Kita mungkin pernah mendengar bahwa aktivitas manusia menghasilkan residu yang disebut dengan karbon. Sobat KORAL juga telah mendengar bahwa gas-gas ini mengubah iklim dunia, dan bukan dengan cara yang baik. Salah satu hal yang mungkin belum pernah didengar adalah laut ekosistem pesisir kita menyediakan cara alami untuk mengurangi dampak gas rumah kaca di atmosfer kita, melalui penyerapan (atau penyerapan) karbon ini.
Dilansir dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), ekosistem pesisir seperti mangrove atau hutan bakau, padang lamun, dan rawa asin memiliki kontribusi dalam penyerapan dan penyimpanan karbon jangka panjang sehingga membantu mengurangi dampak perubahan iklim. Fungsi ini dikenal sebagai ekosistem karbon biru (EKB). Ekosistem pesisir ini, meskipun ukurannya jauh lebih kecil daripada hutan, menyerap karbon dengan kecepatan yang jauh lebih cepat, dan dapat terus berlanjut selama jutaan tahun.
Salah satu mandat yang diberikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah mengelola sumber daya alam dan kekayaan biodiversitas alam Indonesia di wilayah perairan dan pesisir, termasuk didalamnya ekosistem karbon biru. Terutama karena KKP memiliki wewenang dalam mengeluarkan regulasi dan mencanangkan program atau proyek nasional yang akan berpengaruh pada keberadaan dan keberlanjutan ekosistem biru itu sendiri. Upaya perlindungan dan pengelolaan EKB beberapa sudah diatur oleh hukum, contohnya adalah dua regulasi berikut: UU 27 tahun 2007 jo UU 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan juga Peraturan Presiden No, 121 tahun 2012 tentang Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau pulau Kecil. Namun tidak semua EKB dilindungi dan dikelola secara berkelanjutan (IOJI, 2023).
Menurut data yang dirangkum oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), sekitar 49% luasan mangrove di Indonesia masuk ke dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung dan 3% masuk ke dalam wilayah konservasi perairan. Sekitar 34% dari keseluruhan padang lamun juga masuk ke dalam wilayah konservasi perairan. Sementara luasan mangrove dan padang lamun lainnya berada pada instrumen perhutanan nasional. Yang menjadi masalah adalah kawasan mangrove dan padang lamun yang tidak masuk ke dalam instrumen perlindungan tadi, dan kemudian terpapar pada ancaman-ancaman salah satunya adalah alih fungsi lahan.
Banyak Lembaga = Koordinasi Harus Solid = Regulasi Harus Komit!
Pengelolaan EKB bukan semata-mata dibawah wewenang KKP saja. Ada beberapa Kementerian maupun Lembaga yang menaungi dan memiliki wewenang atas EKB seperti Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang – Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah, dan masih banyak lagi.
Banyaknya Kementerian dan Lembaga yang berwenang dalam mengatur dan mengelola EKB bukan berarti selalu berjalan dengan baik. Tiap K/L memiliki agenda serta pagu anggarannya masing-masing. Adanya perbedaan agenda, prioritas, serta penyerapan anggaran inilah yang membuat resiko persaingan birokrasi dan tumpang tindih regulasi sangat mungkin terjadi. Maka dari itu dibutuhkan koordinasi yang bukan hanya kuat tapi juga solid dan terpadu antara satu K/L dengan K/L yang lain.
Selain itu, dalam upaya pelestarian dan keberlanjutan EKB, diperlukan komitmen dari Pemerintah untuk memastikan segala bentuk regulasi dan proyek nasional yang dibuat, yang akan bersinggungan dengan EKB, wajib pro-lingkungan. Jangan sampai regulasi dan proyek nasional tersebut justru kontradiktif dari komitmen melestarikan ekosistem ini sendiri. Misalnya saja regulasi atau proyek yang justru membuat pengalihfungsian lahan di wilayah pesisir menjadi lebih mudah dilakukan atau regulasi dan proyek nasional yang justru membuka pintu gerbang bagi perikanan eksploitatif yang justru mengancam dan merusak ekosistem laut.
Maka dari itu, dalam konferensi pers di acara “Blue Carbon Ecosystem as Critical Natural Capital: Blue Carbon Ecosystem Governance in Indonesia” pada 30 Januari yang lalu, CEO IOJI Dr. Mas Achmad Santosa, SH., LL.M menekankan pentingnya bagi EKB untuk dimasukkan ke dalam kategori Critical Natural Capital (CNC) atau bagian dari lingkungan dan alam yang mempunyai fungsi penting dan tak tergantikan.
Dikutip dari rilis resmi IOJI, ditekankan bahwa “konsekuensi dari penetapan EKB sebagai CNC berarti EKB berhak, layak dan harus dijamin dengan instrumen perlindungan yang kuat. CNC sendiri merupakan elemen utama dari konsep atau paradigma pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang sejalan dengan konstitusi khususnya pasal 33 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945. Ayat tersebut menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Ini artinya, Pemerintah betul-betul berkomitmen untuk menjaga dan memberdayakan keberlanjutan EKB bukan hanya untuk keuntungan individualistik atau golongan semata tetapi untuk seluruh lapisan masyarakat.
Lalu selain faktor-faktor diatas, faktor apalagi yang dibutuhkan untuk memastikan keberlanjutan dari ekosistem karbon biru? Stay tune di artikel KORAL selanjutnya dengan tajuk Ekosistem Karbon Biru: Lembaga, Regulasi, Dan Masyarakat Adat – Part II!
***
Rilis resmi Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dapat dilihat disini