melakukan pencurian ikan atau salah satu dari tindak IUUF. Hukuman yang berlaku pun harus menimbulkan efek jera, karena kerap kali pelaku IUUF yang tertangkap adalah residivis dari kegiatan yang sama. Apakah kemudian diperlukan hukum yang berlaku di dua negara? Jika kemudian dirasa perlu untuk menimbulkan efek jera, rasanya bukan hal mustahil untuk dilakukan.
Dalam pertemuan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR di bulan September tahun 2021 yang lalu, Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) menyampaikan bahwa mereka hanya memiliki 10 kapal patroli. Jumlah ini pun tak cukup untuk mengamankan seluruh wilayah Indonesia. Hingga saat ini KORAL masih belum memiliki data terbaru berapa jumlah kapal patroli BAKAMLA yang fokus menjaga perairan dan nelayan Indonesia dari tindak IUUF. Dengan kenyataan jumlah kapal patroli yang masih jauh dari kata cukup, Indonesia harus pintar-pintar mengatur strategi dan kerjasama untuk mengawasi luas perairan Indonesia yang mencapai 3.157.483 km². Maka dari itu, perlu adanya kerjasama dengan penguatan armada pengawasan dengan negara-negara tetangga seperti yang pernah Indonesia lakukan dengan Australia.
Kerugian dari tindak IUUF bukan hanya semata-mata dihitung dari segi ekonomi, namun juga degradasi lingkungan. Tentunya tiap pihak memainkan peran dalam keterpurukan lingkungan akibat IUUF, sehingga kita tidak bisa betul-betul menunjuk satu pihak sebagai penanggungjawab degradasi lingkungan. Kelalaian dan kelemahan dalam pengawasan dan pemberian hukuman yang terlalu ringan menjadi salah satu faktor mengapa tindak kriminal IUUF masih terus terjadi di perairan Indonesia. KORAL berharap, di tahun yang baru, Pemerintah Indonesia bisa benar-benar fokus menjamin kedaulatan, keamanan, dan pengawasan perairan Indonesia dari tindak pencurian ikan di seluruh titik perairan.
***