POLEMIK ALAT TANGKAP IKAN ILEGAL: MULAI DARI KOMPLEKSITAS HINGGA BIROKRASI

Cantrang dan trawl merupakan dua alat penangkapan ikan (API) yang dilarang melalui regulasi yaitu Peraturan Menteri (PERMEN) Kelautan dan Perikanan  No.2 Tahun 2015 tentang Penataan Pengalihan Dan/Atau Pemanfaatan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) Dan Pukat Tarik (Seine Nets) dan PERMEN KP No.18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.

Bertujuan mulia untuk menjaga kelestarian ekosistem laut dari tindakan penangkapan ikan yang destruktif dan mengancam terumbu karang, tidak selektif, dan eksploitatif, agaknya implementasi dari PERMEN KP ini masih harus dibenahi. Berlaku sejak bertahun yang lalu, masih banyak nelayan yang mendapati kedua API ini hanya menyulitkan mereka saja. Stigma pergantian API yang kemudian terlalu merepotkan, API ilegal yang digunakan tidak terbukti merusak lingkungan menurut para nelayan, hingga API yang diwajibkan sebagai pengganti tidak biasa mereka gunakan, menjadi beberapa alasan sumber penolakan utama para nelayan. 

Mulai dari Kebiasaan Hingga Kompleksitas Perizinan ala Birokrasi Indonesia 

Bukan tanpa alasan mengapa kemudian banyak nelayan menjadi enggan beralih dari API cantrang dan trawl. Alasan pertama adalah karena kebiasaan. Alat tangkap cantrang dan trawl sudah dipakai berpuluh-puluh tahun. Kesalahan yang sudah terlanjur mengakar inilah yang sedang diupayakan oleh Pemerintah Indonesia, untuk ditebas habis hingga ke akar. Hal ini diperkuat oleh Agus Mulyono, koordinator Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) Lamongan, Jawa Timur yang mengatakan bahwa penggunaan cantrang sudah menjadi kebiasaan nelayan dari dulu. Hal serupa juga diutarakan oleh Pelaksana Koordinasi Operasional Pengawasan dan Penanganan Pelanggaran PSDKP Tarakan, Abdul Haris. Haris mengatakan bahwa banyak nelayan yang menolak untuk mengganti perlengkapan trawl dikarenakan sudah berpuluh tahun menggunakan trawl.

Alasan lainnya adalah terkait hasil penelitian versus pengalaman. Para nelayan cantrang mempertanyakan pernyataan sejumlah pihak yang menyebut penggunaan cantrang merusak ekosistem laut, terutama terumbu karang. Sebab, dalam praktiknya, para nelayan justru menghindari terumbu karang dalam menyasar tangkapan. Misalnya saja yang disampaikan oleh perwakilan nelayan di Rembang. Salah satu nelayan senior, Ramelan atau biasa disapa Mbah Suro, menganggap bahwa alternatif JTB sebagai pengganti API cantrang yang tidak realistis. JTB beroperasi dengan cara yang identik dengan cantrang. Keduanya mengejar ikan dari dasar laut. Oleh karena itu, beberapa nelayan masih membawa cantrang sebagai bekal agar bisa lolos cek.

Alasan lainnya yang menjadi sumber penolakan dan kepatuhan mengganti API sesuai dengan regulasi yang berlaku adalah kompleksnya birokrasi perizinan. Untuk dapat mengganti API dari cantrang saja misalnya, nelayan harus menyiapkan setumpuk dokumen yaitu antara lain Surat Persetujuan Berlayar (SPB), Surat Tanda Kebangsaan Kapal (STKK), Surat Ukur, Sertifikat Kesempurnaan, Sertifikat Radio Kapal, Sertifikat Kelaikan dan Pengawakan Kapal Penangkap Ikan, SIPI atau SIKPI, Surat Laik Operasi (SLO), Barcode, TPPP, STBKK, Log Book Perikanan, Buku Kesehatan, Surat Pembebasan Tikus. Belum termasuk dokumen untuk cek fisik kapal atau perubahan kontruksi kapal. Bukan hanya banyaknya dokumen yang dibutuhkan, durasi prosedur pemeriksaan hingga izin terbit pun relatif lama hingga berbulan-bulan.

Lalu Apa yang Bisa Dilakukan?

Sebagai pemerhati dan koalisi daripada nelayan dan juga perwakilan lingkungan, KORAL tentu berharap ada jalan keluar dari polemik API terlarang yang masih bisa ditemukan di lautan Indonesia. Namun tentunya, KORAL juga mengharapkan Pemerintah untuk bisa mengakomodir perpindahan API ini dengan lebih mudah dan lancar untuk mempermudah nelayan juga tentunya.

Ada beberapa poin yang menjadi masukan yaitu pertama kemudahan perizinan. Kemudahan perizinan dapat dilakukan dengan simplifikasi birokrasi dan pengumpulan dokumen yang harus diserahkan ke pihak KKP.  Setidaknya simplifikasi jalur pengumpulan dan pengeluaran izin akan memudahkan nelayan untuk bukan hanya dalam prosedur pengurusan, namun juga mendapatkan izin yang dikeluarkan dengan durasi lebih cepat. 

KKP sudah baik bekerjasama dengan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) dan bahkan ada beberapa yang sudah bekerjasama dengan Dinas Provinsi setempat. Namun memang dibutuhkan sinergi yang lebih luas dengan armada yang lebih banyak untuk dapat memudahkan pengumpulan berkas misalnya dengan strategi ‘jemput bola’ ke beberapa pangkalan kapal atau tempat pelelangan.

Pergantian Cantrang ke Jaring Tarik Berkantong (JTB) juga harus ditinjau ulang. JTB memiliki cara pemakaian yang sama dengan Cantrang sehingga tidak menghadirkan solusi apa-apa untuk misi penyelamatan laut. JTB justru memantik konflik dengan nelayan yang merasa bahwa kebijakan pergantian API ini justru merepotkan mereka tanpa memberikan mereka dampak apa-apa. 

Lalu hal lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan edukasi, sosialisasi, dan mengakomodasi pergantian API. Misalnya dengan memberikan satu paket kebutuhan pergantian ditambah dengan sosialisasi cara memakai dan pemasangannya. Pemerintah harus selangkah lebih maju dalam membantu persiapan peralihan karena hal ini menjadi salah satu titik krusial dalam rangkaian perubahan perilaku dan kebiasaan. Jika kemudian Pemerintah hanya memberikan sosialisasi atau edukasi tanpa mengakomodasi peralihan ke API yang memang sesuai dengan visi dan misi tujuan peralihan serta memberikan fasilitas dan sarana yang memudahkan nelayan, maka tidak heran nelayan akan merasa sangat direpotkan. Apalagi selama ini nelayan Indonesia bisa dikatakan sangat mandiri dalam mengurus kebutuhan pelayarannya. 

Polemik cantrang sudah bergulir terlalu lama. Pergantian kewenangan dalam lembaga Pemerintahan tertunjuk pun masih belum mampu menangani hal ini. KKP dan seluruh departemen terkait didalamnya harus lebih jelas, lugas, mampu mengakomodasi, dan tegas dalam memberlakukan larangan cantrang dan trawl serta menghadirkan solusi bagi nelayan.

******