Periode kedua pemerintahan Joko Widodo (2019-2024) sudah memasuki tahun ketiga. Menariknya berbagai produk kebijakan pengelolaan sumberdaya alam kian berorientasi neoliberal. Salah satunya sektor perikanan tangkap. Hal ini tercermin dari rencana pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Permen-KP tentang penerapan sistem kontrak di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI). Permen ini merupakan salah satu bentuk operasionalisasi dari PP 85/2021 dan PP 27/2021 yang merupakan turunan UU Cipta Kerja No 11/2020. Tujuannya, mendongkrak penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan target mencapai Rp 12 triliun di tahun 2024.
Ironisnya, dengan rencana penerapan sistem kontrak tersebut, WPP-NRI boleh dikontrakkan juga kepada korporasi asing atau dengan melakukan kemitraan dengan perusahaan nasional (badan usaha swasta nasional dengan penanaman modal asing-PMA). Nantinya kapal-kapal eks asing dan kapal ikan asing yang diberi izin atau lisensi termasuk dimigrasikan menjadi kapal ikan Berbendera Indonesia, bebas berkeliaran dan mengeruk kekayaan laut kita.
Penyusunan Policy Working Paper (Kertas Kerja Kebijakan) ini secara umum bertujuan untuk memberikan pandangan alternatif tentang tata kelola perikanan nasional yang memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Secara khusus, Kertas Kerja ini memberikan catatan kritis dan rekomendasi kebijakan alternatif terhadap rencana kebijakan Penangkapan Ikan Terukur yang turut mengatur kuota dan sistem kontrak dalam usaha penangkapan ikan di WPP-NRI.