Pada bulan Mei ini, sektor kelautan dan perikanan diramaikan dengan pemberitaan aksi demo oleh nelayan dan komunitas nelayan. Terbaru, pada 20 Mei yang lalu, ratusan nelayan kota Bitung Sulawesi Utara berunjuk rasa menolak Peraturan Pemerintah tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) (Kompas, 2023). Para nelayan menyegel kantor Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung dan menuntut Pemerintah mencabut aturan PIT tersebut karena dinilai sangat merugikan nelayan. Mereka mendesak pemerintah agar tidak melegalisasi berbagai tindakan yang merugikan nelayan dan segera mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Selain itu, mereka mengungkapkan aspirasi bahwa zona bongkar ikan harus diubah menjadi WPP, serta zona penangkapan ikan dan wilayah pengelolaan perikanan, atau WPP. Dalam aksinya, para nelayan kemudian menutup pintu masuk Kantor Pelabuhan Perikanan Bitung dan menuntut agar permintaan mereka dipenuhi. Sementara itu, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung hanya meminta agar perwakilan nelayan melakukan negosiasi tertutup di dalam kantor. Sayangnya, tidak ada akses bagi tim media untuk masuk ke Kantor Pelabuhan Perikanan Bitung.
Aksi demo di Sulawesi Utara menambah catatan panjang aksi demo penolakan Kebijakan PIT yang sudah banyak terjadi di berbagai daerah lainnya. Seperti aksi demo di Pulau Jawa, tepatnya di Rembang, Jawa Tengah. Ribuan nelayan mendatangi Kantor Bupati dan DPRD Rembang untuk menyampaikan keluhan dan penolakan mereka akan rencana Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Ribuan nelayan tersebut juga menolak penerapan sistem penarikan pajak pasca produksi dengan indeks 10% yang dinilai memberatkan nelayan apalagi ditengah hasil tangkapan yang kian menurun. “Kami berunjuk rasa menuntut pembatalan pajak 10% karena sangat memberatkan, apabila memang akan dilakukan pajak maka harus diturunkan menjadi 2% supaya tidak terlalu memberatkan,” kata Suhadi, perwakilan nelayan (Kompas, 2023).
Bukan hanya di Rembang, demo nelayan juga terjadi di Pati, Jawa Tengah. Ribuan nelayan menggelar aksi demonstrasi pada Rabu 10 Mei yang lalu. Demonstrasi Front Nelayan Bersatu (FNB) Pati itu berpusat di kantor Bupati, Jawa Tengah. Di dalam aksi demo tersebut, terdapat tujuh tuntutan nelayan,beberapa diantaranya yaitu menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT), menolak penerapan denda 1.000% dan penutupan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 713, yang meliputi Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali. Penolakan akan penerapan PIT ternyata juga mendapatkan dukungan dari DPRD Pati, yaitu tepatnya oleh Anggota Komisi B DPRD Pati, Suriyanto. Ia mengatakan bahwa PIT memberatkan dan tidak berpihak pada nelayan, serta mendukung aspirasi mereka.
Lalu pada tanggal 11 Mei 2023, ratusan nelayan melakukan unjuk rasa dengan mendatangi Kantor Pelabuhan Perikanan Merauke sejak Kamis Pagi. Di dalam orasinya, nelayan yang tergabung dalam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Provinsi Papua Selatan meminta aturan Penangkapan Ikan Terukur di Merauke yang dikeluarkan oleh pemerintah harus ditinjau kembali karena tidak sesuai dengan kondisi geografis di wilayah Merauke (Kompas, 2023). Dalam aksi demo tersebut, diutarakan beberapa tuntutan yaitu: peninjauan kembali Peraturan Pemerintah tentang PIT yang mengatur kegiatan penangkapan ikan sejauh 12 mil bagi kapal nelayan di bawah 30 GT. Penolakan oleh nelayan karena dianggap merugikan nelayan di Papua Selatan terutamanya di Merauke, mulai dari lamanya penerbitan dan perpanjangan surat izin penangkapan ikan dan mengeluhkan terbatasnya kuota solar subsidi, serta menolak keharusan untuk menambatkan kapal di Pelabuhan Perikanan Nusantara Merauke.
Sejumlah aksi demo diatas bukan tanpa sebab. Kebijakan Penangkapan ikan terukur (PIT) memang masih jauh dari kata “matang” untuk diangkat dan diimplementasikan secara langsung di lapangan. Alih-alih memperbaiki kesejahteraan nelayan dan menyelamatkan lingkungan, PIT yang masih “prematur” ini justru berbahaya dan mengekspos laut Indonesia pada resiko overfishing, kerusakan lingkungan dan membahayakan sumber daya ikan karena eksploitasi, makin menurunnya tingkat kesejahteraan nelayan, dan membuat profesi nelayan semakin tidak diminati.
Apalagi Indonesia belum memiliki asesmen yang mendetail per jenis ikan. Karena selama ini asesmen dilakukan serampangan dengan hanya mengkategorikan ikan pelagis, pelagis besar, kecil, dan demersal tanpa merinci per jenis. Bagaimana kemudian pemerintah dapat memastikan stok ikan sehat. Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, PIT masih belum dapat memastikan bagaimana mengontrol dan memastikan bahwa penangkapan ini sesuai kuota atau tidak sementara pemerintah tidak punya data. “Baik kuota maupun perusahaan ini cocok sesuai dengan kontrak. Bagaimana cara kita tahu perusahaan itu taat aturan atau melanggar, sementara di tengah laut diperbolehkan untuk alih muatan. Ini berarti pengawasan sangat bermasalah.” ujar Parid.
Terpisah, Muhammad Yusuf Sangadji, Direktur Eksekutif Jala Ina, menganggap pengesahan PP No. 11 Tahun 2023 oleh pemerintah sebagai upaya untuk menghapus hak nelayan kecil yang bergantung pada hasil laut. Karena itu, PP tersebut mengatur banyak regulasi yang hanya menguntungkan pemodal asing dan perusahaan besar. Ditambah, dalam PIT, laut hanya digambarkan sebagai tempat investasi yang menguntungkan bagi investor dan pemodal. Namun, akses sebagai salah satu hak utama masyarakat pesisir semakin terbatas. Misalnya seperti yang digambarkan pada Pasal 12 Ayat 1 menyatakan, “Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan kuota industri dan kuota nelayan lokal harus memenuhi Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Menurut Yusuf, pasal ini dapat digunakan untuk mengatakan bahwa semua orang, termasuk nelayan kecil, harus memiliki izin yang dikeluarkan oleh gubernur atau dinas yang relevan. Sementara seperti yang dikeluhkan nelayan, Pemerintah saja masih belum secara maksimal membereskan permasalahan lamanya penerbitan dan perpanjangan surat izin penangkapan ikan.
Banyaknya aksi penolakan dan permintaan peninjauan kembali aturan PIT seharusnya didengar oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jika memang KKP serius mengutamakan kesejahteraan nelayan, ruang diskusi seharusnya dibuka jauh sebelum berkoar-koar, mengundang investor untuk mendukung PIT di berbagai kesempatan. Mari kita lihat apakah Pemerintah akan “mendengar” jeritan nelayan dan masyarakat pesisir kali ini atau seperti biasa mengesampingkan aspirasi nelayan kecil?
***