POTRET KERAWANAN KERJA PELAUT PERIKANAN DI KAPAL ASING: TINJAUAN HUKUM, HAM, DAN KELEMBAGAAN – PART 3

Jika sebelumnya sudah membahas perihal akar masalah yang terjadi di sisi internasional, nasional, dan regional hingga ke tumpang tindih kewenangan, pada part terakhir ini, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) sebagai bagian dari KORAL, kali ini akan membahas dua akar permasalahan terakhir dalam seri permasalahan yang dihadapi Pekerja Migran Indonesia Pelaut Perikanan (PMI PP) yaitu pertama, pelanggaran sistemik pada proses perekrutan dan penempatan. Lalu yang kedua adalah, lemahnya sistem informasi publik dan penanganan pengaduan.

Penanganan permasalahan terkait PMI PP harus diberantas sejak di akar rumput, yaitu saat proses perekrutan dan penempatan. IOJI menyimpulkan lima poin akar masalah yang terjadi yaitu:

  1. Penempatan melalui jalur perseorangan yang lebih rentan akan eksploitasi dan perbudakan modern: ketika direkrut secara perseorangan, risiko kerja akan ditanggung oleh masing-masing PMI sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh akan proses perekrutan. Hal ini menjadi celah hukum dan pengawasan yang dapat dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab.
  2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembiaran praktik pelanggaran HAM oleh pemilik kapal, kapten kapal, perusahaan penempatan (manning agency), dan Pemerintah. Pemerintah agaknya melakukan pembiaran dan seolah menutup mata dan telinga akan diskriminasi dan eksploitasi PMI PP hingga meregang nyawa seperti yang terjadi terhadap begitu banyak PMI PP yang bekerja di kapal ikan asing asal Cina.
  3. Biaya remitansi atau biaya layanan jasa pengiriman uang yang dilakukan oleh pengirim dari Indonesia ke penerima di luar negeri maupun sebaliknya, yang harus ditanggung PMI PP jumlahnya sangat tinggi: IOJI merangkum bahwa di kuartal 3 tahun 2020, nilai remitansi global masih di angka 6,8% di saat SDGs menargetkan remitansi kurang dari 3%.
  4. Maraknya praktik pemalsuan dokumen-dokumen PMI PP oleh perusahaan penempatan dalam negeri.
  5. Belum efektifnya dan optimalnya penegakan hukum pada peradilan pidana TPPO dan perburuhan, maupun penetapan dan pembayaran restitusi: penegakan hukum masih terbatas pada kasus kekerasan fisik di Indonesia dan tidak sampai ke pelaku utama di negara luar. 

Atas kelima permasalahan diatas, IOJI memberikan lima rekomendasi untuk memperbaiki pelanggaran sistemik dan proses penegakan hukum yaitu:

  1. Pemerintah Indonesia perlu membuat database pelaut perikanan Indonesia yang terintegrasi sebagai upaya preventif penempatan PMI PP Non-Prosedural.
  2. Perlu diadakan pelatihan intensif terkait restitusi kepada semua instansi penegak hukum terkait hak korban, permohonan, pembyaran, dan pembayaran restitusi serta memastikan tersedianya pendampingan hukum kepada PMI PP.
  3. Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) bersama dengan Lembaga Perlindungan Pekerja Migran Indonesia bersama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban perlu segera menindaklanjuti pemenuhan hak restitusi dari PMI PP korban TPPO.
  4. Pemerintah memperkuat kelembagaan penegakan hukum dan meningkatkan kerjasama internasional, secara bilateral maupun dengan INTERPOL.
  5. Kementerian Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), dan Kepolisian RI melalui NCB Interpol bekerjasama dengan INTERPOL HQ dalam rangka mendukung penegakan hukum lintas negara.

Proses perekrutan dan penempatan PMI PP menjadi proses yang krusial untuk menjamin keamanan dan kenyamanan PMI PP saat bekerja. Dalam dua langkah awal ini, upaya preventif harus dilakukan dengan efektif, tercatat, dan terintegrasi dengan baik hingga berlanjut ke pasca penempatan dan pemulangan. Di artikel KORAL selanjutnya, IOJI akan membahas tantangan terakhir dalam kerawanan kerja pelaut. Stay tune!

***

Sumber Utama: Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI)