Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Edhy Prabowo dinyatakan bersalah telah menerima suap dari sejumlah pihak terkait budidaya lobster dan ekspor benih benur lobster (BBL). Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis 5 tahun penjara untuk politikus Partai Gerindra itu pada 15 Agustus 2021. Ia juga dikenai pidana denda senilai Rp 400 juta, hak politiknya dicabut selama 3 tahun dan mesti membayar pidana pengganti senilai 9,68 miliar dan 77.000 dollar Amerika (Kompas, 10/03/2022).
Keputusan yang sempat diprotes banyak pihak itu kemudian diubah. Majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta pada 1 November 2021 memperberat hukuman Edhy menjadi 9 tahun penjara yang disusul dengan pengajuan kasasi. Di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) kemudian memangkas durasi hukumannya kembali menjadi 5 tahun penjara dengan alasan pekerjaan yang dilakukan Edhy selama menjabat sebagai Menteri KP dinilai baik dengan mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 dan menggantinya dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020. Keberadaan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 itu dinilai untuk kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan kecil dikarenakan eksportir lobster harus mengambil benih bening lobster (BBL) dari nelayan kecil. Bukan hanya masa kurungan yang dipangkas, tapi MA juga turut mengurangi hukuman pencabutan hak politik Edhy yang awalnya dicabut selama tiga tahun, berkurang menjadi hanya dua tahun saja.
Tentunya pemangkasan masa hukuman ini dinilai absurd dan mengada-ngada. Secara hukum, Edhy Prabowo bersalah melanggar Pasal 12 huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP. Selain itu, alasan yang mengatakan bahwa kinerja Edhy selama menjabat sebagai Menteri KP menjadi alasan sunat masa tahanan sangat kontradiktif dengan apa yang ia lakukan. Bagaimana bisa kemudian seseorang yang tertangkap tangan merugikan negara dengan menerima suap sebesar Rp 25,7 miliar dari pengusaha eksportir benih bening lobster (BBL) selama menjabat, secara sadar melakukan tindakan ilegal dengan menggunakan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi, dapat dinilai bekerja dengan baik? Perlu diingat, kerugian materiil bukan jadi satu-satunya tolak ukur tindak kriminal yang diperbuat oleh Edhy Prabowo dan sejumlah staff nya. Kerugian immateriil seperti dampak lingkungan yang tidak bisa dihitung juga perlu masuk ke dalam pertimbangan. BBL yang kemudian diekspor ini kehilangan hak dan kesempatannya untuk bisa hidup, berkembang biak di habitat aslinya. Absennya BBL juga memberikan dampak pada rantai kehidupan di laut yang tentunya berimbas pada kurangnya benih lobster di alam liar.
Alasan untuk pengurangan masa tahanan dan hak pencabutan politik yang MA berikan seperti menganulir alasan dan dampak kumulatif lainnya dari tindak kriminal korupsi. Dampak bergulir pertama adalah disfungsionalitas pada sektor publik maupun swasta. Efek kumulatif dari tindakan korupsi individu adalah disfungsionalitas seperti kualitas barang dan jasa menurun, dan proses mendapatkannya menjadi lebih mahal, memakan waktu dan tidak adil. Jabatan yang dimiliki dipergunakan memperkaya diri sendiri daripada mengejar inovasi dan efisiensi. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya motivasi intrinsik dalam organisasi, pekerja yang sedikit banyak mengetahui hal ini kemudian mengalami demoralisasi dan mulai meragukan nilai kerja keras dan inovasi. Kedua adalah perubahan iklim dan kerusakan keanekaragaman hayati. Korupsi menggagalkan pendanaan dan inisiatif anti-perubahan iklim, menggagalkan program konservasi hutan dan pengelolaan hutan lestari, dan memicu kejahatan terhadap satwa liar dan perikanan yang berdampak dalam jangka dekat maupun jangka panjang. Sesuai dengan penelitian yang dikeluarkan oleh United Nations Office on Drugs and Crime yang bertajuk University Module Series: Wildlife Crime – Module 1: Illicit Markets for Wildlife, Forest and Fisheries Products, dikatakan bahwa kemudian korupsi dan perdagangan satwa liar melibatkan berbagai pelaku yang terlibat dalam perburuan, penangkapan, pemanenan, penyediaan, perdagangan, penjualan, kepemilikan, dan konsumsi hewan liar, produk hewan, dan tumbuhan. Oknum-oknum ini memiliki peran yang berbeda-beda dalam keseluruhan rantai pasar dan atribut sosial ekonomi, preferensi, dan motivasi mereka. Selain itu, mereka juga memiliki skala operasi dan intensitas aktivitas yang berbeda, tingkat teknologi dan investasi serta pendonoran, tingkat ketergantungan ekonomi dan keterampilan serta pengetahuan yang berbeda. Termasuk di dalamnya pengetahuan dan pengaruh akan hukum dan regulasi yang relevan. Misalnya dari kasus Edhy tentunya peran Edhy Prabowo sebagai mantan Menteri memberikannya kapasitas dalam melanggengkan perizinan dan regulasi terkait jual-beli ekspor BBL dan para pelaku suap (pengusaha) mempunyai kapasitas ekonomi, investasi, dan motivasi besar untuk menyambut gayung.
Praktik korupsi merupakan salah satu kejahatan kerah putih (white collar crime) yang sudah merajalela dan berakar dalam banyak divisi, termasuk di pemerintahan. Menurut Association of Certified Fraud Examiners International – Fraud Examiners Manual 2012, “Korupsi adalah penggunaan pengaruh yang salah untuk mendapatkan keuntungan bagi aktor atau orang lain, bertentangan dengan tugas atau hak orang lain”. Dalam manual ini, lebih jauh lagi menggambarkan korupsi sebagai “..setiap tindakan salah yang dirancang untuk menyebabkan beberapa keuntungan yang tidak semestinya yang mencakup penyuapan, suap, gratifikasi ilegal, pemerasan ekonomi dan kolusi.” Praktik kriminal ini secara langsung bertentangan dengan sila kelima Pancasila – Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Bersikap adil bukan hanya memandatkan pemerintah untuk memberikan hak-hak rakyat saja, tetapi juga untuk mampu bertindak secara adil dan bijaksana dalam menjalankan pemerintahan, termasuk merumuskan kebijakan-kebijakan publik yang berdampak pada hayat hidup orang banyak, termasuk didalamnya kepada lingkungan.
Ketimpangan hukum juga terlihat dari besaran kerugian yang Edhy Prabowo hasilkan ini jauh lebih besar dari kasus korupsi Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) yang menjerat seorang Kepala Desa tahun 2016. Kepala Desa Kilga Watubau, Kecamatan Kian Darat, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, Ismail Rumaday dituntut lima tahun penjara oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Seram Bagian Timur di Pengadilan Tipikor Ambon, awal tahun ini. Ismail duduk di kursi pesakitan lantaran terlibat dalam kasus dugaan korupsi Alokasi Dana Desa dan Dana Desa Kilga Watubau tahun 2016. Dalam tuntutannya, jaksa penuntut umum, Rido Sampe menilai terdakwa bersalah melanggar pasal 2 ayat (1) UU nomor 31 tahun 1999 jo pasal 18 UU jo UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang tipikor. Dalam sidang itu, jaksa menilai terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi. Terdakwa diduga terlibat kasus penyalahgunaan ADD dan DD di Desa Kilga Watubau pada tahun 2016 yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 300 juta (Kompas, 20/1/2022).
Multiplier effect dan collateral damage yang dihasilkan dari tindak korupsi ini, baik secara langsung maupun tidak, harusnya menjadi pertimbangan MA untuk tidak serta merta mengabaikan semua hal buruk dan kerugian yang terjadi dibawah radar kekuasaan Edhy Prabowo. Bagaimana kemudian tindak korupsi puluhan miliar ini diabaikan begitu saja? Lalu apakah kemudian standar penilaian kinerja baik seorang Menteri menjadi “baik” bahkan setelah tertangkap tangan korupsi? Standar macam apa yang MA pakai untuk menilai buruk menjadi baik? Rasanya bukan hanya KORAL yang mempertanyakan hal ini, tapi juga Indonesia Corruption Watch (ICW), dan bahkan seluruh mata penduduk Indonesia terbelalak melihat putusan MA yang disayangkan lebih “menyayangi” koruptor puluhan miliar, yang dihukum sama dengan koruptor “level teri” dengan kerugian ratusan juta.
******